"Pak, kenapa hidup kita seperti ini ? Sulit sekali rasanya bertahan. Banyak hinaan berdatangan. Mungkin, hidup tidak memihak pada kita ?"
"Bukan, Nak. Hidup ini memang keras. Kita harus bisa bekerja dengan cerdas untuk bisa makan. Tapi, jangan sampai berbuat curang. Meski kita dicurangi, kita harus tetap jujur," ujar Pak Tarmo.
Keluhan Haryo menusuk baginya. Seolah, dia menjadi Bapak yang gagal membawa anak ke hidup lebih baik.
"Borongan lebih baik. Kenapa tidak dicoba untuk berjuang saja ?" ujar Haryo.
Tapi, itu pembicaraan soal barang dagangan. Tentang hari baik, harapan baik, sementara waktu terus berjalan. Hidup memberi warna bagi mereka. Perjuangan dilanjutkan.
"Saya mungkin tidak bisa menemanimu lebih lama lagi. Penyakit ini sangat menyiksa batin saya !" ujar Bapak.
"Lakukan saja yang terbaik. Kita hidup untuk saat ini. Membawa perjalanan pada tiap impian. Benar saja, kalau bisa ragu atau memulai hari dengan kejenuhan. Bukankah tiap impian, bisa bertemu beragam persoalan ?"
Tak ada jawaban. Keluhan Jarwo dibiarkan menderita. Membawa banyak angan. Dalam waktu tertentu, kita akan hidup. Hidup seperti nilai dalam perjalanan sunyi.
***
"Pak, kini aku mengerti. Kenapa dulu banyak penundaan permintaanku. Permohonanku tidak segera kau kabulkan !" kata Haryo menghadap batu nisan. Ungkapannya, perlahan membuat rumput seolah bersedih. Menatap tulisan di batu nisan, Haryo menangis.
"Mas, aku turut berduka ya. Aku tidak tahu harus bilang apa, tapi sepertinya dukamu mendalam," ujar seorang perempuan berkerudung hitam.