Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Hujan Reda

20 Desember 2022   16:30 Diperbarui: 20 Desember 2022   16:44 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah Hujan Reda

Cerpen Yudha Adi Putra

"Hujannya deras sekali. Ini mengerikan," kata Bu Tum.

            "Bagaimana dengan jemuran di samping rumah?," tanya Pak Udin. Mereka saling menatap di ruang tamu. Terdengar sesekali gemuruh dan kilat berkilauan. Baru saja hujan turun di desa itu.

            "Risna, jemurannya sudah kamu ambil ?" tanya Bu Tum pada anaknya.

            Tak ada jawaban. Anak perempuan itu menutup pintu kamarnya. Entah apa yang dilakukan, mungkin tidur karena lelah semalaman mengerjakan tugas kuliahnya.

            "Ya, ampun. Jemurannya basah semua. Kenapa tidak ada yang mengambil?" kata Bu Tum mulai kesal sambil meraih payung. Ia menerobos hujan dan memunguti jemuran satu persatu.

            "Sudah baik aku mau mengingatkan," ucap Pak Udin sambil mengecek jadwal ronda dan arisan RT nanti malam.

            "Kalau tahu ya diambil, memangnya harus aku yang ambil?" keluh Bu Tum.

            "Kau tidak lihat, aku baru saja pulang. Risna dimana, kenapa dia juga tidak ambil jemuran itu?"

            "Masih tidur, persis malasnya dengan bapaknya," kata Bu Tum pada lelaki yang dinikahinya puluhan tahun lalu itu.

            Pak Udin hanya tersenyum. Ia kembali fokus memastikan, nanti malam ada pertemuan dimana. Jarinya menunjukk urutan sebuah nama, tertulis jelas Pak Sigit. Seketika, ia membuka kembali buku catatannya. Ada tulisan, Pak Sigit RT 02 hutang 500 ribu akan dikembalikan saat pertemuan di rumahnya. Pak Udin mulai ragu. Apa mungkin uang itu dibayarkan nanti ?. Ia ingat betul, suatu sore Pak Sigit datang ke rumahnya.

            "Selamat sore, Pak RT. Jadi begini, Pak. Saya sedang butuh uang untuk biaya berobat istri saja. Kebetulan, uang gaji saya sudah habis untuk bayar uang gedung sekolahnya Singgih. Singgih sudah nunggak 2 tahun sejak kelulusannya dari SMK. Dia juga belum dapat pekerjaan, Pak. Jadi kondisi keuangan keluarga saya sedang sulit. Apa boleh saya pinjam uang dari kas RT ?" ucap Pak Sigit memohon pada Pak RT, tak lain ialah Pak Udin.

            "Boleh, Pak. Tapi, rencananya kas RT itu untuk membangun pos ronda dua bulan lagi," jawab Pak Udin.

            "Begitu ya, Pak. Kalau saya pinjam uangnya ke Pak Udin bagaimana ? Tolong, Pak. Ini mendesak sekali, saya tidak tahu harus minta tolong ke siapa lagi," kata Pak Sigit.

Raut wajahnya memelas. Keriput wajahnya terlihat jelas dan sorot matanya layu. Pak Sigit memang sudah tidak muda lagi. Ia bekerja sebagai satpam perumahan di samping dusun. Gantian jaga dengan satpam muda, bernama Muklis. Jadi, Pak Sigit sering tidak tidur kalau malam. Selain keliling kompleks, ia banyak berdoa. Memohon supaya anak semata wayangnya, Singgih bisa cepat dapat pekerjaan dan istrinya bisa sembuh. Hampir sepuluh tahun, Bu Sri, istrinya Pak Sigit sakit-sakitan karena gula darah.

            "Saya juga tidak punya uang, Pak. Risna besok minta uang untuk bayar kuliah juga. Pekerjaan di mebel juga sedang sepi. Tapi, mungkinistri saya ada sedikit uang untuk dipinjam Pak Sigit. Sebentar ya, Pak," Pak Udin masuk ke rumahnya, meninggalkan Pak Sigit yang mulai menyalakan rokok.

            Tak lama kemudian, Pak Udin kembali dengan membawa buku kecil dengan sampul tebal dan beberapa lembar uang seratus ribuan.

            "Ini, Pak. Mungkin bisa Pak Sigit gunakan dulu, nanti kalau mendekati arisan RT, apa bisa dikembalikan, Pak ? Soalnya ini punya istri saya," pinta Pak Udin.

            "Terima kasih, Pak. Saya usahakan waktu arisan RT di rumah saya, uangnya sudah ada Pak. Sekali lagi, terima kasih. Saya pamit dulu, Pak RT," wajah gembira mulai nampak dari Pak Sigit.

***

            Penyakit Bu Sri semakin parah. Ia sekarang tidak bisa berjalan lagi. Banyak obat sudah dikonsumsi, mencoba berobat ke dokter di berbagai tempat sudah dilakukan, pemakaian obat tradisional juga sudah banyak. Tapi, itu semua seperti tidak berarti.

            "Pak, saya tak coba cari pekerjaan lagi, ya. Siapa tahu, bisa dapat kerja. Untuk biaya perobatan Ibu dan membayar hutang-hutang Bapak," pamit Singgih pada Pak Sigit.

            "Iya, hati-hati. Semoga kamu bisa dapat pekerjaan ya," jawab Pak Udin.

            Malam hari tiba, hujan sedang deras. Pak Sigit kebingungan, bagaimana membayar hutangnya pada Pak Udin dua malam lagi. Ia juga belum punya uang untuk beli makanan dan kudapan untuk arisan RT di rumahnya. Pak Udin memilih mandi, membersihkan rumah, dan mendoakan usaha anaknya. Karena lapar, Pak Udin pergi ke warung untuk membeli mie instan. Warung Bu Heni ada di sebelah rumahnya, hanya terhalang kebun dan halaman.

            "Hujan-hujan begini, buat mie enak ini, Bu. Saya mau utang mie instan 3, Bu," pinta Pak Sigit sambil merapikan payungnya.

            "Mau yang apa, Pak. Hutang yang kemarin sudah dibayarkan Singgih. Kemarin Singgih juga masih nitip uang lima puluh ribu. Jadi, pakai itu saja Pak, biar tidak hutang," ujar Bu Heni.

            "Lho, saya malah tidak tahu. Terima kasih kalau begitu, Bu," jawab Pak Udin.

            "Senang ya Pak. Singgih sudah kerja. Bisa bantu-bantu orangtua. Tidak kaya Toni. Kerjanya cuma mandiin burung. Kalau malam begini ngambilin rokok dagangan ibunya. Lama-lama bangkrut saya itu, Pak," keluh Bu Heni, khas ibu-ibu kampung kalau cerita.

            Pak Sigit tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dan rasa penasaran muncul, dari mana anaknya dapat uang. Bukannya, baru tadi siang dia berangkat mau cari pekerjaan. Tapi, lamunan itu segera usai ketika Pak Budi menyapa.

            "Wah, enak iku Pak. Mau buat mie, seger. Oiya, katanya, di samping perumahan baru ada pencurian motor. Itu kejadiannya bagaimana ya Pak ?" tanya Pak Budi, suami Bu Heni.

            "Saya juga tidak tahu, Pak. Itu kebetulan yang jaga pas gilirannya Muklis. Kemarin banyak polisi berdatangan juga. Saya sekarang jadi kerja ekstra. Setiap tiga jam sekali, saya keliling kompleks," jelas Pak Sigit.

            Beberapa hari, memang perumahan sedang ada pencurian sepeda motor. Berita pencurian itu sampai di koran lokal. Pak Sigit juga diminta bicara memberi keterangan. Meski tidak ditegur oleh pemilik perumahan, tapi ada perasaan tidak enak dari Pak Sigit. Muklis dimarahin sampai ingin mengundurkan diri. Hanya saja, Pak Sigit tidak ditegur apa pun.

***

            Saat untuk arisan RT sudah tiba, Pak RT menghubungi Pak Sigit untuk memastikan dia bersedia ketempatan dan sudah siap membayar hutang.

            "Baik, Pak. Nanti malam arisan RT bisa di rumah saya, untuk pelunasan hutangnya sedang dicarikan oleh Singgih. Nanti sekalian akan dibayarkan, katanya sebelum arisan mulai, uangnya sudah ada." Jawab Pak Sigit ketika ditanya.

            "Saya senang mendengarnya, Pak. Sampai jumpa nanti malam ya, Pak," Pak RT menutup pembicaraan.

            Ada kelegaan dalam diri Pak Sigit. Hutangnya bisa dibayar dan dia bisa bermasyarakat dengan baik. Ketempatan untuk arisan RT tentu menjadi momen menggembirakan. Tapi, perasaan senang dan lega itu tidak bertahan lama. Ada seseorang mengetuk pintu.

            "Permisi, apa benar ini rumah Pak Sigit ?" tanya pemuda berseragam polisi itu. Ia bersama dua orang teman berbaju preman

            "Iya, silakan, Pak. Ada yang bisa saya bantu ? Bapak ini dari mana ya ?" jawab Pak Sigit.

            "Saya dari kepolisian, Pak. Kami sedang mencari Singgih. Menurut informasi, Saudara Singgih tinggal di sini," jelas polisi muda dengan menunjukkan sebuah foto.

            "Singgih itu anak saya. Ada apa ya?" Pak Sigit semakin penasaran.

            "Saudara Singgih terlibat dalam sindikat pencurian motor. Kami sedang mencari beliau dan.."

            Belum sempat polisi itu menyelesaikan ucapanya. Pak Sigit pingsan. Istrinya yang menguping dari kamar, menangis tak tertahan.

                                                                                    Godean, 20 Desember 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun