Napoleon Bonaparte mencabut akar identitas dirinya yang dikenal oleh masyarakat menjadi entitas baru, tiran, berdasarkan pengalaman hidupnya secara pribadi, tapi Beethoven membuat keputusan sendiri atas nama pecinta figur Bonaparte... memutuskan untuk tidak mempersembahkan karya tersebut dan merubah judulnya dan itu terjadi pada tahun 1804.
Sekarang ada Lamus dan Sibelius, aplikasi komputer untuk musik klasik.
Jadi kita titik kerentanan idea, wacana dan teknologi ini, yaitu apa yang tidak dimiliki oleh program dan mesin adalah Literasi Kemanusiaan - tidak lain adalah nalar, naluri dan budi-pekerti.
Mereka tidak punya itu, nalar, naluri dan budi yang mampu mencerap Tuhan.
Literasi kemanusiaan (humanities, komunikasi dan desain) termasuk kemampuan kepemimpinan (leadership) dan bekerja dalam tim (teamwork), kelincahan dan dan kematangan budaya (culture agility) serta entrepreuner (termasuk social entrepreuner).
Program adalah ciptaan, suntikan data dan idea tanpa perasaan, berhitung bukan menalar, terkelola tanpa naluri, meniru bukan berbudi - jadi bisa dipastikan bahwa tanpa nalar dan budi maka benda ini dalam konteks manusia berada pada usia 5 tahun, sama dengan manusia yang berusia 5 tahun dengan kemampuan imitasi dan manipulasi yang sempurna.
Dia tidak akan berkembang dalam arti yang sebenarnya dan akan merengek ketika dia tidak mampu atau merasa kekurangan asupan, maka apakah yang sedang dilakukan oleh dunia saat ini?
Apakah menciptakan kecerdasan buatan (AI) setingkat manusia, tentu tidak akan pernah tercapai maksud itu kecuali menciptakan mutan, monster yang mengerikan... bila tidak ada kendali, bila tidak ada batasan.
Kita tercabut dari akar budaya, akar tradisi, akar filosofi, akar rumusan identitas, menjadi satu melalui kesepakatan dan tidak ada lagi keberagaman, ini akan berdampak sangat massive. Penganut idea ini sedang melakukan bunuh diri dan dalam skala besar sedang mempersiapkan genosida.
Subjektivitas pemrogaman tetap memiliki kans tendensius kepada suatu fokus dan konteks regulasi tertentu yang bakal menelan atau dalam implementasinya melumpuhkan banyak sekali regulasi.
Wajar bila hal  semacam ini berkembang di negara yang secara kultural masyarakatnya tidak mau dirusuhi dengan kerepotan pola pikir. Penulis merasa bahwa perbedaan kultur bakal menciptakan program dengan bahasa program yang saling beda.