Priyayi kodok
Tetapi di Temanggung bukankah ada 20 persen bahkan bisa lebih yang bekerja di sektor non tani? Bukankah ada pedagang, pengusaha, pejabat negara dan lain-lain? Bukankah demikian berarti ada harapan untuk maju karena ada golongan yang tidak sepenuhnya terkungkung budaya kodok pedalaman?
Jawabannya bisa ya bisa tidak. Atau dengan kata lain sangat tergantung pada kekuatan, kepemimpinan dan motivasi golongan yang memiliki potensi progresif ini. Selain itu, tidak semua petani juga berpikir mundur. Kaum tani modern yang memiliki pemikiran agribisnis terkadang bisa melampaui progresivitas kaum pedagang.
Analisa budaya di sini tidak bermaksud mengeneralisasi. Kita perlu menyadari situasi sosiologis ini sebagai cara mengenali kelemahan untuk meraih keunggulan.
Harapan maju tentu ada. Sayangnya, golongan non petani, seperti pedagang, wirausahawan dan pengusaha masih sangat lemah sehingga kehidupannya tetap didominasi oleh kekuatan para priyayi di jajaran birokrat.
Parahnya lagi, golongan priyayi Jawa, termasuk Priyayi Temanggung itu memiliki pandangan waktu yang banyak ditentukan oleh masa lampau. Rutin kehidupan kantor dan rumah tangga yang rata serupa dari hari ke hari, diisi dengan suatu rasa sentimen yang agak berlebih-lebih untuk benda-benda pusaka dari nenek moyangnya, dengan perhatian terhadap mitologi, silsilah, dan karya-karya pujangga-pujangga kuno, serta diselingi dengan upacara-upacara rumit untuk memelihara benda-benda pusaka.
Orientasi yang terlampau banyak terarah ke zaman yang lampau ini akan melemahkan kemampuan seseorang untuk melihat ke masa depan. Hal ini sebaliknya melemahkan motivasi untuk menabung dan hidup hemat. Koentjaraningrat menegaskan, “unsur mentalitas tersebut terakhir inilah, yang kurang cocok dengan keperluan pembangunan.”
Para priyayi, lebih-lebih lagi priyayi yang sudah berkedudukan tinggi biasanya menghubungkan hakekat karya dengan konsep amal.
Namun menurut Koentjaraningrat, konsep itu berbeda dengan arti katanya dalam bahasa Arab (‘aml) yang berarti “perbuatan”, tetapi juga berbeda dengan konsep karma dalam alam pikiran Hindu-Buddha dahulu. Konsep priyayi jawa tidak dikaitkan dengan wujud hidup kelak, dalam rangkaian kelahiran kembali, dan sebenarnya juga tidak dengan hidup di akherat. Maka wajarlah kalau kemudian para priyayi ini tidak takut hukuman hari akhir.
Konsep amal dibayangkan sebagai hasil karya yang mewujudkan kebahagiaan-kebahagiaan dalam hidup ini. Kebahagiaan-kebahagiaan itu adalah misalnya: kedudukan, kekuasaan, dan lambang-lambang lahiriah dari kemakmuran (banyak rumah priyayi dahulu kamar depan dan kamar tamunya tampak megah, kaya dan mengagumkan, tetapi dapurnya gelap, kotor dan tak terurus, sedangkan kamar mandi dan WCnya rusak dan kotor).”
Pendapat terakhir ini mungkin saja sudah banyak berkurang sekarang dimana kamar mandi dan WCnya sudah semakin bersih. Tetapi dalam tafsir kontekstual kenegaraan kita bisa melihat bagaimana golongan priyayi Temanggung yang bangga dengan kekayaan, dengan kemegahan tetapi melupakan lokasi belakang (baca: rakyat terbelakang) yang hidup dalam situasi “kekotoran” dan “kejumudan” akibat dari kemiskinan dan ketertinggalan dari pendidikan. Di sini rata-rata priyayi Jawa miskin solidaritas. Hanya sedikit mereka yang rela menjadi penggerak lingkungan bersama.