Tetap saja, Yudha mengeluh dan marah-marah. Aku ingat, ia baru makan tadi pagi. Suasana siang itu berlalu tanpa dia makan. Pasti akan mencari pelampiasan lain. Semoga saja tepat, asal aku tidak dilemparkan.
      "Mungkin ke tempat kawan akan ada sedikit hiburan. Parto, dimana dirimu ? Ayo kita pergi saja," ucap Yudha dengan mematikan laptopnya. Aku kenal baik dengan laptop milik Yudha. Dia menemani Yudha menulis, bahkan dalam suka dan duka. Setiap tulisan yang ditulis di laptop itu bisa dipastikan menjadi juara. Untuk perjuangan menulis, Yudha tak mau diganggu apalagi ketika bersama laptopnya.
      Kemana ya, Yudha ingin membawa diriku ikut dengannya. Menikmati hari dengan alas kaki sandal. Berjalan menapaki batu kadang tanah. Tak pernah aku mengeluh, aku merasa menjadi barang berharga. Sebelum akhirnya, Yudha mengenal burung peliharaannya. Burung banyak dipelihara Yudha.
      "Ayo menangkap burung saja, aku tidak betah di rumah. Menyebalkan sekali, dalam suasana panas seperti ini. Kenapa harus ada dan memiliki tetangga seperti dirinya itu ? Menyebalkan sekali," keluh Yudha pada sahabatnya.
      Aku belum lama melihat sahabatnya itu bersedih, tapi pekerjaan yang banyak membuatnya terlupa akan masalah. Bisa juga, untuk melupakan kekesalannya pada tetangga, Yudha mencoba banyak kegiatan, tapi apa yang bisa dilakukan oleh seorang dengan impian untuk menjadi penulis ? Makan ?
      "Aku belum makan. Sandalmu baru lagi ya ? Aku mau membuat mie dulu. Kau mau tidak ?" ujar temannya. Nampak wajah kasihan pada Yudha. Lucu memang, Yudha datang ketika dirinya bermasalah. Bukankah seperti itu ? Orang lain tidak peduli ketika kau punya masalah, sisanya senang kalau dirimu memiliki masalah. Asyik sekali bukan.
      "Makan mie ? Kau mau membeli mie ayam ? Ini sudah jam makan dari tadi, kenapa baru makan ?" ujar Yudha.
      "Maklum, sibuk memotong kayu. Banyak kayu harus dipotong sebelum akhrinya dijemur untuk kayu bakar. Jelas saja, kau tidak butuh seperti itu. Memang, jarang dilakukan sebenarnya," jawab temannya. Keluar masuk mengambilkan sebuah kursi mini. Ia mempersilakan Yudha untuk duduk, sebelum akhirnya dengan lahap memakan mie instan.
      "Perlahan saja, nanti kalau sudah menjelang sore, tentu dia akan pergi. Orang yang hanya mendengarkan musik dengan keras juga bisa makan, bisa mati juga bukan ?" ujar kawannya itu sambil tertawa.
      "Mati apanya ? Semoga saja. Biar aku bisa melayat dan kelihatan berduka meski hanya pura-pura. Serius, ini benar-benar menyebalkan. Tidak ada doa baik, rasanya kesal dan marah saja,"
      Tenang, aku berusaha tenang melihat Yudha bercerita pada kawannya itu. Memang menyebalkan, tapi lebih sebal lagi ketika kau hanya menjadi sandal dan mendengar keluhan mereka. Percayalah, aku juga dapat merasa.