Keluhan demi keluhan mewarnai perjalanan mereka. Tak terasa, mereka sudah sampai di markas dekat gunung. Tak akan ada tentara musuh mengira, kalau di kaki gunung berapi itu ada markar pejuang. Lengkap dengan tempat-tempat untuk menyimpan senjata.
        "Bagaimana keadaan kalian ? Kenapa hanya sedikit yang kembali ?" tanya seorang perempuan. Ia menatap sekeliling.
        "Banyak dari kami gugur dalam berjuang. Kami lapar, apakah ada sesuatu yang dapat dimakan ?"
        "Kita bakar ubi saja, Mas !" usul seorang prajuit sambil membawa ubi. Ubi yang didapat dalam perjalanan kembali ke markas tadi. Entah, mencuri dari mana.
        "Aku ada jadha. Baru saja selesai membuat. Tunggu sebentar, tempe yang aku bacem sedang dimasak. Tak lama pasti sudah matang. Kalian istirahat dulu," kata perempuan tadi. Perempuan setengah baya itu adalah istrinya pemimpin penjuang.
        Para pejuang beristirahat di sekitaran markas. Mereka merokok dan mengatur kembali strategi.
        "Perjalanan kita jauh, Mas. Untuk memutar seperti itu tentu membutuhkan banyak tenaga !"
        "Kita bisa bawa bekal makanan," tegas pemimpin penjuang.
        "Makanan apa yang bisa bertahan dalam perjalanan dan tidak memakan banyak tempat ketika dibawa. Kita sudah banyak membawa barang. Bahkan, beberapa pejuang membawa pacul juga. Itu sudah memberatkan untuk perjalanan jauh," keluh seorang pejuang sambil mulai menyalakan rokok lintingannya.
        "Ini jadhah tempenya. Sudah matang," kata perempuan separuh baya itu mendekati diskusi para pejuang.
        "Terima kasih, Mbak,"