Membawa Ember
Cerpen Yudha Adi Putra
"Besok, ya Nak. Sekarang, Bapak sedang tidak punya uang," kata Pak Tarmo sambil mengusap air mata anaknya. Pagi itu, Haryo meminta dibelikan burung. Bukan hanya burung, sudah banyak keinginan Haryo.
"Kalau waktu aku ulang tahun bagaimana, Pak ?" tanya anak kelas dua SD itu dengan bersemangat. Ada harapan baginya. Harapan yang dipelihara. Semoga, Bapak menuruti keinginannya. Meski, lebih sering dia menunda. Menunda dan menunda hingga terlupa.
Bukankah keinginan itu seperti rumput ? Akan terus ada, bahkan bertambah banyak. Bergantian dari satu keingian menuju harapan lain.
"Iya, Nak. Bapak akan berusaha bekerja lebih keras lagi. Doakan ya, semoga Bapak sehat terus dan nanti kamu bisa beli mainan kesukaanmu itu," ujar Pak Tarmo menenangkan anaknya.
Pak Tarmo tahu, kalau tidak segera dijawab ya, nanti bisa berkepanjangan. Haryo pernah sampai sakit. Hanya karena ingin tas baru, tapi Pak Tarmo tidak setuju. Alasannya karena tas Haryo masih bagus. Tentu, dengan alasan lain belum ada uang.
"Nanti kita akan segera beli tas baru, tapi Haryo harus sembuh dulu. Kalau Haryo sakit, tidak bisa berangkat sekolah. Tasnya mau buat siapa kalau begitu ?" ujar Pak Tarmo.
Berhenti menangis, Haryo mengiyakan ungkapan Pak Tarmo. Baginya, Bapak adalah tempat di mana semua permintaan bisa terpenuhi. Meski dengan menanti, itu tidak masalah. Bukan lain, Ibunya Haryo sudah meninggal sejak Haryo masih balita.
***
Tumbuh dewasa, ternyata tidak menyenangkan. Banyak kekalahan dalam hidup. Kegagalan dalam mencoba. Memberi kesempatan, malah dibalas penipuan. Beragam persoalan hidup berdatangan, paling terasa bagi Haryo adalah ekonomi. Uang memang bisa dicari, tapi sulit.
"Pak, kenapa hidup kita seperti ini ? Sulit sekali rasanya bertahan. Banyak hinaan berdatangan. Mungkin, hidup tidak memihak pada kita ?"
"Bukan, Nak. Hidup ini memang keras. Kita harus bisa bekerja dengan cerdas untuk bisa makan. Tapi, jangan sampai berbuat curang. Meski kita dicurangi, kita harus tetap jujur," ujar Pak Tarmo.
Keluhan Haryo menusuk baginya. Seolah, dia menjadi Bapak yang gagal membawa anak ke hidup lebih baik.
"Borongan lebih baik. Kenapa tidak dicoba untuk berjuang saja ?" ujar Haryo.
Tapi, itu pembicaraan soal barang dagangan. Tentang hari baik, harapan baik, sementara waktu terus berjalan. Hidup memberi warna bagi mereka. Perjuangan dilanjutkan.
"Saya mungkin tidak bisa menemanimu lebih lama lagi. Penyakit ini sangat menyiksa batin saya !" ujar Bapak.
"Lakukan saja yang terbaik. Kita hidup untuk saat ini. Membawa perjalanan pada tiap impian. Benar saja, kalau bisa ragu atau memulai hari dengan kejenuhan. Bukankah tiap impian, bisa bertemu beragam persoalan ?"
Tak ada jawaban. Keluhan Jarwo dibiarkan menderita. Membawa banyak angan. Dalam waktu tertentu, kita akan hidup. Hidup seperti nilai dalam perjalanan sunyi.
***
"Pak, kini aku mengerti. Kenapa dulu banyak penundaan permintaanku. Permohonanku tidak segera kau kabulkan !" kata Haryo menghadap batu nisan. Ungkapannya, perlahan membuat rumput seolah bersedih. Menatap tulisan di batu nisan, Haryo menangis.
"Mas, aku turut berduka ya. Aku tidak tahu harus bilang apa, tapi sepertinya dukamu mendalam," ujar seorang perempuan berkerudung hitam.
Haryo terdiam. Ia teringat pertama kali keinginannya dituruti oleh Bapak. Keinginan untuk makan enak. Mungkin, kini dia bisa makan enak sampai puas. Tapi, tidak bersama dengan Bapak.
***
Membawa ember, Haryo berjalan menyusuri kota. Menawarkan air dan ikan. Ia berjualan ikan, perlahan tabungannya banyak. Ada penawaran kios kecil. Jarwo menerima. Kios itu digunakannya untuk berjualan ikan.
"Saya ada empang di belakang rumah. Tidak terpakai, mungkin kalau kamu mau bisa digunakan !" begitu ujar pemilik kios.
Seperti mendapatkan dukungan, Jarwo tidak melewatkan kesempatan. Ikan untuk berjualan semakin banyak.
"Saya mau beli ikan dan pakannya sekalian. Ini harganya berapa ?" ujar perempuan berkerudung hitam,
"Lima puluh ribu saja !" ujar Haryo.
Merasa murah, perempuan tadi menceritakan tempat penjual ikan itu. Dan kini, perempuan itu menjadi istrinya Haryo.
Godean, 30 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H