"Takut. Nanti kalau lewat kuburan bagaimana?"
Ketakutan dua anak SMP itu menjadi nyata. Yudha terdiam. Ia mengeluh juga.
"Kenapa tidak minta tolong antarkan mereka yang tadi berkata-kata seolah kakinya tak menginjak tanah ?"
Dua anak tadi terdiam. Ia bingung. Siapa sebenarnya yang salah. Tak ada.
"Kami tidak enak. Mereka masih asyik berbicara. Lagi pula, tak ada salahnya minta tolong !"
"Minta tolong kalau sudah dalam kondisi sulit. Â Kalau ketawa dan bahagia ? Aku hanya patung di pojokan."
Yudha kesal. Tapi, ia tetap meraih kunci motornya. Berjalan keluar, tanpa menjabat tangan mereka yang pamitan. Malas basa-basi. Â Apa yang ditanyakan ? Capaian hidup ? Tawa hanya milik mereka saja. Kalau derita dan perjuangan. Hanya siapa yang mau saja, termasuk Yudha.
"Sebenarnya aku malas mengantarkan. Bukan karena tak mau menolong. Tapi lelah dengan percakapan tak manusiawi itu. Ada saja yang dibicarakan. Tapi semua tak sesuai dengan kenyataan !"
"Aku takut. Hujan semakin deras. Kami juga tidak membawa jas hujan.
"Makanya, besok ikut jalan sehat. Siapa tahu dapat jas hujan. Lumayan, kalau saat seperti ini sangat berharga."
"Musiman !"
Ujar tiga anak SMP itu ketus. Entah, tak tahu apa yang dikatakan menjadi menyakitkan. Perjalanan pulang dimulai. Ada yang masih asyik bercerita.
"Apa mereka tidak takut malam?"