Kereta ekonomi jurusan timur Jawa penuh sesak dengan manusia. Ada penumpang yang duduk manis di bangkunya namun tidak sedikit yang berdiri. Berbagai tipe orang menyatu dalam gerbong-gerbong yang ada. Diantara mereka tampak pedagang asongan yang hilir mudik sepanjang perjalanan menjajakan dagangannya tanpa kenal lelah. Terdengar suara mereka yang saling bersahut-sahutan "nasi-nasi", "rokok-rokok", "jeruk-jeruk" dan berbagai tawaran lainnya. Hiruk pikuk sekali suasana saat itu, mencoba mengalahkan deru roda kereta api yang membelah jalanan.
Jika anda amati, suasana kereta api itu diibaratkan miniatur dunia. Lokomotif dan gerbong menggambarkan kehidupan yang terus bergulir menuju tujuan akhir. Penumpang adalah manusia yang mengisi dunia ini. Dimana manusia yang mengisi terdiri dari anak kecil, anak muda dan orang tua. Satus si miskin, menengah dan kaya membaur. Tentunya dengan berbagai profesi mulai dari karyawan, petani, pedagang dan tidak pula ketinggalan, profesi yang dibenci yaitu pencopet.
Di pintu gerbong tampak seorang anak muda sedang duduk menghadap ke luar. Tak betah dia tinggal di dalam. Sumpek dan bising sekali, pikirnya. Mendengar bayi menangis karena kepanasan dan asap rokok yang tidak pernah berhenti sama sekali. Atau pedagang yang tak kenal lelah untuk berteriak sambil menggeser barang dagangannya sepanjang koridor kereta. Membuat tidak nyaman penumpang yang sedang berdiri karena harus memberi jalan kepada mereka ini.
Alasan dia duduk di pintu gerbong lainnya adalah demi melihat pemandangan sepanjang perjalanan. Sangat menarik perhatiannya. Ada keramaian kota, ada hamparan sawah, rimbunnya hutan dan sesekali melihat birunya laut dari kejauhan. Serasa hidup suasananya, ibarat sedang menonton film dokumenter. Tujuan dari perjalanannya adalah berziarah ke Makam Sunan Gunung Jati yang ada di Cirebon. Kebetulan dia belum pernah menyambangi tempat itu. Keinginan untuk mengunjungi Makam Wali ini sudah lama, setelah hanya mendengar dan membaca serta membayangkan saja tentang tempat ini. Namun baru kali ini dapat terlaksana.
Tak nampak ada teman atau keluarga bersamanya, sepertinya dia sendirian saja. Seorang pria dengan mata tajam, dagu agak runcing dan tubuh sedikit kurus. Dengan guratan wajah sederhana, tidak tampan tidak pula jelek. Dandanan yang sederhana, hanya mengenakan celana jeans, kaos dan sandal gunung di kakinya. Setelah menempuh beberapa jam, kereta itu akhirnya tiba di stasiun Cirebon. Bergegas ia turun bersama penumpang lainnya. Matanya tampak memandang berkeliling seperti hendak memasukkan gambarnya pada otak. Setelah puas, diapun melangkah menuju salah satu kios diantara deretan kios sepanjang stasiun.
“Mbak, maaf mau nanya. Jika saya hendak ke Makam Sunan Gunung Jati, mesti ke arah mana dan naik mobil nomor berapa?” tanyanya pada seorang ibu-ibu.
“Oh, mau ke Gunung Jati yah. Tuh dari sini kelihatan gunungnya. Mas keluar dari pintu sebelah sana, nanti ada angkot. Mas, naik saja mobil itu,” jawabnya sambil menudingkan telunjuk menunjuk-nunjuk arah. Arah yang wanita tunjuk adalah searah dengan arah kedatangan kereta. Namun ada hal yang membuat pria itu kebingungan. Tentang "dari sini kelihatan gunungnya". Karena dia tidak melihat ada gunung di arah yang ibu itu tunjuk. Berulangkali dia mencoba melihat dan mengucek matanya untuk memastikan ada gunung dalam pandangannya. Tetap saja tidak kelihatan. Penasaran dengan pandangannya, ia membalikkan badan dan melihat ke belakang. Tampak gunung Ciremai terlihat dari kejauhan.
“Itu gunung Ciremai kelihatan, padahal jaraknya begitu jauh. Namun kenapa Gunung Jati tidak kelihatan, padahal dekat katanya. Ibu-ibu ini sepertinya sedang berbohong,” gumamnya di hati.
“Terimakasih yah Bu,” ucapnya sambil menganggukkan kepala.
“Sama-sama,” balas ibu itu. Akhirnya diapun melangkah ke luar stasiun. Karena masih tidak puas dengan petunjuk ibu-ibu tadi iapun mencari-cari orang untuk ditanya. Dan ketika melihat ada supir sedang berhenti, iapun bergegas menghampiri orang tersebut.
“Pak, saya mau ke makam Sunan Gunung Jati. Mesti ke mana dan naik apa yah?” “Dari sini lurus saja, tidak jauh. Tuh dari sini juga sudah kelihatan gunungnya” Kembali dia mendapatkan jawaban yang membuat dia tercengang. Dan seperti tadi, matanya mencoba mencari-cari gunung yang ditunjukkan oleh supir itu. Dan tetap dia tidak melihatnya.
“Mungkin dekatnya orang sini, itu 30 kilometer,” kembali dia bergumam di hati. Setelah mengucapkan terimakasih dia berjalan menuju arah yang ditunjukkan oleh supir tadi. Lima belas menit dalam kebingungan, ia menghentikan angkutan dan menaikinya. Dan kembali ia bertanya, tentang arah makam itu. Dan seperti tadi, ia mendapatkan jawaban yang sama. Setelah angkot berjalan kurang lebih lima menit. Dengan sedikit kesal dan marah, iapun turun dari angkot itu.
“Orang Cirebon ternyata pembohong semua. Orang-orang mengatakan bahwa makam itu dekat dan gunungnya sudah kelihatan. Tapi kenapa aku tidak melihat gunung yang dimaksud,” umpatnya dalam hati. Dalam kebingungan, ada terbersit dalam pikirannya untuk kembali lagi ke stasiun dan berniat pulang kembali ke kota asal. Namun rasa penasaran mengalahkan pikiran itu. Akhirnya diputuskan untuk kembali berjalan. Tak lama ia berjalan, dia menemukan ada sungai di bawah jembatan. Bukan sungai itu yang menarik perhatiannya. Namun musholla yang ada di pinggir sungai itulah yang menarik perhatiannya.
“Belum sholat, aku harus ke musholla itu. Selain untuk sholat, juga untuk menyegarkan muka yang terasa panas dan berdebu nih,” gumamnya dalam hati. Beres sholat dan istirahat sejenak, iapun melangkah lagi. Tak lama kemudian ia melihat di sebelah kanan jalan sebuah bukit yang penuh dengan pohon jati. Diantara pepohonan tampak banyak terdapat kuburan-kuburan tua. Pemandangan ini menarik hatinya.
“Pak, ini namanya pekuburan apa?” tanyanya pada seorang bapak tua yang sedang melintas.
“Ini pekuburan Gunung Jati” jawaban bapak tua itu membuat dia penasaran.
“Gunung Jati? Ini tempat dimakamkannya Sunan Gunung Jati?”
“Oh, kalau makam sunan Gunung Jati di sebelah sana” tunjuknya kearah sebelah kiri, yaitu arah berlawanan dari Bukit Jati itu.
“Jauh tidak Pak?” “Deket, paling lima menit”
“Terimakasih Pak” “Sama-sama” Setelah mendapatkan petunjuk dari orang tua itu. Diapun melangkah kea rah yang ditunjukkannya. Dan benar saja, dia melihat bus-bus yang sedang diparkir di lapangan kosong. Dan jika dilihat sekilas, mobil itu adalah mobil peziarah. Tampak dari tulisan yang tertera pada kertas yang ditempelkan pada kacar. Melihat bus-bus ini, semangat ia semakin besar. Sudah dekat, pikirnya.
Sebuah mesjid tua yang sederhana kini ada di hadapannya. Akhirnya sampai juga di makam Wali Cirebon ini. Tampak banyak pengunjung sedang mengaji. Di pintu masuk sebelah kanan ada tempat wudhu. Yang menarik perhatian adanya sebuah gentong besar berwarna kehitaman. Sepertinya benda itu sudah lama sekali menghuni tempatnya, mungkinkah ini peninggalan Sunan Gunung Jati, pikirnya. Iapun melangkah ke tempat wudhu tersebut, kemudian melakukan wudhu. Ketika air memasuki mulutnya, tampak mukanya mengkernyit tanda keheranan. Airnya terasa asin. Padahal tadi waktu wudhu di musholla dekat sungai, airnya tawar. Kenapa di sini berbeda, padahal jaraknya tidak begitu jauh.
Beres wudhu, ia melangkah masuk. Keramik-keramik yang ditanam dalam dinding adalah pemandangan pertama yang menarik perhatiannya. Benar kata sejarah, isteri dari Sunan Gunung Jati adalah wanita China. Karena keramik itu terlihat dari goresan-goresan hurufnya adalah goresan tulisan china. Lalu sebuah pintu yang besar dan tertutup dengan tulisan besar di atasnya yang menunjukkan bahwa di dalamnya ada makam seorang Wali yang terkenal ke seluruh penjuru nusantara yaitu Sunan Gunung Jati. Dan satu lagi pemandangan yang menarik hatinya adalah begitu banyaknya kuburan-kuburan yang ada di sebelah kiri masjid. Saat itu tidak ada dinding yang menutupi masjid dengan kuburan-kuburan tersebut. Sehingga dapat terlihat secara jelas dari dalam.
Beres sholat ashar, ia bersandar di tiang dekat kuburan, sengaja menjauh dari mesjid. Tampak manusia terus berdatangan, entah dari mana asalnya. Yang pasti, suasana masjid itu selalu ramai. Ketika ia sudah bosan dan merasa lapar, dilangkahkan kakinya menuju sebuah gang yang ada di sebelah kanan masjid. Setelah mencari-cari sebentar, akhirnya dia menemukan sebuah warung makan. Tak lama kemudian dia sudah asyik dengan makanannya.
Menjelang maghrib, ia mendengar suara mengaji. Tampaknya suara itu bukan berasal dari masjid Sunan Gunung Jati. Rasa penasaran membuat langkahnya semakin jauh memasuki gang tersebut untuk mencari asal suara itu. Dan benar saja, ada sebuah mesjid besar. “Di sini aku bisa mandi dan menginap,” gumamnya. Diapun mandi di kamar mandi yang tersedia. Namun kembali dia menemukan kenyataan yang baru. Sehabis mandi, badan terasa masih lengket dan tidak terasa bersih. Namun diacuhkannya perasaan itu, walau tidak merasa nyaman. Ya sudah mau bagaimana lagi, pikirnya.
Selesai sholat Isya, dia melangkah ke warung tadi dengan niat untuk makan malam. Tampak ada dua orang sedang makan. Ada hal yang menarik perhatiannya. Yaitu di depan orang itu ada rokok yang belum dia lihat sebelumnya.
“Pak, itu rokok apa?” tanyanya penasaran.
“Oh, ini rokok dari Jawa” jawab orang itu.
“Pantes. Saya baru melihatnya”
“Mas, mau nyoba?”
“Boleh-boleh Pak”
“Nih saya beri satu” ucap orang itu sambil menyodorkan rokok sebatang. Yang dengan cepat dia terima.
“Bapak sudah berapa lama di sini?” tanyanya.
“100 hari, Mas”
“Wah, banyak bekalnya dong Pak?” penuh keheranan dia berseru.
“Ah tidak juga”
“Lah, kalau tidak ada bekal banyak. Bagaimana kita bisa bertahan di sini Pak?” kejarnya penasaran.
“Begini, Mas. Bekal yang saya bawa, itu sudah habis dalam waktu seminggu”
“Lalu bagaimana Bapak bisa bertahan selama seratus hari di sini. Darimana Bapak bisa makan kalau bekal uang tidak ada?”
“Allah yang kasih, Mas”
“Maksudnya gimana Pak, bisa dijelaskan?” tambah penasaran saja dia.
“Ketika bekal kami sudah habis. Untuk mengganjal perut, kami mencari sisa-sisa makanan pada bus-bus yang di parkir. Bekas penziarah yang tidak habis menghabiskan makanannya”
“Ooh…lalu?” gumamnya.
“Sebelum empat puluh hari kami di sini, kita berdua harus mencari-cari makanan seperti yang Bapak bilang tadi. Namun selewat itu, makanan justeru datang sendiri pada kami,” lanjut Bapak itu.
“Kok bisa, gimana ceritanya Pak?” ada rasa tidak percaya dalam nada ucapannya.
“Allah yang memberikannya pada kami. Misalnya suatu waktu kami sedang lapar, tiba-tiba ada bau makanan menghampiri hidung. Lalu kami berkata dalam hati, coba makanan itu datang pada kami. Ternyata, tak lama kemudian ada seseorang yang membawa makanan dan mengantarkannya pada kami. Padahal kami tidak kenal dengan orang itu”
“Waw luar biasa, terus bagaimana Pak”
“Suatu kali kami dititipkan motor oleh seseorang. Padahal kami tidak kenal dengan orang itu. Dan saya sudah menolaknya. Namun orang itu tetap saja memaksa menitipkan motor itu. Akhirnya dengan terpaksa kita menerimanya. Dan ketika motor itu diambil kembali oleh yang punyanya, kami mendapat upah yang lumayan. Begitulah salah satu kisahnya, Mas”
Sayang percakapan itu terhenti, karena kedua orang tersebut bergegas pergi, karena sudah beres makannya. Meninggalkan dia makan sendirian. Padahal masih banyak pertanyaan dan pengalaman apa saja yang ingin dia tanyakan pada kedua orang tersebut.
*****
Besoknya diapun kembali pulang ke kota asalnya dengan hati senang. Selain karena sudah terbayar lunas rasa penasarannya untuk mengunjungi salah satu makam Wali Songo. Juga karena dia tidak begitu betah dengan tempat itu, terutama dengan airnya yang sedikit asin. Setelah lama waktu berselang baru dia tahu dengan maksud Gunung bagi orang Cirebon. Ternyata bagi orang sana, yang dimaksud gunung itu adalah gundukan tanah seperti bukit, selain gunung yang menjulang tinggi tentunya. Pantas saja dia salah faham dan kebingungan. Karena bagi dia, bukit ya bukit, gunung ya gunung.
Dan kata-kata dari kedua orang itu, membuatnya senyum-senyum sendiri. Kisah itu diibaratkan dengan tokoh pada cerpen Robohnya Surau Kami, karya AA Navis. Padahal dulu, cerita itu ia jadikan pedoman baginya dalam kehidupan. Sekarang, kisah itu hanya menjadi salah satu kisah yang pernah dialami dalam kehidupannya dan tidak patut untuk dijadikan contoh dan pegangan. Hidup itu mesti berusaha dan tidak mengandalkan pemberian orang lain. Sekian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H