Yayan menatap dua orang pemuda tadi. Ada perasaan tidak suka. Tapi tidak kelihatan. Memangnya, apa yang dipedulikan dari penyandang disabilitas ? Tidak menganggu ibadah saja sudah cukup.Â
"Lihat itu. Air liurnya sudah membasahi baju !"Â
"Dia ini siapa ya ?"
Perempuan bersyal biru mendengar percakapan itu. Ia menatap iba pada Yayan yang selalu ingin ke gereja itu.
"Mungkin, perempuan di sampingnya itu Ibunya ?"
"Ibu kok tidak menjaga anaknya !"
"Maklum. Pasti malu karena punya anak idiot seperti itu !"
Yayan malah tidur, ia mendengkur. Seolah khotbah pendeta tak ada artinya. Sambil memperbaiki letak syal birunya, mata Ani berair. Ia lantas menyeka dan mengambil kain untuk membersihkan dagu Yayan dari air liur.Â
"Yayan senang ?" tanya perempuan bersyal biru.
Tak ada jawaban. Hanya ada sebuah senyuman. Terlelap dalam mimpi saat ibadah. Doa syafaat dimulai, semua juga memejamkan mata. Awalnya untuk berdoa, tapi ketika pendeta terlalu lama. Ada yang sampai tertidur juga.
***
Ada kesedihan yang tersirat ketika Pak Eko berkhotbah. Ia menatap Yayan, anaknya sendiri dari mimbar. Tak ada yang tahu. Kalau penyandang disabilitas itu adalah anak seorang pendeta yang khotbahnya mereka dengarkan. Setelah selesai berkhotbah, Pak Eko berada di konsisturi bersama beberapa petugas gereja.