Satu-satunya orang yang tahu keinginan Yayan bukan Bapaknya yang pendeta, apalagi orang-orang di gereja, tetapi malam Ani. Seorang pelacur kawan Ibunya Yayan dulu. Memasuki usia tua, melacur tak akan laku terus. Menjaga pesan sahabat, Ani selalu memperhatikan Yayan meski dari kejauhan dan melalui berbagai cara.
"Mbak. Aku titip Yayan. Bagaimana pun juga, dia adalah berkat Tuhan. Dia bukan aibku karena menjadi pelacur. Bukan. Aku merasa tenang ketika bisa merawat Yayan. Tapi, aku tidak kuat dengan omongan banyak orang. Aku tidak mengerti dengan anggapan mereka. Apa Tuhan benar marah ? Suamiku yang pendeta juga tak punya jawaban !" kata Ibunya Yayan, seminggu sebelum ditemukan tewas minum obat nyamuk.Â
Percakapan itu menjadi pesan. Ani tahu betul perjalanan hidup Ibunya Yayan. Bahkan, Ani memperhatikan Yayan tapi ketakutan. Bagaimana mungkin, seorang pelacur mencoba merawat anak seorang pendeta ? Tentu harus dengan cara diam-diam. Dalam cara apa saja, kecuali doa.Â
"Aku bangga. Kau bisa keluar dari dunia kupu-kupu malam. Orang-orang juga tidak tahu, kalau ada yang tahu. Pasti mereka tak berani berkomentar. Kau dinikahi seorang pendeta. Bahkan, dalam hidupmu kau melihat orang melahirkan sampai orang mati. Menemani suamimu itu," kata Ani pada Ibunya Yayan. Ketika itu, Yayan masih menyusu. Belum bisa berjalan.
Belum selesai bercerita, Ani melihat pipi kawannya basah dengan air mata. Seolah, akan ada dan terus ada masalah berat ditanggungnya. Tangisan Yayan kecil terdengar. Ani memeluk mereka.
"Mbak. Semangat ya. Aku yakin. Tuhan lebih tahu hati kita!" ungkap Ibunya Yayan. Banyak pelanggan merindukannya, bahkan sekelas penjabat. Tapi, kini pelacur bernama Erni itu telah melahirkan anak pertamanya dan menjadi istri seorang pendeta.
***
Pendeta mulai berkhotbah. Suasana gereja kian khusyuk. Seolah Tuhan sedang berbicara. Tak ada yang berani bertingkah. Anak kecil dipisahkan, jangan sampai menganggu ketenangan.Â
"Setelah ibadah selesai. Mari melanjutkan kasih dan saling peduli di tengah berbagai persoalan hidup. Sudahkah kita berbuat kasih terhadap sesama ?" ujar Pendeta dengan bersemangat.Â
"Semoga segera berkata amin !" gumam seorang pemuda.
"Ya ampun. Itu malah diulangi lagi. Katanya, tadi yang ketiga." balas pemuda di sampingnya.Â