Waktuku menyala.Â
Aku selalu berusaha menjadi surya,Â
yang sinarnya memberi kehidupan bagi makhluk Tuhan tanpa pilih warna.Â
Aku mendatangimu yang tak berani datang kepadaku,Â
aku menyapamu yang tak berani menatap mukaku,Â
aku tetap menjadi diriku yang tak terikat dengan pangkat dan kedudukanku.Â
Meskipun aku lebih berumur,Â
aku tetap sahabat dan saudara tuamu.
Waktu ku redup.Â
Aku tetap berusaha menjadi suryaÂ
yang membuat senja menjadi panorama.Â
Meskipun keindahan itu hanya sebentar saja..Â
Dan ketika aku mendatangimu,Â
aku tak hendak meminta apapun darimu.Â
Aku hanya ingin kembali menyapamu,Â
aku rindu kepadamu sebagai sahabat dan saudaraku yang masih muda dan menyala,Â
karena bagiku bertemu dan melihatmu seperti dulu membuatku menjadi tahuÂ
bahwa aku yang sudah tua ini masih hidup.Â
Percayalah.... aku tak akan meminta apapun darimu.
Waktuku memang sudah meredup.Â
Dan sebelum malam menjemput,Â
aku ingin menemanimu menghabiskan secangkir teh hangat setengah manis ituÂ
sambil bercerita tentang mata air yang  ahir- ahir ini sudah tidak mengalir lagi.Â
Aku masih cukup kuat untuk menemanimu menanam,Â
dan aku hanya ingin tanaman yang kutanam itu dapat engkau jaga dan peliharaÂ
agar kelak cucu-cucuku bisa melihat air jernih yang mengalir dari mata airÂ
dan engkau ceritakan kepada cucu-cucukuÂ
bahwa aku yang sudah sangat tua yang telah menanam pohon pohon di sekeliling mata air ituÂ
bersamamu.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H