Cerpen Yudha Adi Putra
Ritual akan menjadi membosankan. Biasanya karena banyak peraga tak menjadi manusia saja. Ada suasananya dibuat-buat. Banyak drama supaya khusyuk. Di antara banyak hal membosankan di gereja, tentu paling membuat mengantuk adalah ketika pendeta berkhotbah.Â
Tidak semua khotbah di gereja menyenangkan. Lebih sering membuat kantuk datang. Apalagi, jika di samping tempat duduk ada orang dengan perilaku aneh. Mendengkur saat ada khotbah. Bau ketiak. Dan yang paling dihindari adalah duduk dengan ada Yayan di sampingnya.
Betapa tingkahnya menjengkelkan, terutama ketika sedang berdoa. Mulut tak bisa diam. Bertingkah dengan menunjuk-nunjuk. Bau badan tercium. Bahkan, ketika khotbah pendeta tiba-tiba berteriak dengan lantang. Ibadah yang seminggu sekali menjadi sangat panjang dan menyebalkan.
Jemaat-jemaat sudah banyak yang mengeluh. Mengirim surat ke kantor gereja. Surat tanda keberatan. Seorang bapak melipatkan tangan di dada. Tatapan matanya fokus ke mimbar. Sepasang kekasih asyik berfoto. Balita berlarian karena tak tahan dengan panas gedung gereja.
"Ya, Tuhan. Kenapa seperti ini. Jadi tidak khusyuk ibadahanya. Banyak gangguan!" kata seorang ibu dengan batita digendongannya.
Yayan tidak memperdulikan suasana gereja. Ia seolah merasa tak terjadi apa pun di sekitarnya. Semua omongan orang tak didengar. Tetap saja, senyum manis menghiasi bibirnya. Tak jarang, ia membenahi rambut dengan tangan.Â
Mungkin, ini kali ke sekian ia ikut ibadah ke gereja. Tak kunjung dimulai, Yayan mulai menatap sekeliling. Ia masih berdiri menghadap mimbar. Mencari tempat duduk kesayangan. Tidak ada senyum untuknya. Tak sama ketika orang ke gereja. Jabat tangan ? Tak ada. Hingga ada perempuan dengan syal biru meraih tangan Yayan.
"Adik mau duduk di mana?" senyum dan keramahan itu membuat Yayan menatapnya. Yang semula berdiam mainan gawai, seolah mempersilakan untuk duduk di samingnya. Perempuan tadi membantu Yayan memilih tempat duduk. Mereka duduk berdampingan di dekat pemandu pujian. Bentuk gereja yang octagone memang menarik. Semua bisa saling berpandangan.
Selepas mendapatkan lembaran warta jemaat, mereka berkenalan, dan musik mulai terdengar. Gereja mulai penuh dengan jemaat. Pemandu pujian mulai duduk di tempat untuk bertugas. Sesekali mereka menatap jam tangan. Mencari informasi yang Yayan tak pernah tahu. Jam 08.02. Dari arah mimbar, seorang berbaju hitam muncul. Lonceng dibunyikan tiga kali. Jemaat mulai terdiam dari semua pembicaraan. Gawai dimatikan. Suasana gedung gereja diminta untuk hening. Tapi tak bisa, Yayan berkata-kata. Kakinya dihentakkan ke kursi didepannya.
Bangunan gereja memang sudah tua. Di atas mimbar ada sebuah papan. Papan itu melengkung ke depan. Konon, itu digunakan sebagai pemantul suara. Dahulu, belum ada pengeras suara. Suara pengkhotbah dipantulkan dari lengkungan itu. Tepat di atas mimbar, ada lukisan kaca. Gambar warna-warni yang seolah menyapa Yayan. Ada perempuan dengan kecapi.
Yayan mulai terdiam, air liur keluar dari mulutnya. Jemaat di sampingnya mulai risih. Ada yang menawari tissue. Yayan hanya diam. Ia tertidur menjelang lagu pertama dinyanyikan. Tanpa rasa cemas. Ke gereja menjadi seperti obat baginya. Bisa tidur nyenyak, tanpa merasa menjadi penganggu. Selain perempuan bersyal biru, tidak ada yang memperhatikan Yayan. Hanya perempuan itu, tampak penuh perhatian. Ada kasih dalam tiap tatapannya. Seperti mendapatkan kesempatan hidup, perempuan tadi berbuat baik pada mereka yang tak dianggap.Â
"Apakah kamu mau permen ?" kata perempuan bersyal biru sambil menunjukkan permen pada orang di samping tempat duduknya. Mendapat penolakan, perempuan tadi kemudian berdiri. Mengikuti arah dari liturgi. Yayan tetap terdiam. Baru ketika lagu berhenti, dia tersadarkan. Wajahnya tampak girang. Memperhatikan arah mimbar. Pendeta mulai membacakan Alkitab.
"Kau mau membacanya?" tanya perempuan bersyal biru. Dengan jari tangan digerakkan seperti berpola, ia memperkenalkan diri sebagai Ani.
"Aku mau baca!" ucap Yayan dengan terbata-bata. Seolah setiap satu kata membutuhkan belasan detik. Tangannya mengacungkan jempol. Kepalanya mengangguk. Tampak kalau senang ketika Alkitab dibacakan, ada keinginan bisa membacakan Alkitab untuk semua orang. Tapi, itu tidak mungkin.
Ani hanya tersenyum. Pendeta dengan lantang membacakan Alkitab. Menjadi bagian penting sebelum khotbah dimulai.
Yayan tersenyum tenang. Sudah lama ia ingin ke gereja. Kalau di gereja, rasanya tenang. Ada alunan musik klasik. Nyanyian merdu. Hanya tiga bulan sekali Yayan bisa ke gereja. Itu juga bukan di gereja asalnya. Bahkan, ketika Natal tiba. Yayan tak pernah bisa merayakannya. Baru ketika di gereja lain, Yayan bisa memakai topi santa dan tertawa. Ketika kecil memang ia bisa bergabung bersama. Ada perempuan yang menggendongnya. Tumbuh dewasa, tak semua menyenangkan. Perempuan dengan sebutan Ibu itu memilih bunuh diri. Tidak kuat dengan kenyatan hidup sebagai istri pendeta.
Eko, bapaknya Yayan, merupakan pendeta di gereja kecil pada puncak Gunung, tapi namanya bisa terkenal ke mana-mana. Bukan karena pandai berkhotbah. Khotbahnya biasa saja, bahkan cenderung lama. Sedangkan Yayan, sering ditinggalkan oleh Bapaknya. Tentu tuntutan pelayanan. Suatu malam, ada ular di kamar Yayan, ular tadi dipukuli oleh Yayan kecil karena takut. Tak sengaja, kakinya menginjak bangkai ular. Setelah kejadian itu, kaki Yayan menjadi sulit digerakkan. Usianya belum genap tujuh tahun. Karena kejadian ular di malam hari, Yayan menjadi penyandang disabilitas keterbelakangan mental. Usia bertambah, tapi mentalnya masih anak usia tujuh tahunan.Â
Banyak dugaan kalau Yayan terkena kutukan dosa. Tidak jarang mengira itu ujian anak seorang pendeta. Dan yang paling menyakitkan adalah Yayan menjadi bentuk dosa ibunya yang dulu menjadi pelacur. Bertobat dan menjadi istri pendeta tak cukup. Dosa tetap meminta balas, begitu anggapan orang di sekitar. Itulah yang membuat Yayan tak pernah ke gereja. Meski dia anak seorang pendeta. Hanya berada di kamar saja. Baru ketika Bapaknya mendapat undangan khotbah di luar, ia diajak dengan sukacita.
Dan sebenarnya, Pak Eko tak pernah menceritakan anaknya itu. Ketika berkhotbah, ia hanya datang ke gereja begitu saja. Yayan berada dalam mobil, kadang berjalan keluar sendiri menuju gereja tempat dimana Bapaknya dapat undangan tugas. Yayan sering berandai, ia dapat membantu Bapaknya, membacakan warta jemaat, membuka dan membacakan Alkitab sambil memandang sekeliling jemaat yang datang. Seumur hidupnya, itu hanya menjadi impian belaka.
Tapi, bila hal itu terjadi. Tentu Yayan bisa mendapati gereja dengan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Merasakan nikmat mengikuti ibadah dengan bahasa isyarat. Sapaan ramah bagi yang tak bisa berbahasa verbal. Bersamaan gereja yang ramah penyandang disabilitas, ia mengharapkan ada keterlibatan penyandang disabilitas dalam ibadah. Tidak hanya menjadi jemaat duduk. Ada kesempatan merasakan perjamuan kudus. Bisa membacakan Alkitab. Turut serta mengambil kebijakan untuk kegiatan gereja. Dan yang pasti dianggap manusia seutuhnya. Bukankah Yayan tak bisa memilih, kenapa dia menjadi penyandang disabilitas ?
Keinginannya untuk ke gereja selalu dihalangi oleh banyak orang. Maka ketika Bapaknya mengajak ke gereja lain, itu ia manfaatkan untuk ikut beribadah. Harapannya dalam hidup, ikut beribadah yang dianggap membosankan karena hanya ritual itu. Tak pernah Yayan mengatakan keinginannya pada Bapaknya. Selain tak mengerti cara menyampaikan, menjadi penyandang disabilitas tapi anak pendeta tentu menjadi aib yang asyik dibicarakan.Â
Satu-satunya orang yang tahu keinginan Yayan bukan Bapaknya yang pendeta, apalagi orang-orang di gereja, tetapi malam Ani. Seorang pelacur kawan Ibunya Yayan dulu. Memasuki usia tua, melacur tak akan laku terus. Menjaga pesan sahabat, Ani selalu memperhatikan Yayan meski dari kejauhan dan melalui berbagai cara.
"Mbak. Aku titip Yayan. Bagaimana pun juga, dia adalah berkat Tuhan. Dia bukan aibku karena menjadi pelacur. Bukan. Aku merasa tenang ketika bisa merawat Yayan. Tapi, aku tidak kuat dengan omongan banyak orang. Aku tidak mengerti dengan anggapan mereka. Apa Tuhan benar marah ? Suamiku yang pendeta juga tak punya jawaban !" kata Ibunya Yayan, seminggu sebelum ditemukan tewas minum obat nyamuk.Â
Percakapan itu menjadi pesan. Ani tahu betul perjalanan hidup Ibunya Yayan. Bahkan, Ani memperhatikan Yayan tapi ketakutan. Bagaimana mungkin, seorang pelacur mencoba merawat anak seorang pendeta ? Tentu harus dengan cara diam-diam. Dalam cara apa saja, kecuali doa.Â
"Aku bangga. Kau bisa keluar dari dunia kupu-kupu malam. Orang-orang juga tidak tahu, kalau ada yang tahu. Pasti mereka tak berani berkomentar. Kau dinikahi seorang pendeta. Bahkan, dalam hidupmu kau melihat orang melahirkan sampai orang mati. Menemani suamimu itu," kata Ani pada Ibunya Yayan. Ketika itu, Yayan masih menyusu. Belum bisa berjalan.
Belum selesai bercerita, Ani melihat pipi kawannya basah dengan air mata. Seolah, akan ada dan terus ada masalah berat ditanggungnya. Tangisan Yayan kecil terdengar. Ani memeluk mereka.
"Mbak. Semangat ya. Aku yakin. Tuhan lebih tahu hati kita!" ungkap Ibunya Yayan. Banyak pelanggan merindukannya, bahkan sekelas penjabat. Tapi, kini pelacur bernama Erni itu telah melahirkan anak pertamanya dan menjadi istri seorang pendeta.
***
Pendeta mulai berkhotbah. Suasana gereja kian khusyuk. Seolah Tuhan sedang berbicara. Tak ada yang berani bertingkah. Anak kecil dipisahkan, jangan sampai menganggu ketenangan.Â
"Setelah ibadah selesai. Mari melanjutkan kasih dan saling peduli di tengah berbagai persoalan hidup. Sudahkah kita berbuat kasih terhadap sesama ?" ujar Pendeta dengan bersemangat.Â
"Semoga segera berkata amin !" gumam seorang pemuda.
"Ya ampun. Itu malah diulangi lagi. Katanya, tadi yang ketiga." balas pemuda di sampingnya.Â
Yayan menatap dua orang pemuda tadi. Ada perasaan tidak suka. Tapi tidak kelihatan. Memangnya, apa yang dipedulikan dari penyandang disabilitas ? Tidak menganggu ibadah saja sudah cukup.Â
"Lihat itu. Air liurnya sudah membasahi baju !"Â
"Dia ini siapa ya ?"
Perempuan bersyal biru mendengar percakapan itu. Ia menatap iba pada Yayan yang selalu ingin ke gereja itu.
"Mungkin, perempuan di sampingnya itu Ibunya ?"
"Ibu kok tidak menjaga anaknya !"
"Maklum. Pasti malu karena punya anak idiot seperti itu !"
Yayan malah tidur, ia mendengkur. Seolah khotbah pendeta tak ada artinya. Sambil memperbaiki letak syal birunya, mata Ani berair. Ia lantas menyeka dan mengambil kain untuk membersihkan dagu Yayan dari air liur.Â
"Yayan senang ?" tanya perempuan bersyal biru.
Tak ada jawaban. Hanya ada sebuah senyuman. Terlelap dalam mimpi saat ibadah. Doa syafaat dimulai, semua juga memejamkan mata. Awalnya untuk berdoa, tapi ketika pendeta terlalu lama. Ada yang sampai tertidur juga.
***
Ada kesedihan yang tersirat ketika Pak Eko berkhotbah. Ia menatap Yayan, anaknya sendiri dari mimbar. Tak ada yang tahu. Kalau penyandang disabilitas itu adalah anak seorang pendeta yang khotbahnya mereka dengarkan. Setelah selesai berkhotbah, Pak Eko berada di konsisturi bersama beberapa petugas gereja.
"Kenapa Pak Pendeta datang ke gereja sendiri ? Bu Pendeta dimana ?" tanya seorang Ibu. Maklum. Kalau berpelayanan. Biasanya, pendeta ditemani istrinya. Kalau sudah berkeluarga. Bahkan, sejak mahasiswa saja sudah bersama kekasih.
"Istri saya meninggal sepuluh tahun yang lalu. Saya tidak bersama istri saya. Tapi, saya selalu bersemangat kalau datang ke gereja yang belum pernah saya kunjungi. Itu impian istri saja. Pelayanan dan perjalanan ke tempat baru," kata Pak Eko. Ia mulai meraih gelas berisi teh yang masih rapat dengan tutupnya.
"Menyenangkan sekali memiliki pendeta yang senang berkunjung dan jalan-jalan," kata seorang Bapak paruh baya.
"Betul seperti itu, Pak ? Bukannya pendeta memang harus sering berkunjung dan bertemu jemaatnya ?"
"Tentu saja. Tapi, jarang pendeta mau seperti itu. Selalu sibuk. Pertemuan harus terjadwal. Semua harus sesuai keinginannya. Kalau dilawan, dia bilang pakai ayat pembelaan kalau dirinya utusan Tuhan !"
"Memangnya keinginannya apa?"
"Dia ingin di gereja bisa untuk penyandang disabilitas dan anak-anak. Padahal, itu akan menganggu jalannya ibadah. Masa, membaca Alkitab tadi dia tak jelas membaca. Ikut perjamuan, tapi kakinya pincang ? Terus, setiap khotbah minta diberikan penerjemah bahasa isyarat !" kata lelaki tua paruh baya tadi.
Pak Eko terdiam. Kesedihan dan harapan muncul bergantian, terasa hampa ia menatap tanda putih di lehernya. Ketika Pak Eko ingin berpamitan, ada seorang perempuan bersyal biru tiba-tiba masuk ke ruang konsituri.
"Apakah saya bisa bertemu dengan Pak Pendeta Eko ?" tanyanya pada seorang perempuan yang sibuk menghitung uang kolekte.
"Ini kali ketiga aku bertemu dengannya. Aku tidak mengenali. Kali pertama di sebuah halaman parkir gereja dan membawa sebuah buku," gumam Pak Eko.
Beberapa orang di ruangan itu seketika menghentikan pekerjaan. Pandangan mereka tertuju pada Pak Eko. Dengan penuh keheranan, tapi sungkan untuk bertanya. Siapa sebenarnya, bukankah tadi istrinya diceritakan sudah meninggal ?
"Maklum, Pak. Bapak itukan publik figur. Mungkin saja, itu janda yang jatuh cinta. Ia berusaha mendekati Anda !" kata seorang Ibu.Â
***
Yayan berkeliling gereja sendirian. Banyak jemaat berfoto setelah ibadah. Tak ada yang menyapa Yayan. Ketika berpapasan, kebanyakan memilih menghindar. Jijik.Â
"Itu siapa, meresahkan sekali. Apa perlu kita panggil rumah sakit jiwa ?"
Belum sempat ada yang menjawab pertanyaan itu, Yayan sudah mendekat. Langkahnya semakin dekat pada sebuah pelantang. Lilin setelah kebaktian masih menyala.
"Yayan ingin ke gereja !" ucap Yayan dengan terbata-bata. Senyuman menghiasi bibirnya, seorang koster, penjaga gereja menyambutnya. Seperti pernah berjumpa, penjaga gereja tadi menatap lama mata Yayan. Seketika, ia teringat bayangan seorang pelacur yang sedang mengikat rambut di depannya, belasan tahun silam.
GKI Gejayan, 30 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H