Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sandal

4 Januari 2023   15:40 Diperbarui: 4 Januari 2023   15:38 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            "Sendal, bagaimana kabarmu ? Katanya kau habis digigit kucing ? Apa tidak sobek ?" tanya sepeda motor. Sepeda motor bernama Appa memang ramah. Kalau diperhatikan, dia terlihat seram. Tapi, dia baik sekali. Menyenangkan ketika diajak berbicara.

            "Aku baik. Memang ada bagianku yang bolong-bolong. Tapi, tidak masalah. Aku senang bisa bertemu denganmu lagi, Appa," balasku pada Appa. Appa melaju menuju pojok desa. Rumah tempat Yudha tinggal memang berada dalam desa. Sedikit pelosok, jadi kalau mau ke sana harus melewati gang sempit. Gang sempit itu memiliki ukuran yang hanya cukup dilewati oleh Appa. Pagi itu, kami akan melewati jalan sempit supaya bisa keluar mencari makan.

            Nampak dua orang lelaki sedang asyik bermain burung dara. Yudha mulai kesal. Sepeda motor yang dinaikkinya dikendarai dengan perlahan. Salah seorang dari mereka tidak peduli, tapi yang lain malah berlarian. Entah menuju ke mana. Baru ketika dekat, aku mendengar ucapan lelaki itu.

            "Pelan-pelan, Mas. Itu di sana ada mainan anak saya. Jangan ditabrak ya, kasihan," ungkap lelaki sambil membawa burung dara. Tangan satunya melambai, seolah memberikan penanda bahwa Yudha harus berhati-hati.

            "Memangnya yang lewat siapa, itu cukup. Kau ini berlebihan," komentar teman lelaki itu. Orang yang berdiam dan asyik menikmati pemandangan di depannya, sejodoh burung dara.

            "Mari, Mas. Hahah," aku mendengar Yudha tertawa kecut. Kedua lelaki tadi melihat Yudha sampai benar-benar tidak nampak. Wajah kesal Yudha nampak sepanjang jalan.

            "Memangnya, siapa yang salah. Jelas kalian, sudah tahu itu jalan. Kenapa dipakai buat mainan burung dara, habis itu ada juga mainan anak-anak yang tertinggal. Dasar!" gerutu Yudha. Perjalanan pagi itu menjadi tidak menyenangkan. Aku berusaha memahami perasaan Yudha. Sebagai sandal, percakapan kedua lelaki tadi tentu membuat Yudha sedih.

            Maklum, dulu jalanan bisa dilewati dengan leluasa. Tidak seperti sekarang. Mau lewat saja harus memperhatikan ada apa di jalan. Harus hati-hati supaya tidak menabrak. Kalau ada orang harus bilang permisi dulu, nanti menjadi bahan pembicaraan kalau hanya diam saja. Begitulah, hidup di desa. Aku merasakannya, meski hanya sebagai sandal.

            "Sudah siap begini, makan soto enak pastinya. Tapi, penjual soto sudah lama tidak nampak. Mungkin, dia sudah pulang duluan. Atau, malah sudah kaya ? Jadi tidak berjualan soto lagi," kata Yudha.

            Kebiasaan Yudha paling aku kenal adalah berkomentar. Ia senang sekali mengomentari apa saja kejadian kalau ditemuinya. Mulai dari tanaman padi sampai dimana burung ketika pagi tiba. Biasanya, pagi memang banyak burung. Sudah banyak diburu. Masyarakat punya hobi memelihara burung. Makanya, sekarang burung hanya bisa ditemukan dalam sangkar. Lainnya hanya burung liar pemakan padi pembuat petani marah.

            "Ah, aku ada ide. Makan sate ayam boleh juga," ucap Yudha mengendarai motornya mendekati penjual sate. Kekecewaan muncul, penjual sate itu baru bersiap-siap. Acara mencari sarapan menjadi rumit kalau begini. Semua serba salah dan Yudha bisa marah-marah kalau lapar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun