Bukan tentang big data tapi validitas data, ada data yang tidak kita perlukan dan ada data yang tidak boleh kita gunakan, yang utama adalah validitas bukan the big bank of data. Bahkan sekiranya yang paling meringankan adalah pemanfaatan teknologi berbasis AI ini berlaku maka yang bermanfaat hanyalah sebagai alat pembuktian dan penyimpanan data, secara relatif. Tetaplah AI ini berupa hardware dan software, teknologi Informasi.
Dalam hukum, AI merupakan subyek hukum dalam pengawasan dan kepemilikan pemilik AI atau pemakai AI yang selanjutnya dipergunakan untuk kepentingan dan tujuan tertentu bagi orang lain sehingga pemilik AI lah yang dapat diminta pertanggungjawaban secara keperdataan.
Sisi Kemanusiaan
Kecerdasan Buatan dengan program algoritma canggih sudah difungsikan dalam sistem peradilan pada banyak negara, baik berupa algoritma prediksi ataupun penilaian risiko, meskipun tampak logis sesuai dengan perkembangan jaman namun hal ini sangat bergantung pada jenis dan kualitas data yang diberikan.
Gayus Lumbuun yang pernah menjabat sebagai Hakim Agung di Mahkamah Agung periode 2011-2018 pernah mengatakan, “Hakim Agung bukan robot. Kami bukan mesin perkara. Kami ini orang, hidup dan bertanggung jawab terhadap nasib orang lain.
Hakim harus hakim yang excellent, yang mumpuni, hakim yang lengkap. Saya menyesal masuk udah cukup tua dan hanya kebagian masa bakti selama tujuh tahun di MA”, namun sebenarnya pendapat ini diafirmasi oleh pada ahli hukum dan pakar teknologi AI untuk peradilan.
Pada dasarnya tidak pernah ada dua atau lebih kasus hukum yang benar-benar identik, keputusan hukum adalah pilihan manusiawi untuk menemukan perimbangan antara kerumitan masalah dengan potongan-potongan realita yang tidak jelas atau aturan yang kabur. Memilih aturan yang sesuai, dan mempertimbangkan konsekuensi sosial dan efek jangka panjang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan melalui algoritma.
Sekeras apapun kita menolak tapi teknologi tetap akan terus mengalir dan berkembang. Para ahli hukum di abad ke-21 mempunyai pertanyaan penting, yaitu, apa artinya menjadi manusia di era kecerdasan buatan?
Zhou Qiang, kepala Mahkamah Agung Tiongkok, mengatakan bahwa penerapan kecerdasan buatan di ranah kehakiman dapat memberikan para hakim sumber daya yang luar biasa, tetapi itu tidak dapat menggantikan keahlian para hakim. Demikian pula, di Estonia, semua keputusan yang dibuat oleh AI harus direvisi oleh hakim manusia.
Hakim Holmes pernah berkata: “Inti Kehidupan hukum adalah pengalaman, bukan logika.”
Hukum tidak akan tumpul tapi akan menjadi kaku bukan lagi mati diatas kertas tapi tajam tanpa ampun, dan justeru akan makin terbuka kebebasan untuk merubah keputusan secara terbuka melalui suatu kesepakatan tertentu, sudah merupakan hukum alam bahwa uang serta kekuasaan tetap berpengaruh.