Mendengar pertanyaan ini, kodok laut tertawa ngakak. “Haha….kamu ini bagaimana sih, mosok telaga kecil ini dibandingkan dengan laut yang luas?
Merasa diledek, kodok telaga lantas bertanya, apakah luasnya laut bisa dijangkau dengan beberapa lompatan dan renang seperti di telagaku ini? Sang kodok laut kembali mengejek. “Kamu keterlaluan. Sempit sekali pikiranmu. Laut itu luas, kalau kamu berenang menyeberang pasti tak akan kuat.”
Merasa terhina, sang kodok telaga lantas marah lantas berujar kepada teman-temannya, “bunuh dia. Dia pembohong, kita dihina karena telaga kita dianggap sempit.”
Akhirnya kodok laut mati dikeroyok kodok telaga.
Kalau ilustrasinya demikian, maka kodok bukan saja makhluk yang pasif, melainkan juga sempit dalam berpikir, tidak berwawasan dan reaksioner. Kodok telaga tentu saja dengan segenap kebodohannya akan bersikap baik manakala kodok laut bisa mengambil hati dengan mengatakan laut lebih sempit dari telaga. Sialnya, kejujurannya kodok pesisir itu akhirnya harus mati ditangan kodok pedalaman yang cupet pikirannya.
Semua jadi rugi. Kodok pedalaman tak mendapatkan ilmu dari kodok pesisir yang gemar merantau. Sedangkan kodok pesisir hanya ketiban sial karena mau-maunya terbuka di pedalaman.
Kalau kita tafsirkan lebih kontemporer, anekdot tersebut mengambarkan fenomena kehidupan budaya, sosial, ekonomi, politik, pemikiran dan etos kerja di era sekarang ini, terutama kita, para kodok pedalaman yang hidupnya terbatas pada telaga. Kalau kita lihat dari satelit internet, peta Temanggung memang berada dalam cekungan yang dikelilingi gunung-gunung. Seperti sebuah telaga, Temanggung adalah tempatnya kaum kodok menjalani kehidupan.
Analog itu bisa kita tafsirkan lebih luas lagi sebagai cermin absolutisme prinsip hidup dan tentu saja mentalitas. Benar bahwa manusia dengan kodok itu berbeda, tetapi orang-orang pedalaman yang hidup dalam dunia agraris sangat cupet berpikir dan dari alam bawah sadar merasa dunianya lebih luas daripada laut.
Kultur agraris
Kita bisa membuktikan secara ilmiah dari pandangan sejarahwan Dr Kuntowidjoyo (1984). Katanya, “Perbedaan khas antara golongan petani dengan golongan pengusaha (yang banyak mendominasi kehidupan di pesisir pantai utara Jawa) adalah bahwa petani itu mempunyai cara berpikir yang statis. Kreativitasnya sangat kurang sebagai akibat ketergantungannya kepada cuaca, musim, dan kepada tanah. Ekologi desa menyebabkan petani tidak progresif.”
Lalu mari kita simak pendapat Antropolog Koentjaraningrat (1963): “Mentalitas petani tidak terbiasa berspekulasi tentang hakekat hidup, dari karya dan hasil karya manusia, dan apabila mereka kita tanyai mengenai hal-hal itu, maka mereka akan melihat terheran-heran dan akhirnya mengajukan jawaban yang amat logis, ialah bahwa manusia itu bekerja keras untuk mendapat makan.”