Menyeberang Jalan Kemusuk Sawo
Cerpen Yudha Adi Putra
        Setelah pasar malam usai, lapangan jadi terbengkalai. Sampah berserakan. Kabel masih menjalar di tanah. Tenda pedagang kaki lima belum semua dibongkar. Lubang jalanan turut menghiasi. Genangan air selepas hujan semalam menjadi saksi. Kalau dulu, pernah ada keceriaan malam. Ramai hingga pergantian tahun.
        "Kemana mereka melanjutkan perjalanan ya ?"
        "Aku dengar, pasar malam akan pindah ke kecamatan sebelah."
        "Hidup dari malam ke malam ya, pasti melelahkan."
        "Kenapa begitu ?"
        Tak ada jawaban. Hanya kepulan rokok menghiasi pagi. Pisang goreng bersedia menemani. Dua lelaki itu tak tidur semalam. Sehabis meronda, mereka menuju sawah. Semalam hujan, takut sawah terendam banjir.
        "Untung saja. Sawah kita aman dari banjir. Sekarang, hujannya tak menentu."
        "Belum tentu aman dari hama lain. Lalu, burung itu ? Mereka juga perlu makan."
        "Pasti makan padi juga."
        Jarwo tertunduk lesu. Pedagang soto langganan mereka belum tampak. Jam sudah menunjukkan pukul 07.24. Mungkin sebentar lagi, gumam Darso.
        "Jam segini, masih ada anak sekolah berangkat. Mereka tidak takut telat ya ?"
        "Biasa itu. Kalau kamu mau tahu, di sekolah samping rumahku itu. Jam sembilan masih ada murid merokok. Mereka biasa titip motor di rumahku. Meski halaman sempit, tapi bermanfaat."
        "Motornya kenapa tak dibawa ke sekolah ?"
        "Anak SMP tidak boleh bawa motor!"
        "Itu apa ?"
        Tangan Darso menunjuk pengendara sepeda motor. Baju seragam SMP, tapi dikeluarkan. Wajahnya penuh make up. Tidak ada rasa tergesa-gesa. Santai.
        "Begitu sudah banyak terjadi. Miris bukan ?"
        "Anak SMP sudah pada berdandan. Belum lagi, berangkat sekolah naik motor. Parahnya mereka malah terlambat. Kalau kita dulu, jalan kaki."
        "Kamu mungkin. Aku dulu naik becak kalau berangkat. Baru pulangnya jalan kaki."
        Jarwo menyalakan rokok juga. Asyik membicarakan anak SMP. Suara mangkok dipukuli mulai terdengar. Tak tahan menahan lapar, mereka mendekati penjual soto.
        "Segera ke sini, mas. Sudah siap gorengan juga ini saya !"
        "Jeruk nipisnya ada to, Mas ?"
        Penjual soto dengan gerobak itu mendekat. Sudah hafal dengan kedua langganannya itu. Petani desa yang ramah dan baik hati. Sering, penjual soto itu diberi ayam. Biasanya, menjelang akhir bulan.
        "Untuk berjualan soto ayam, mas !"
***
        Siangnya, Jarwo kesal. Seharian tak membuka gawai. Ada begitu banyak notifikasi. Mulai dari telpon dengan nomor tak dikenal. Pesan singkat tagihan utang. Dan dari berbagai hal yang menyesakkan adalah sindiran. Banyak sindiran di akun media sosial milik Jarwo. Entah, selalu ada perilaku yang salah dalam hidupnya. Tak pernah benar menurut orang lain.
        "Kita ini seperti hidup dalam akuarium raksasa ya,"
        "Kenapa begitu ?"
        "Semua hal yang kita lakukan. Semua itu dikomentari dan tidak ada yang benar. Ada saja yang tidak suka. Belum lagi, itu tidak bilang langsung. Tapi menyindir. Kalau hanya orang tak dikenal, mungkin masih bisa diam ?"
        "Maksudnya ?" tanya Darso.
        "Kau cari tahu sendiri. Tidak usah pura-pura tidak tahu.
***
        Pembagian pupuk tiba, Jarwo sedang sakit. Karena tidak mau terlambat, dia minta tolong pada Darso untuk mengambilkan. Tentu, Darso dengan senang hati mau membantu. Pagi setelah ke sawah, Darso berangkat.
        "Hei. Kalau pakai mobil hati-hati. Ini jalan kampung !" bentak Darso.
        Tak mengira, ada mobil mau menyeberang jalan kemusuk sawo, dekat rumah Darso tapi tidak melihat jalan.
        "Mobil Cuma hasil jualan sawah bapakmu saja bangga !" teriak Darso kesal.
        Kaca mobil dibuka, ada seorang perempuan mencoba keluar. Karena takut ada masalah, Darso mempercepat laju motornya. Perlahan, dari kaca spion dia melihat bahwa perempuan itu adalah anak perempuan Jarwo.
        Sesampai di koperasi, Darso menceritakan ke beberapa petani lain. Kalau dia, hampir saja ditabrak oleh anaknya Jarwo. Cerita berkembang dan terus diceritakan.
        "Memangnya, anaknya Jarwo tidak tahu diri."
        "Begitu juga Jarwo. Tanah hasil warisan malah dijual untuk nurutin anaknya itu. Kualat dia."
Godean, 08 Februari 2023
       Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H