Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sandal

4 Januari 2023   15:40 Diperbarui: 4 Januari 2023   15:38 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sandal

Cerpen Yudha Adi Putra

Semoga kalian percaya, aku memang baru belajar bercerita. Sehari-hari, aku diinjak pemilikku. Namanya Yudha, seorang pemuda dengan kesenangan memelihara burung.

            "Dimana sandal biruku, Porto sudah lama tidak nampak. Aku mau memakainya," teriak Yudha pada suatu pagi. Ia tergesa-gesa mencariku, sandal kesayangannya. Ibunya berteriak juga dari dalam rumah.

            "Kemarin baru kucuci, itu di sebelah teras rumah. Sengaja kujemur di sana, apa sudah kering ? Kalau sudah, bawa masuk juga sandal adikmu itu!" suara itu terdengar keras. Aku memang sedikit basah, hanya terkena embun semalam.

            "Ada yang satu, satunya hilang. Pasti kucing Timeo menggambilnya. Sial, dimana kucing itu?" Yudha menemukanku, tapi tidak dengan bagianku yang lain. Wajah kesalnya mencari kucing dan benar saja, Timeo menggigit bagianku yang lain.

            "Jangan dimakan Timeo, itu bukan makanan!" tak kusangka, Yudha melempar diriku. Aku terjatuh tepat di depan Timeo, memang Yudha tidak akan membiarkan kucing kesayangannya terkena lemparan sandal, apalagi dirinya sendiri yang melempar.

            Aku sudah lama bersama Yudha. Melewati banyak perjalanan. Pernah dibawa ke sawah hingga taliku hampir putus. Tak jarang, aku cukup keren untuk dibawa ke gereja. Mungkin, Yudha agak malu ketika membawaku ke pesta. Jadi, aku tak pernah ikut ke pesta. Hanya saja, pagi ini Yudha sepertinya tak seperti hari biasanya. Kelaparan sepertinya, semalaman menulis tanpa henti. Impiannya memang menjadi penulis, banyak waktu untuk membaca dan menulis. Aku merasa maklum, kalau sandal sepertiku tidak diperhatikannya. Tapi, aku tahu kebiasaannya, bahkan ketika marah karena makanan tidak ada. Persis seperti pagi ini.

            "Aku mau beli makanan dulu," pamit Yudha pada ibunya. Sepertinya, Ibunya Yudha tidak masak. Aku bisa mencium aroma sedap masakkan kalau ibunya Yudha masak. Keluarga ini memiliki enam sendal, semua digunakan bergantian. Hanya aku saja, sandal paling sering digunakan, mungkin karena bentukku keren dan aku awet melindungi kaki.

***

            "Motor sudah mau habis bensin. Tapi, tidak ada yang mengisi. Kalau penuh, semua berlomba-lomba menggunakan. Giliran mau dipakai seperti ini, malah diam. Mana tidak ada makanan," keluh Yudha sambil merapikan sandalnya. Asyik, aku mau diajak jalan-jalan.

            "Sendal, bagaimana kabarmu ? Katanya kau habis digigit kucing ? Apa tidak sobek ?" tanya sepeda motor. Sepeda motor bernama Appa memang ramah. Kalau diperhatikan, dia terlihat seram. Tapi, dia baik sekali. Menyenangkan ketika diajak berbicara.

            "Aku baik. Memang ada bagianku yang bolong-bolong. Tapi, tidak masalah. Aku senang bisa bertemu denganmu lagi, Appa," balasku pada Appa. Appa melaju menuju pojok desa. Rumah tempat Yudha tinggal memang berada dalam desa. Sedikit pelosok, jadi kalau mau ke sana harus melewati gang sempit. Gang sempit itu memiliki ukuran yang hanya cukup dilewati oleh Appa. Pagi itu, kami akan melewati jalan sempit supaya bisa keluar mencari makan.

            Nampak dua orang lelaki sedang asyik bermain burung dara. Yudha mulai kesal. Sepeda motor yang dinaikkinya dikendarai dengan perlahan. Salah seorang dari mereka tidak peduli, tapi yang lain malah berlarian. Entah menuju ke mana. Baru ketika dekat, aku mendengar ucapan lelaki itu.

            "Pelan-pelan, Mas. Itu di sana ada mainan anak saya. Jangan ditabrak ya, kasihan," ungkap lelaki sambil membawa burung dara. Tangan satunya melambai, seolah memberikan penanda bahwa Yudha harus berhati-hati.

            "Memangnya yang lewat siapa, itu cukup. Kau ini berlebihan," komentar teman lelaki itu. Orang yang berdiam dan asyik menikmati pemandangan di depannya, sejodoh burung dara.

            "Mari, Mas. Hahah," aku mendengar Yudha tertawa kecut. Kedua lelaki tadi melihat Yudha sampai benar-benar tidak nampak. Wajah kesal Yudha nampak sepanjang jalan.

            "Memangnya, siapa yang salah. Jelas kalian, sudah tahu itu jalan. Kenapa dipakai buat mainan burung dara, habis itu ada juga mainan anak-anak yang tertinggal. Dasar!" gerutu Yudha. Perjalanan pagi itu menjadi tidak menyenangkan. Aku berusaha memahami perasaan Yudha. Sebagai sandal, percakapan kedua lelaki tadi tentu membuat Yudha sedih.

            Maklum, dulu jalanan bisa dilewati dengan leluasa. Tidak seperti sekarang. Mau lewat saja harus memperhatikan ada apa di jalan. Harus hati-hati supaya tidak menabrak. Kalau ada orang harus bilang permisi dulu, nanti menjadi bahan pembicaraan kalau hanya diam saja. Begitulah, hidup di desa. Aku merasakannya, meski hanya sebagai sandal.

            "Sudah siap begini, makan soto enak pastinya. Tapi, penjual soto sudah lama tidak nampak. Mungkin, dia sudah pulang duluan. Atau, malah sudah kaya ? Jadi tidak berjualan soto lagi," kata Yudha.

            Kebiasaan Yudha paling aku kenal adalah berkomentar. Ia senang sekali mengomentari apa saja kejadian kalau ditemuinya. Mulai dari tanaman padi sampai dimana burung ketika pagi tiba. Biasanya, pagi memang banyak burung. Sudah banyak diburu. Masyarakat punya hobi memelihara burung. Makanya, sekarang burung hanya bisa ditemukan dalam sangkar. Lainnya hanya burung liar pemakan padi pembuat petani marah.

            "Ah, aku ada ide. Makan sate ayam boleh juga," ucap Yudha mengendarai motornya mendekati penjual sate. Kekecewaan muncul, penjual sate itu baru bersiap-siap. Acara mencari sarapan menjadi rumit kalau begini. Semua serba salah dan Yudha bisa marah-marah kalau lapar.

            "Mau bagaimana lagi, sarapan di tempat biasa saja, nanti bisa bertemu dengan lele terenak di Godean. Aku suka, konspirasi memang. Semoga masih tersedia," harap Yudha sambil melihat pemandangan di sebelah kirinya. Ada sawah membentang dengan pematang sawah sedang dibenahi oleh petani. Petani yang banyak itu nampak nungging, mungkin hanya dengan cara seperti itu, padi dapat ditanam. Kalau berjalan maju ? Ah, ribet.

            "Lelenya sudah habis, Mas. Makan yang lain saja. Sudah siang ini, itu lihat ! Sudah jam sepuluh," ujar pejual makanan. Aku belum kenal ibu penjual makanan ini. Nampaknya, dia sosok rajin. Bangun jam tiga bersiap memberi makan kepada siapa saja yang mau bayar. Baik juga dia, pernah aku tertinggal di warungnya. Ia berteriak pada Yudha.

            "Mas, sandalnya tertinggal. Mana bau lagi, itu sandal habis menginjak apa sih ?" tawa Ibu penjual makanan itu lepas. Yudha hanya tersenyum malu. Beberapa mata menatapnya, itu kejadian beberapa minggu yang lalu.

            "Tapi, saya mau makan lele, Bu. Masa tidak ada, besok disimpankan satu ya Bu," harap Yudha dengan melihat sisa-sisa makanan. Berharap ada sesuatu yang membuatnya mau makan.

            "Memangnya sepeda motor bisa pesan dulu, ini cuma lauk lele. Kalau mau ya datang lebih pagi. Jangan malas, sudah mau makan apa?" bentak ibu tadi. Mempersiapkan makanan untuk banyak orang ternyata membuatnya terlihat galak.

            "Nasi sama telor saja, Bu. Sama aku minta usus goreng. Sepertinya enak, nanti kalau masih ada kuahnya dikasih ya, Bu."

            "Siap, itu saja. Itu lima ribu. Kau ada uang berapa?" tanya penjual sayuran itu.

***

            Sudah yakin dengan semua yang dilakukan. Yudha nampak kesal dengan suasana rumah. Bagaimana tidak, tetangganya yang pengangguran itu berisik sekali. Ada pengeras suara dengan lagu-lagu tidak jelas. Memang, lagu dan kebiasaan itu telah menjadi semangat bagi sebagian orang, tapi tidak dengan Yudha.

            "Panas-panas begini, kenapa menyalakan pengeras suara ? Memangnya tidak gerah. Lagunya tidak jelas, maklum saja. Dasar miskin dan pengangguran. Kerjaannya hanya seperti itu. Mungkin, tidak pernah terbayangkan untuk membaca atau membuat artikel sederhana ? Isu politik diikuti atau tidak ? Tentu iya, sejauh memberi makan pada ego mereka," keluh Yudha. Berusaha menulis dia, tapi suara tidak jelas itu membuatnya marah. Aku juga ikut kesal. Sebagai akibatnya, aku dilemparkan dekat tanaman. Semoga saja, Yudha segera pergi supaya aku dicari. Bukankah begitu, hanya dicari ketika dibutuhkan ?

            "Bagaimana ya, apa yang harus dilakukan. Ini tidak bisa dibiarkan. Memang, orang seperti itu tidak pernah tahu asyiknya membaca dan menulis!"

            Tetap saja, Yudha mengeluh dan marah-marah. Aku ingat, ia baru makan tadi pagi. Suasana siang itu berlalu tanpa dia makan. Pasti akan mencari pelampiasan lain. Semoga saja tepat, asal aku tidak dilemparkan.

            "Mungkin ke tempat kawan akan ada sedikit hiburan. Parto, dimana dirimu ? Ayo kita pergi saja," ucap Yudha dengan mematikan laptopnya. Aku kenal baik dengan laptop milik Yudha. Dia menemani Yudha menulis, bahkan dalam suka dan duka. Setiap tulisan yang ditulis di laptop itu bisa dipastikan menjadi juara. Untuk perjuangan menulis, Yudha tak mau diganggu apalagi ketika bersama laptopnya.

            Kemana ya, Yudha ingin membawa diriku ikut dengannya. Menikmati hari dengan alas kaki sandal. Berjalan menapaki batu kadang tanah. Tak pernah aku mengeluh, aku merasa menjadi barang berharga. Sebelum akhirnya, Yudha mengenal burung peliharaannya. Burung banyak dipelihara Yudha.

            "Ayo menangkap burung saja, aku tidak betah di rumah. Menyebalkan sekali, dalam suasana panas seperti ini. Kenapa harus ada dan memiliki tetangga seperti dirinya itu ? Menyebalkan sekali," keluh Yudha pada sahabatnya.

            Aku belum lama melihat sahabatnya itu bersedih, tapi pekerjaan yang banyak membuatnya terlupa akan masalah. Bisa juga, untuk melupakan kekesalannya pada tetangga, Yudha mencoba banyak kegiatan, tapi apa yang bisa dilakukan oleh seorang dengan impian untuk menjadi penulis ? Makan ?

            "Aku belum makan. Sandalmu baru lagi ya ? Aku mau membuat mie dulu. Kau mau tidak ?" ujar temannya. Nampak wajah kasihan pada Yudha. Lucu memang, Yudha datang ketika dirinya bermasalah. Bukankah seperti itu ? Orang lain tidak peduli ketika kau punya masalah, sisanya senang kalau dirimu memiliki masalah. Asyik sekali bukan.

            "Makan mie ? Kau mau membeli mie ayam ? Ini sudah jam makan dari tadi, kenapa baru makan ?" ujar Yudha.

            "Maklum, sibuk memotong kayu. Banyak kayu harus dipotong sebelum akhrinya dijemur untuk kayu bakar. Jelas saja, kau tidak butuh seperti itu. Memang, jarang dilakukan sebenarnya," jawab temannya. Keluar masuk mengambilkan sebuah kursi mini. Ia mempersilakan Yudha untuk duduk, sebelum akhirnya dengan lahap memakan mie instan.

            "Perlahan saja, nanti kalau sudah menjelang sore, tentu dia akan pergi. Orang yang hanya mendengarkan musik dengan keras juga bisa makan, bisa mati juga bukan ?" ujar kawannya itu sambil tertawa.

            "Mati apanya ? Semoga saja. Biar aku bisa melayat dan kelihatan berduka meski hanya pura-pura. Serius, ini benar-benar menyebalkan. Tidak ada doa baik, rasanya kesal dan marah saja,"

            Tenang, aku berusaha tenang melihat Yudha bercerita pada kawannya itu. Memang menyebalkan, tapi lebih sebal lagi ketika kau hanya menjadi sandal dan mendengar keluhan mereka. Percayalah, aku juga dapat merasa.

                                                                                                Sembuh Kidul, 04 Januari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun