Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jadhah Tempe

10 Maret 2023   06:00 Diperbarui: 10 Maret 2023   06:12 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Makanan Pejuang

Cerpen Yudha Adi Putra

                Pagi sudah tiba. Kicau burung nyaring terdengar. Ayam berkokok berkali-kali. Ada suara yang lebih keras dari itu semua. Sebuah ledakan. Ledakan yang berhasil menghancurkan tembok pertahanan. Ledakan terdengar berkali-kali. Setelahnya, rintihan tangis dan kesakitan. Jam belum ada jam enam pagi. Tapi, perang sudah dimulai. Serangan fajar, begitu para pejuang menyebutkan.

                "Musuh ini licik sekali !"

                "Sialan !"

                "Kenapa mereka menyerah di waktu seperti ini,"

                "Matahari belum sempurna terbit. Tapi, sudah banyak pejuang yang gugur. Pemimpin, bagaimana kalau kita mundur terlebih dahulu ?"

                "Apa katamu ? Mundur ? Tidak ! Kita harus menahan musuk supaya tidak masuk ke pusat kota. Setidaknya, sebelum bala bantuan dari tentara datang. Ingat kawan. Kita pejuang !" seru pemimpin mereka. Seorang lelaki tua dengan ikat kepala batik.

                "Kita harus berbuat apa ? Senjata musuh terlalu canggih !"

                "Pasang jebakan saja, perlambat pergerakan musuh untuk masuk kota !" usul Jarwo sambil membawa bambu.

                "Dengan bambu runcing ini ?"

                "Apa saja bisa digunakan !" seru pemimpin mereka. Perang dimulai, tapi pihak musuh merasa tak ada perlawanan berarti. Namun, beberapa dari mereka mati secara senyam. Tak ada suara tembakan. Pejuang membunuh tentara penjajah tanpa bersuara.

                "Waktu pagi sudah tiba, banyak pejuang yang gugur !"

                "Kita mundur terlebih dahulu saja, ayo lari ke arah gunung !" seru pemimpin pejuang. Beberapa pejuang mengikuti. Sebelum masuk ke arah kota, tentara penjajah mengentikan perjalanan. Mereka baru menyadari, banyak temannya turut mati dengan diam-diam.

***

                Berlari mundur memang bukan harapan seorang penjuang. Tapi, mereka tak punya pilihan lain. Mungkin akan baik, jika mundur sebentar mengatur perencanaan.

                "Apa yang akan kita rencanakan esok ?" tanya seorang pejuang.

                "Saya lapar !" kata pemimpin pejuang.

                "Bagaimana dengan kalian, apakah lapar ?" lanjutnya sambil menatap satu persatu pejuang yang masih tersisa. Jumlah mereka tak ada dua puluh orang. Nampak wajah lelah dan lapar dari mereka. Tapi, terus saja berjalan.

                "Tentu, kami lapar sekali !"

                "Saya juga lapar,"

                "Rasanya aku mau pingsan,"

                Keluhan demi keluhan mewarnai perjalanan mereka. Tak terasa, mereka sudah sampai di markas dekat gunung. Tak akan ada tentara musuh mengira, kalau di kaki gunung berapi itu ada markar pejuang. Lengkap dengan tempat-tempat untuk menyimpan senjata.

                "Bagaimana keadaan kalian ? Kenapa hanya sedikit yang kembali ?" tanya seorang perempuan. Ia menatap sekeliling.

                "Banyak dari kami gugur dalam berjuang. Kami lapar, apakah ada sesuatu yang dapat dimakan ?"

                "Kita bakar ubi saja, Mas !" usul seorang prajuit sambil membawa ubi. Ubi yang didapat dalam perjalanan kembali ke markas tadi. Entah, mencuri dari mana.

                "Aku ada jadha. Baru saja selesai membuat. Tunggu sebentar, tempe yang aku bacem sedang dimasak. Tak lama pasti sudah matang. Kalian istirahat dulu," kata perempuan tadi. Perempuan setengah baya itu adalah istrinya pemimpin penjuang.

                Para pejuang beristirahat di sekitaran markas. Mereka merokok dan mengatur kembali strategi.

                "Perjalanan kita jauh, Mas. Untuk memutar seperti itu tentu membutuhkan banyak tenaga !"

                "Kita bisa bawa bekal makanan," tegas pemimpin penjuang.

                "Makanan apa yang bisa bertahan dalam perjalanan dan tidak memakan banyak tempat ketika dibawa. Kita sudah banyak membawa barang. Bahkan, beberapa pejuang membawa pacul juga. Itu sudah memberatkan untuk perjalanan jauh," keluh seorang pejuang sambil mulai menyalakan rokok lintingannya.

                "Ini jadhah tempenya. Sudah matang," kata perempuan separuh baya itu mendekati diskusi para pejuang.

                "Terima kasih, Mbak,"

                "Wah, ini pasti enak sekali,"
                "Rasa tempe bacemnya manis !"

                Mereka semua menikmati jadhah tempe dengan lahap. Para pejuang kemudian saling tatap.

                "Bagaimana kalau kalian bawa bekal jadhah tempe besok waktu berjuang ?" tanya perempuan paruh baya itu.

                "Jadhah warna putih terbuat dari ketan. Perjuangan putih suci dengan ikatan persaudaraan. Itu menjadi dasar dalam kita berjuang. Kita besok pasti bisa menang !" kata pemimpin pejuang.

                "Tempe ini manis karena dibacem. Energinya akan bermanfaat untuk kalian. Manis seperti cinta dan pengharapan. Berjuanglah dengan cinta dan harapan untuk masa depan," kata perempuan setengah baya itu.

                Mereka tersenyum puas dan bangga. Ada harapan di kala krisis berjuang.

                "Kelak anak cucu kita akan mengenal jadhah tempe ini sebagai makanan legendaris pejuang," kata perempuan yang kita bisa tahu sekarang namanya, Mbah Carik.

Godean, 10 Maret 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun