Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Undian Jalan Sehat

27 Januari 2023   19:00 Diperbarui: 27 Januari 2023   19:00 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Undian Jalan Sehat
Cerpen Yudha Adi Putra

Tawa riang terdengar dari ruangan pinggir jalan. Hujan deras tak menjadi halangan. Remang lampu cukup untuk menjadi kawan. Kumpulan anak desa itu merayakan malam Jumat dengan penuh semangat.
"Ah. Permainan seperti hitungan sulit sekali. Angka tidak pasti. Dia curang, buat soalnya ribuan !"

"Siapa minta. Cuma untuk seru-seruan saja. Kenapa kalian begitu serius ?"

Gumam percakapan memperhangat malam. Ada empat belas pemuda. Mereka mengikuti pendalaman Alkitab. Sebuah kegiatan malam Jumat. Awalnya, diadakan malam Minggu. Tapi, tak banyak yang mau. Wajar saja, setiap pertemuan bisa larut malam. Tidak semua waktu hanya habis untuk malam Mingguan bukan.

"Ayo. Buruan. Nanti masih ada doa syafaat. Kalau sampai malam bagaimana ? Kasihan. Besok masih ada yang sekolah !"

Perempuan berambut panjang mulai mengeluh. Bukan karena kalah dalam permainan. Tebak-tebakan dan hitugan angka dalam pertemuan menjadi menyebalkan. Apa belajar harus soal matematika ?
"Mbak. Aku takut. Nanti kalau pulang itu lewat kuburan. Mau coba jalan lain, pasti pintunya ditutup !"

Ada perempuan termuda di antara mereka. Wajar saja. Ia pertama ikut acara seperti itu.

"Nanti. Kalau pulang putar arah saja !"

Saran seorang berbadan gendut, ia dijuluki Gemoi. Percakapan malam menjadi semakin kacau. Ada kerinduan soal hari esok. Kegelisahan juga diungkapkan. Kenangan akan waktu lalu.
"Andai, Mbak Resa ada. Pasti cocok kalau ngobrol dengan Mas Yoel !"

Tatapan perempuan berkulit putih. Ia menaruh harap. Senyuman terpampang. Kelak, akan ada kejutan apa lagi dalam sapaannya ?

"Memangnya kenapa ? Dia juga orang Jakarta ?"

"Persis. Kalau ngomong sudah pakai elu sama gue. Gokil !"

Tidak mungkin salah. Itu upaya membuat orang baru nyaman. Salah satu diberi kesempatan untuk berbicara, lanjut berdoa.

"Ia calon pendeta !"

"Kita hampir saja lupa !"

Begitulah, Erni menjadi pembawa acara. Ia tak memperhatikan. Wajah kesal beberapa teman. Permainan tak menyenangkan.  Waktu berjalan lambat. Makanan tak kunjung datang !

"Ayo. Kasihan mereka yang besok sekolah. Harus bangun pagi. Jam lima sudah mandi !"

Perkataan perempuan bernama Juni itu berhasil. Perhatian banyak orang tertuju padanya. Senyuman nampak dalam gigi gingsul.

"Makanya. Kalau mau ada permainan itu perhitungan dulu. Tidak sopan!"

Maklum. Tempat bertemunya banyak latar belakang.

Ada si miskin dengan harapan ketika datang berdoa. Bisa menjadi kaya dan nyaman hidupnya. Ada si kaya, supaya egonya diberi makan seenaknya. Malam tak terasa. Sampai akhirnya, lagu dimainkan. Lelaki memeluk gitar dan bernyanyi.

"Aku sudah membawa firman. Setelah ini, masih harus mengiringi menyanyi kalian juga ?"

Ia bertanya. Tapi tidak tahu pada siapa. Semua tidak ada yang berani menatap. Hanya, ada suara Yudha.

"Besok sore. Kita ikut jalan sehat di gereja !"

Pemuda berambut gondrong itu berbicara. Ia tak peduli lagu baru saja selesai dinyanyikan. Mulai bercerita.  Soal hadiah indah dan tentunya tubuh sehat.

"Ke mana saja nanti jalannya ?"

"Cukup jauh !"

Yudha memperhatikan sekitar. Sama saja. Semua sibuk dengan gawainya. Tak ada tatap mata. Semua berbohong.

"Tidak ! Memang begitu cara kerjanya. Kalau kumpul bersama pemuda. Bawa gawai. Entah tidak dipakai. Itu bisa membuatmu terlihat sibuk."

Pernah Yudha mendapatkan alasan dan saran seperti itu. Itu awal mula, ia membenci pertemuan tapi mencintai perjumpaan. Sudah malam, apa tidak ada yang mau disampaikan ?

Batin Yudha, menatap ke luar. Hujan belum reda. Sorot mata mereka yang besok sekolah kian lelah. Nyata, kalau biasanya sejam lalu sudah tidur. Malam ini malam dalam percakapan entah. Semua itu demi apa ?

Entahlah. Ad yang pernah bilang. Untuk menjaga iman. Ada juga menyampaikan. Itu bentuk perjuangan. Tak salah juga, Yudha menyimpulkan. Supaya tak sepi ketika membuat kegiatan. Lebih lagi, supaya kalau mati. Ada yang mau melayat. Kita semua calon mayat bukan ?

"Mas. Aku minta tolong antarkan pulang !"

"Takut. Nanti kalau lewat kuburan bagaimana?"

Ketakutan dua anak SMP itu menjadi nyata. Yudha terdiam. Ia mengeluh juga.

"Kenapa tidak minta tolong antarkan mereka yang tadi berkata-kata seolah kakinya tak menginjak tanah ?"

Dua anak tadi terdiam. Ia bingung. Siapa sebenarnya yang salah. Tak ada.

"Kami tidak enak. Mereka masih asyik berbicara. Lagi pula, tak ada salahnya minta tolong !"

"Minta tolong kalau sudah dalam kondisi sulit.  Kalau ketawa dan bahagia ? Aku hanya patung di pojokan."

Yudha kesal. Tapi, ia tetap meraih kunci motornya. Berjalan keluar, tanpa menjabat tangan mereka yang pamitan. Malas basa-basi.  Apa yang ditanyakan ? Capaian hidup ? Tawa hanya milik mereka saja. Kalau derita dan perjuangan. Hanya siapa yang mau saja, termasuk Yudha.

"Sebenarnya aku malas mengantarkan. Bukan karena tak mau menolong. Tapi lelah dengan percakapan tak manusiawi itu. Ada saja yang dibicarakan. Tapi semua tak sesuai dengan kenyataan !"
"Aku takut. Hujan semakin deras. Kami juga tidak membawa jas hujan.

"Makanya, besok ikut jalan sehat. Siapa tahu dapat jas hujan. Lumayan, kalau saat seperti ini sangat berharga."

"Musiman !"

Ujar tiga anak SMP itu ketus. Entah, tak tahu apa yang dikatakan menjadi menyakitkan. Perjalanan pulang dimulai. Ada yang masih asyik bercerita.
"Apa mereka tidak takut malam?"

"Tidak !"

"Mereka hanya takut pada kesepian!" ujar Yudha tanpa menatap sumber suara.
Malam memberikan sambutan terbaik. Hujan menjadi peka. Memilih reda sejenak. Membiarkan empat pemuda pulang. Dalam hening, suara kendaraan malah keras. Menembus malam di desa. Tak ada yang tersisa. Semua terlelap. Fani menatap arloji kecilnya. Mencari informasi, tak didapatkan.

"Jamku mati ternyata ! Kena air hujan tadi."

"Sekarang sudah jam sebelas malam. Waktunya pulang !" kata Yudha. Menunjuk pada tikungan.

Ada banyak belokkan. Semua dilalui dengan kedinginan. Bayangan jalan sehat muncul. Yudha senang, berharap esok mendapatkan hadiah. Apa saja, kalau bisa jangan kesepian.
"Kau tidak apa diantarkan sampai sini?"

"Ada sekumpulan pemuda tadi !"

"Biasa. Mabuk. Lelah dengan keadaan. Jangan merasa lebih baik dari mereka !"

Ketiga anak SMP itu tak berani menjawab. Tatapan kosongnya makin menjadi. Yudha pergi ditelan malamj. Jangkrik memulai paduan suara. Malam menjadi dini hari, mereka terjaga sampai pagi.
***
Kepala masih terasa pening. Pagi berselimut hujan. Ada deru kendaraan tiba. Percakapan ibu-ibu menjelang ke pasar. Kokok ayam dan kicauan burung tak terdengar. Masih malas karena hujan. Yudha belum sepenuhnya bangun. Perlahan, ia mendengar.

"Ada lomba jalan sehat nanti sore. Kita ikut ya!"

"Jalan sehat dilombakan?"

"Bukan. Hanya jalan sehat saja. Lumayan kalau dapat mesin cuci."

Tak tahu siapa yang berharap. Harapan dapat mesin cuci itu menganggu tidur pagi Yudha.

"Aku bangun sebentar. Mulai dengan doa pagi. Hal baik berdatangan pagi ini. Semoga."

Seolah lupa akan masalah semalam. Yudha bangun dengan tubuh pegal semua. Kepalanya pening. Rambut panjang tak beraturan. Ibunya seperti melihat singa.
"Rambutmu itu ! Cukur saja. Kalau pagi malah menakutkan !"

"Nanti kalau sudah jadi sarjana !"

"Apa hubungannya?"

"Bukan tentang apa yang ada di dalamnya. Tapi, seperti apa yang tumbuh diatasnya. Masa rambut dijadikan patokan."

"Paling tidak. Rapi."

Yudha kesal. Ia tetap melanjutkan langkah. Kembali tidur setelah kencing. Teringat perkataan guru SMP. Minum air putih dua gelas. Untuk detoks.

"Setelah minum. Usahakan tidak makan. Biar air putih bekerja membersihkan. Tubuh pasti jadi lebih sehat. Mandi saja dua kali. Masa minum enggak !"

Begitu penjelasan Ibu Elisabeth. Yudha gemar menurutinya. Air putih dua gelas. Setelah minum, lalu tidur. Berharap mimpi indah, skripsi selesai.

"Sudah mulai bab berapa ?"

"Ada pertanyaan lain ?"

Yudha ketika ditanya, malah baik tanya. Kekesalan mahasiswa semester delapan. Pertanyaan soal skripsi.

Makanya, bersama burung lebih manusiawai. Itu alasan Yudha, kalau ditanya kenapa tak bersama banyak orang. Biasanya, semester akhir menjadi momen mencari muka.
"Tidak usah ! Aku sudah punya!"
Pagi dinikmati dengan hujan. Ada banyak janji harus dikerjakan. Mulai menulis cerita. Mengantarkan adik sekolah. Memberi makan burung. Semua itu kerjakan ketika pagi oleh Yudha.

"Kapan ada perubahan dalam hidup?"
"Kenapa memangnya?"
"Aku bosan. Hidup yang aku harapkan tak kunjung tiba. Semoga jalan sehat nanti memberi warna !"
Keluhan Yudha itu didengar oleh kawannya. Kawan yang semalam tak datang. Acara pemuda memang bisa saja menyingkirkan harapan. Ketika paham tak sesuai. Mereka bisa memilih untuk pergi saja. Pilihan untuk tidak hadir dalam pertemuan.

"Pagi ini. Aku bangun jam setengah sembilan. Tetap sama. Tak ada makanan !"
"Sabar saja ! Nanti bisa beli. Uangmu masih banyak bukan?"

"Uang dari mana ? Pekerjaan saja tak ada. Hanya berharap dengan menulis. Semoga realita dalam tulisan indah!"

Percakapan Yudha dengan kekasihnya. Setidaknya, masih ada tempat keluhan. Apa saja. Soal pagi hujan dan tak ada makanan. Bisa jadi, itu momen merayakan kemiskinan.

Untuk rencana hari esok, Yudha memilih menulis dalam sebuah buku. Entah gawai impiannya sampai laptop harapan. Semua dalam tulisan. Perlahan, satu persatu menjadi nyata. Ada yang sangat diharapkan. Menang undian jalan sehat.

"Aku tak ada makanan ! Bisa kau pinjami aku uang sebentar?"
Seketika, Yudha terbangun dari tidurnya. Ia menatap sekeliling. Sudah siang. Burung perlu mandi dan makan. Yudha bangun dengan banyak harapan.

***

Antrean untuk makan membuat Yudha marah. Ia mencari tahu guling. Tanpa pilihan makan. Tetap saja. Penjual membuka tokonya.
"Bu. Saya pesan tahu guling satu. Tidak pedas."
"Tidak bisa. Semua pesanan !"
Jawaban ketus penjual itu membuat Yudha diam. Tak memperhatikan perempuan tua. Ada kelaparan. Ada pilihan menu untuk dinikmati.
"Kalau tidak niat jualan. Tutup saja !"
Bentakan itu membuat perempuan kaget. Teringat dulu memulai jualan. Menjadi pelacur tidak laku. Modal pinjaman digunakan untuk memasak.
"Kalau ada yang lapar. Layani dulu. Utamakan yang paling membutuhkan."

Perempuan tadi ingat. Ia baru saja melupakan janjinya. Yudha sudah pergi. Amarah ada dalam hatinya.
Langkah mencari makan dimulai. Yudha berhenti pada sebuah toko. Ia menatap dekat gereja. Sudah banyak hiasan ditata.
"Wah. Siap untuk jalan sehat. Nanti aku mau dapat mesin cuci. Aku harus ikut !" gumam Yudha.
Ketika sampai di warung makan. Percakapan seorang penyapu jalan terdengar.

"Aku lapar sekali. Semoga nanti bisa ikut jalan sehat. Dapat makanan tidak ?"
"Itu masih nanti sore. Belum lagi, kalau hujan. Pasti batal !"
Dalam lamunan ringan, Yudha memperhatikan. Banyak juga orang berharap menang. Dalam undian jalan sehat seperti kehidupan.
"Kalau hidup diundi. Kita bisa mendapatkan dengan adil atau tidak ?"

"Setidaknya. Mulai adil jika kamu membayar makananmu malam kemarin dan pagi ini !"
Bentak penjual makanan. Yudha hanya tersenyum. Tangannya mulai meraih dompet.
"Berapa?"

"Lima puluh ribu !"
Dua lembar uang berwarna merah dikeluarkan. Yudha tersenyum.
"Buat mereka sekalian. Kasihan. Kelihatan kelaparan. Pasti sudah berhari-hari tidak makan !"
***
Kicauan prenjak tamu terdengar. Burung dengan mitos pembawa tamu. Entah milik siapa, tapi selalu berada di rumah Yudha. Tepat ketika pagi, selalu berkicau.
'Kita akan menangkapnya siang ini. Harus berhasil. Aku sudah muak !"
"Kenapa memang ? Bukannya burung memang harus bebas ?"

Seperti tidak dipahami. Yudha meninggalkan Ibunya. Memasang lem di samping kurungan kesil. Tampak burung prenjak datang seperti menghina.
"Mereka bertarung ! Pasti punyaku menang !"
"Kamu kira ini undian jalan sehat ?"

"Mirip !"
Wajah kesal mulai tampak. Burung dalam sangkar terdiam. Yudha ingat, tulisan semalam belum selesai. Ia berharap bisa melanjutkan. Tapi, ada janji ikut jalan sehat. Harapan untuk menang juga besar.
"Aku ingin sekali dapat mesin cuci."
Yudha menulis dalam kertas. Kertas warna kuning. Lipatan kertas itu dibawanya ke mana saja. Ada di dekat kunci motor.

"Semoga saja. Burung prenjak tamu tidak tahu ! Kalau aku nanti sore mau pergi. Jadi, bisa hinggap di ranting penuh lem itu !"
Harapan Yudha bermunculan. Soal prenjak tamu dan mesin cuci.

Tidak semua bisa menjadi kenyataan. Ada notifikasi masuk. Yudha mulai keheranan.
"Bu. Tamu datang. Entah dari mana. Ia membawa daster pesanan !"
"Pasti Bu Anas Tyas Indah. Ia kawan Ibu!"

"Cepat ditemukan!"
"Kamu kira kupon?"
Mereka tertawa. Ada kegelisahan. Yudha menatap layar gawainya. Sebuah nama di dekat judul skripsinya. Pdt. Robert Setio, PhD.

***
Sebulan yang lalu, Yudha menuliskan sebuah cerita. Cerita kehilangan uang. Dalam perjalanan pulang, Yudha mencoba mencari lagi. Tapi usaha itu percuma. Uang tetap hilang. Hingga, ia berhasil menuliskannya. Lama tidak bertemu, tulisan dan penulis bisa menjadi sahabat.

"Kalau aku tidak punya uang. Aku mau mendapatkan mesin cuci dalam undian jalan sehat !"
"Tapi. Kenapa ada kata kalau ? Itu artinya tidak mungkin !"

"Bukan. Itu sejenis harapan. Supaya bisa mendapatkan cerita yang lebih menawan."
"Soal apa?"
"Undian jalan sehat!" kata Yudha menyudahi perasaan sedihnya. Hingga waktu jalan sehat dimulai. Ia tak sempat ikut. Hanya mendapatkan cerita. Entah soal lelah, tapi ada juga soal mendapatkan hadiah.

Godean, 27 Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun