Indonesia juga memiliki regulasi menyangkut pengertian blockchain yaitu Peraturan Bank Indonesia tapi masih terbatas pada masalah keuangan saja, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Suatu kali Mahkamah Agung di Wisconsin, Amerika Serikat, menyarankan agar para hakim juga lebih berhati-hati dalam mempercayai sistem AI, karena pada tahun 2013 di Negara Bagian Wisconsin, Amerika telah terjadi polemik atas penilaian resiko yang didasarkan kepada teknologi big data yang dimanfaatkan oleh hakim.
Bahkan Peraturan Perlindungan Data Umum dikeluarkan di Uni Eropa yang berlaku efektif pada tahun 2018 dengan materinya yaitu “hak untuk tidak tunduk pada keputusan berdasarkan semata-mata pada pemrosesan otomatis.”
Indonesia dapat saja menggunakan pendekatan-pendekatan untuk mengadopsi atau mengelaborasi regulasi internasional kedalam instrumen peraturan perundang-undangan yang sudah ada namun harus dalam batasan yang diperbolehkan oleh doktrin dan asas hukum yang kita anut, demi kepastian hukum.
Kalau dikaitkan lagi dengan rasa keadilan, kemanusian dan yurisprudensi maka tidak akan berkembang, karena putusan belum tentu berpedoman kepada yurisprudensi sebagai pertimbangan etik, jadi AI memang statis berdasarkan input dan suntikan data dan algoritma program. Tidak ada ekspresi manusia yang identik sama untuk bisa dipindai dengan teknologi sensor AI, ia hanya cerdas bukan manusiawi.
Tanggungjawab Alamiah
Amerika mengungkapkan hilangnya kemanusiaan dan keinginan untuk jadi manusia dalam film seperti City of Angels, Constantine dan I Robot. Oleh karenanya dalam hukum kita mengenal satu-satunya yang alamiah adalah manusia.
Subjek hukum harus mempunyai hak dan kewajiban secara subjektif, dan yang terutama adalah dapat dipertanggungjawabkan sumpahnya yang mana secara biologis manusia adalah gejala dalam alam, dan secara yuridis merupakan gejala dalam hidup bermasyarakat.
Bahkan untuk disebut sebagai rechtsfictie maka sesuatu itu harus diakui dulu sebagai pendukung hak dan kewajiban, sebagai subjek hukum apabila dia merupakan kumpulan atau kerjasama orang-orang.
Sederhana saja menurut penulis mengenai pengujian apakah AI ini pantas atau tidak untuk diakui sebagai subjek hukum, antara lain:
- Secara alamiah harus mampu melanggar hukum, mampu merusak atau mengganggu keputusan dari maksud keberadaannya sendiri, bilamana satu persatu bagian atau algoritma itu disebut organisasi atau lembaga;
- Dengan keinginannya sendiri ia harus mampu bermasalah dengan hukum;
- Ia harus bisa menentukan atau ditentukan gender atau identitas sosialnya apakah feminin atau maskulin atau malah berada diantara keduanya.
Dia adalah produk, tidak lebih dari sebuah big data processor, padahal pengambilan keputusan itu tidak hanya didasarkan kepada algorithma dan data formal atau akademik akan tetapi juga naluri dan budi.