Penulis malah punya fiksi sendiri bahwa bila hal ini dipertahankan maka era Eksekutif dan Yudikatif akan hilang, masa depan manusia adalah tidur, dan mereka hanya akan bangun ketika menjalankan tugasnya sebagai legislator dengan prinsip dasar yaitu "pemrogaraman yang dipimpin oleh kesadaran akan hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan demi keterwakilan malasnya manusia".
ROSS sudah dimanfaatkan untuk mediasi, Sophia sudah berjalan dengan kecerdasan untuk mempelajari dan meniru pola dan perilaku manusia, LIA (legal intelligent assistant) sudah digunakan di Indonesia, sekarang kita berjalan dengan membuka e-Lawyer, sebuah konsep dari DINA (digital native advocates), masyarakat advokat berbasis digital.
Kita harus batasi ini semua sebagai sekedar alat komunikasi dan penyimpanan data, benda sebagai server, random access memory sebagai hard drive bukan pengambil keputusan atas apa yang akan manusia hukum lakukan, kitalah central processing unit-nya.
Sekali lagi, apa yang tidak dimiliki oleh program dan mesin adalah Literasi Kemanusiaan - nalar, naluri dan budi-pekerti. Literasi kemanusiaan bukanlah tantangan untuk dijadikan algoritma. Nalar, naluri dan budi bukanlah hal yang ada untuk diberikan batasan atau standar seperti moral dan etik yang telah terjerumus.
Disrupsi hanya terjadi pada teknologi dan inovasi tapi tidak pada pengetahuan melalui literasi kemanusiaan, dan Advokat yang menyandang officium nobilium berdasarkan sejarah dan latar belakangnya hendaklah tidak mengkhianati kepemilikan atas 3 hal tersebut - nalar, naluri dan budi-pekerti.
Adv. Agung Pramono, SH., CIL.
Kongres Advokat Indonesia [KAI - Pimpinan TSH]
DPC Klaten
Anggota Forum Intelektual KAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H