Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seduhan Teh Terakhir

29 Juli 2023   13:55 Diperbarui: 29 Juli 2023   13:58 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seduhan Teh Terakhir

Cerpen Yudha

"Jarwo, jangan main HP terus. Cepat pergi ke pasar, bilang ke Mbok Darmi untuk minta gethuk. Ayo, sekalian minta gula di dekat gereja!" bentak suara perempuan di balik bilik kayu yang menutupi dapur dengan ruang makan.

Jarwo masih asyik memainkan game di Hpnya, sambil rebahan, dia memakai headset. Suara omelan itu terdengar sayup saja. Tak ada niat dalam diri Jarwo untuk memastikan kejelasan ucapan itu. Apalagi, Jarwo baru saja memulai permainan, sedang asyik memilih tempat untuk memulai game onlinenya.

"Jarwo ! Kau ini main game terus," suara perempuan itu meninggi dibarengi dengan panci yang jatuh. Perlahan, seorang perempuan dengan daster menampakkan dirinya. Wajahnya kelelahan, rambutnya sudah mulai memutih. Sedangkan bibirnya cemberut seperti banyak permintaan yang tidak terpenuhi.

"Jarwo, apa kamu sudah tidak bisa mendengar?"

Jarwo mulai mencopot headsetnya. Menoleh perempuan itu dengan malas. Tangannya masih memainkan game di Hpnya. Ia tidak tahu, kenapa bermain game lebih menyenangkan dibandingkan dengan berbicara dengan orang rumah. Bahkan, ia bisa menghabiskan waktu libur di rumah hanya untuk memainkan game kesukaannya. Mungkin game itu lebih berbicara dengan dirinya dibandingkan dengan kondisi rumah.

"Uangnya mana Buk? Pergi ke pasar juga perlu uang!"

"Tadi Ibuk sudah jelaskan. Kalau minta dulu sama Mbok Darmi. Gulanya juga minta. Ibuk belum dikasih uang sama Bapakmu. Kemarin dikasih sudah habis buat beli listrik dan membayar utang beras. Cepat sana, Bapakmu nanti marah kalau tidak ada gethuk,"

Jarwo memperhatikan Bapaknya yang masih tertidur di dekat beberapa sangkar. Matanya masih terpejam, entah tadi malam tidur jam berapa. Jarwo menduga, kalau Bapaknya melembur beberapa pekerjaan sangkar.

Kemudian, Jarwo meraih kunci motor di dekat sangkar burung yang kecil. Tampak beberapa tagihan dan uang receh. Namun, Jarwo tak berani mengambilnya. Lebih tepatnya, Jarwo tidak peduli. Itu bukan urusannya, pagi ini ia hanya ingin bermain game dengan damai. Tidak dengan urusan omelan Ibuknya yang membuatnya jengkel dengan semuanya.

Jarwo kemudian mengendarai motor tua miliknya, sesaat kemudian, Bapaknya bangun dan mencari teh dan gethuk. Tapi tidak ada.

***

"Buk, tolong aku dibantu modal. Aku mau buka usaha, mungkin ditambah sedikit-sedikit dari uang saku. Kalau bisa dari uang saku," usul Jarwo saat sarapan. Besar harapannya itu bisa terwujud. Namun, menatap menu sarapannya saja, sudah merasa tak yakin. Hari demi hari, hanya nasi dengan tempe. Itu sudah baik, kadang bisa juga nasi dengan garam

"Modal apa lagi?" tanya Ibuknya sambil menyiapkan potongan gethuk kesukaan Bapak. Bapak sempat terhenti sejenak dari kegiatannya membuat sangkar.

"Kenapa tidak membantu Bapak saja. Itu sudah menjadi usaha malah," timpal Ibuknya Jarwo.

"Sudahlah, Bu. Ibuk juga tidak mau mengerti. Percuma nanti cerita panjang lebar. Tetap saja, uangnya tidak ada," Jawab Jarwo.

Jarwo mengerti, keperluan hidup sehari-hari sudah sulit dipenuhi. Belum lagi, tidak ada warisan atau tanah untuk dikerjakan. Hanya dengan tenaga dan usaha, keluarganya bisa hidup. Mungkin, itu yang menjadi penyebab mereka jatuh miskin. Jarwo selalu keheranan, bagaimana mungkin semua saudara Bapak dan Ibuknya kaya. Tapi, mereka sendiri malah hidup daam kekurangan.

"Kamu ini sudah besar. Malah minta uang terus. Harusnya sudah bisa memberi uang ke orangtua. Paling tidak, bantu-bantu untuk membayar utang. Sudah banyak utang di mana-mana untuk sekolahmu. Tetap saja, kamu sekarang minta uang," ujar Ibuknya Jarwo.

"Sudahlah, aku pergi saja dulu. Siapa tahu ada sesuatu yang dikerjakan," ujar Jarwo setelah selesai makan. Itu dilakukan ketika Bapaknya mulai mendekati meja makan. Belum sampai berpapasan, Jarwo sudah pergi duluan.

Suara motor Jarwo terdengar menjauh. Sambil membawa pancing, Jarwo pergi dengan topi kesukaannya. Tak terlupa, menyapa beberapa tetangga. Perlahan, suara kicauan burung bersahut-sahutan. Lalu, terdengar beberapa orang saling berbicara ketika Jarwo menjauh dari rumahnya.

"Kenapa lagi anak itu?"

***

"Benar, Bu. Kemarin anaknya itu minta gethuk. Awalnya ya tidak apa. Kebetulan dagangan saya masih banyak. Jadi malah baik kalau ada yang mau membawa. Lalu, ternyata itu berulang. Kalau dihitung, sudah puluhan kali begitu. Memangnya saya buat gethuk cuma buat diutangi apa?"

"Kalau begitu, ternyata gulanya minta di tempat saja. Kalau gethuk dan makanan lain di pasar, pasti itu juga gula. Kebetulan, kemarin anaknya datang minta gula katanya," ujar Bu Jarin memanasi keadaan.

"Memang benar sepertinya Bu. Keluarga itu banyak utang. Beberapa hari yang lalu saya menagih utangnya. Katanya pinjam uang untuk biaya sekolah anak. Kalau untuk anak saya beri, tapi untuk hal lain nanti dulu. Ternyata, tidak dapat uang di tempat saya justru bisa mencari ke mana-mana," tambah Bu Dariyem. Perempuan paruh baya itu mengingat kembali jumlah uang yang dipinjam. Sudah banyak, mungkin cukup untuk DP membeli motor.

"Kita minta bantuan Pak RT saja bu. Kalau kita yang menagih, tentu tidak tega. Belum lagi pasti ada saja alasan untuk tidak membayar, padahal dalam utang itu ada hak-hak orang lain. Belum tentu, mereka yang mengutangi itu lebih mampu," sahut Bu RT dengan sinis.

Tak lama, datang suara knalpot motor yang mendekati kerumunan Ibu-Ibu itu. Suara motor tua miliki Jarwo. Jarwo dengan pancing dan topi kesayangannya mendekat.

"Itu siapa?" tanya seorang Ibu yang keasyikan memilih kangkung.

"Pasti itu Jarwo. Sudah disekolahkan sampai utang, malah cuma memancing. Kalau begini, kenapa tidak kita tahan saja dulu," sahut Bu Darmin.

***

"Pak, banyak tetangga mulai meminta uangnya dikembalikan. Utang kita makin banyak hari demi hari," ujar Bu Indri, ibunya Jarwo setelah menghidangkan teh hangat.

Bapaknya Jarwo hanya diam saja. Tangannya kian terampil membuat sangkar burung.

"Memangnya mau untuk apa semua sangkar ini? Tidak semua orang suka memelihara burung. Belum lagi, sekarang burung tinggal sedikit. Apa tidak ada pekerjaan lain yang bisa menghasilkan uang lebih banyak," ujar Bu Indri sambil membersihkan potongan kayu sisa membuat sangkar.

"Kenapa tidak Ibu saja yang bekerja lagi?" sahut Jarwo.

"Ibu sudah malu dengan tetangga. Banyak utang, bahkan malu sebelum melangkah lebih lanjut lagi," sahut Ibunya Jarwo.

Jarwo kemudian pergi meninggalkan ruang bekerja di rumah itu. Meraih ponselnya lagi dan memainkan game kesukaannya.

"Mau main game lagi ?" tanya Ibunya Jarwo.

Belum sempat Jarwo menjawab. Ada suara piring terjatuh. Bu Indri segera melihat ke arah piring itu.

Tak ada yang menyangka, Bapaknya Jarwo meninggal setelah membaca pesan. Belum sempat ia menikmati seduhan teh terakhir. Teh terakhir yang dibeli Jarwo. Bukan diutang.

"Tagihan utang dan semua yang harus dibayar sudah Jarwo lunasi. Ibu jangan ngutang lagi. Bapak jangan minum teh lagi dan makan gethuk. Itu lebih baik, dari pada Ibuk berisik ngomel setiap hari,"

Jarwo tersenyum di kamarnya. Setelah selesai bermain game. Ia juga minum teh buatannya sendiri. Teh bercampur racun.

Godean, 29 Juli 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun