Mohon tunggu...
Agung Pramono
Agung Pramono Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat, Pemerhati Hukum dan Sosial

pemahaman yang keliru atas makna hak adalah akar dari semua kejahatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Disrupsi Tren Industry v4.0 Visavis Advokat

29 Juli 2020   16:36 Diperbarui: 31 Juli 2020   11:01 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Makna Dasar

Disrupsi, menurut KBBI dis·rup·si adalah kata benda (noun) yang berarti "hal tercabut dari akarnya", dan HAM membuat kita tercabut dari akar kemanusiaan, menjadi "barang tanpa kodrat" yang mencari bentuk.

Disrupsi itu juga berkaitan dengan HAM sementara entah sejak kapan istilah ini dibumikan, secara politis biasanya suatu istilah muncul dengan suatu tujuan tertentu, tidak seperti asalnya yang dinyatakan oleh John Locke sebagai “natural rights” (hak alamiah).

Sementara disparitas pemahaman akan terjadi pada kenyataan ketika HAM membantu kaum LGBT untuk merekayasa kehamilan dengan alasan HAM maka Hak Alamiah justeru menentang itu dengan dalil "kodrat laki-laki bukanlah hamil".

Itulah beda yang sangat penting untuk disadari, kita bisa berbuat dan membuat itu, tapi pertanyaannya "apakah boleh itu dilakukan?", Natural Rights atau Hak Alamiah sejalan dengan kodrat yang berarti tidak bertentangan dengan agama dan Tuhan.

Sering kita berpikir "apa yang bisa kita lakukan?" dan ini keliru, karena secara etik seharusnya adalah "apa yang boleh kita lakukan?"

Matinya Keberagaman

Kita tahu bahwa komputer adalah hasil pabrik dan pemrograman, yang berarti itu semua diperbuat oleh manusia, kita lah pengendalinya. Generasi millenial sebagai digital native, yang akan mengisi era disrupsi teknologi ini.

Kita terkotak kedalam beberapa generasi, dikelompokkan sehingga melahirkan gap yang sebenarnya bertolak belakang dengan jargon heterogenitas, karena dengan gap maka hilanglah wujud interaksi positif dari keberagaman itu, kita dipaksa dan dijejali itu.

Di era disrupsi kita bukan berarti harus menerima akan tetapi justeru berhak untuk memberikan batasan-batasan mana yang boleh dan mana yang tidak, karena bila berbicara tentang bisa atau tidak maka kita manusia tentu saja bisa.

Kalau bicara input dan output data tanpa batas maka sah saja penulis berpikir nantinya akan ditanyakan kepada sejenis robot Ross dalam perkembangan canggihnya dengan pertanyaan demikian, "apa ras yang paling hebat?"

Lalu mau diapakan ras yang tidak masuk output resultan robot Ross?

Dimusnahkan kah atau diperbudak dengan bahasa halusnya diberdayakan?

Bilamana kita berbicara tentang disrupsi, dalam konteks ini maka tidak bisa dilepaskan dari keberadaan artifisial intelegensi (kecerdasan buatan).

Sebuah program adalah produk, bukan kerjasama orang-orang tetapi hasil kerjasama orang-orang yang disebut produk. Mereka yang tidak bernalar, naluri dan budi tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.

Dan kita tau bahwa disetiap era perihal disrupsi manusia selalu ada, dan sejarah tidak pernah bisa diubah karena pertahanan manusia itu sendiri yang ingin terhubung dan secara naluriah tidak ingin kehilangan sejarah.

Catatan Sejarah Tentang Disrupsi

Ada beberapa issue yang menarik perhatian penulis yang bisa jadi berkaitan erat dengan paham dan pemahaman tentang manfaat manusia dan fleksibilitas sifat serta kemampuannya yaitu pertama sejak Geisha, agen ganda Matahari dan Nikita, komputer, program dan aplikasi menjadi seperti itu, menjadi agen pengumpul data, pemberi input dan pemberi keputusan atau eksekutor.

Kita manusia pengendalinya itu kembali pada jaman Hitler dengan istilah Eugenetika, pengembangan gen terbaik dengan membunuh yang tidak baik, ini hal menarik kedua bagi saya, eugenika yang merupakan filosofi sosial yang berarti memperbaiki ras manusia dengan membuang orang-orang berpenyakit dan cacat serta memperbanyak individu sehat.

Itu masa depan disrupsi, benda itu mencabut kita dari akarnya - apabila kita gagal menjadi pengendali.

Dari catatan penulis, disrupsi itu bahkan terjadi sejak 'Napoleonic' karya Beethoven dalam beberapa pergerakkan simphony yang mentafsirkan kehidupan Bonaparte ke dalam beberapa babak. Hingga tiba suatu saat di tahun 1804 ketika dia diberitahu bahwa Napoleon telah mengangkat dirinya sebagai Kaisar.

Persembahan awal bagi Bonaparte pun ditanggalkan, Beethoven mengumumkan bahwa Napoleon adalah seorang “tiran”, yang “akan menganggap dirinya lebih unggul dari semua orang lain,” dan mengganti judul simfoninya menjadi “Eroica”.

Napoleon Bonaparte mencabut akar identitas dirinya yang dikenal oleh masyarakat menjadi entitas baru, tiran, berdasarkan pengalaman hidupnya secara pribadi, tapi Beethoven membuat keputusan sendiri atas nama pecinta figur Bonaparte... memutuskan untuk tidak mempersembahkan karya tersebut dan merubah judulnya dan itu terjadi pada tahun 1804.

Sekarang ada Lamus dan Sibelius, aplikasi komputer untuk musik klasik.

Jadi kita titik kerentanan idea, wacana dan teknologi ini, yaitu apa yang tidak dimiliki oleh program dan mesin adalah Literasi Kemanusiaan - tidak lain adalah nalar, naluri dan budi-pekerti.

Mereka tidak punya itu, nalar, naluri dan budi yang mampu mencerap Tuhan.

Literasi kemanusiaan (humanities, komunikasi dan desain) termasuk kemampuan kepemimpinan (leadership) dan bekerja dalam tim (teamwork), kelincahan dan dan kematangan budaya (culture agility) serta entrepreuner (termasuk social entrepreuner).

Program adalah ciptaan, suntikan data dan idea tanpa perasaan, berhitung bukan menalar, terkelola tanpa naluri, meniru bukan berbudi - jadi bisa dipastikan bahwa tanpa nalar dan budi maka benda ini dalam konteks manusia berada pada usia 5 tahun, sama dengan manusia yang berusia 5 tahun dengan kemampuan imitasi dan manipulasi yang sempurna.

Dia tidak akan berkembang dalam arti yang sebenarnya dan akan merengek ketika dia tidak mampu atau merasa kekurangan asupan, maka apakah yang sedang dilakukan oleh dunia saat ini?

Apakah menciptakan kecerdasan buatan (AI) setingkat manusia, tentu tidak akan pernah tercapai maksud itu kecuali menciptakan mutan, monster yang mengerikan... bila tidak ada kendali, bila tidak ada batasan.

Kita tercabut dari akar budaya, akar tradisi, akar filosofi, akar rumusan identitas, menjadi satu melalui kesepakatan dan tidak ada lagi keberagaman, ini akan berdampak sangat massive. Penganut idea ini sedang melakukan bunuh diri dan dalam skala besar sedang mempersiapkan genosida.

Subjektivitas pemrogaman tetap memiliki kans tendensius kepada suatu fokus dan konteks regulasi tertentu yang bakal menelan atau dalam implementasinya melumpuhkan banyak sekali regulasi.

Wajar bila hal  semacam ini berkembang di negara yang secara kultural masyarakatnya tidak mau dirusuhi dengan kerepotan pola pikir. Penulis merasa bahwa perbedaan kultur bakal menciptakan program dengan bahasa program yang saling beda.

Uniknya Harish Nataradjan berhasil memperoleh kemenangan pada ajang debat publik di San Fransisco, Senin, 11 Februari 2019 dari Miss Debater yang merupakan sistem AI keluaran International Business Machines Corp (IBM) yang mampu mengidentikasi argumen dengan relevan terhadap topik apa pun dan menyampaikannya dengan cara yang persuasif sekaligus kohesif serta bisa menentukan fakta serta pendapat mana yang mendukung atau menentang. Kekalahan AI terletak pada lemahnya sisi kemanusiaan, mengutip Forbes, menyangkut 3 hal, etos (karakter), logo (alasan), dan paling krusial adalah pathos (perasaan).

Itulah yang bisa tapi tidak boleh diperbuat oleh disruptive people, tidak boleh dihapus dari digital native yaitu nalar, naluri dan budi. Disrupsi identitas Napoleon Bonaparte tidak banyak dikenang, justeru entitas Eroica karya Beethoven adalah yang dikenal, dan dinikmati abadi.

Lalu apakah kita harus menolak disrupsi ini? Tidak bisa, namun kita boleh membatasinya.

*coretan ini terinspirasi dari tulisan Yth. TM Luthfi Yazid tentang "Disrupsi hukum dan profesi Advokat atau disrupsi dunia Advokat (disruption in legal industries)".


Adv. Agung Pramono, SH., CIL.

Kongres Advokat Indonesia [KAI - Pimpinan TSH]

Anggota Forum Intelektual KAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun