Mohon tunggu...
Bayu Segara
Bayu Segara Mohon Tunggu... Administrasi - Lihat di bawah.

Penulis saat ini tinggal di Garut. 0852-1379-5857 adalah nomor yang bisa dihubungi. Pernah bekerja di berbagai perusahaan dengan spesialis dibidang Layanan & Garansi. Sangat diharapkan jika ada tawaran kerja terkait bidang tersebut . Kunjungi juga blog saya di: https://bundelanilmu.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nakal-nakal Binal, Perempuanku

20 Mei 2011   14:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:25 14784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Eh kamu anaknya Pak Ujang, makin cantik saja. Sini," ucapku sambil melambaikan tangan pada seorang gadis cantik dan imut yang sedang berdiri di depan pintu rumah itu. Dan diapun menurut, berjalan ke arahku. Tiba di depanku kupeluk dia dan kududukan tubuhnya di atas paha.


"Kamu masih inget nggak sama Om?" tanyaku sambil melihat matanya yang bulat.


"Enggak," jawabnya polos membuatku keheranan.


"Masa sih, kamu lupa sama Om?" dengan rasa penasaran aku bertanya lagi.


"Iyah. Aku lupa," dan seperti tadi, jawabannya tetap polos.


"Aih gimana sih kamu, masa lupa sama Om," ucapku sambil mencium pipinya.


"Aduh geli Om. Kumisnya tajam-tajam," ucapnya. Tampak dia belingsatan menghindari ciumanku yang bertubi-tubi.


"Biarin. Abis kamu lupa sih sama Om"


"Emang Om rumahnya di mana?"


"Jakarta. Kamu tahu Jakarta enggak?"


"Enggak"


"Tahu Monas?"


"Enggak"


"Ah payah nih. Masa enggak tahu Monas dan Jakarta?"


"Karena aku belum dikasih tahu, makanya aku tidak tahu," kembali ucapannya begitu polos, membuatku tertawa geli.


"Oh iya yah. Maaf deh kalau begitu"


"Iyah. Ngomong-ngomong pacarnya mana, Om?" tanyanya membuatku tertawa.


"Om belum punya pacar, abis nungguin kamu lama banget," jawabku sambil kembali mencium pipinya. Dan seperti tadi diapun menggelinjang kegelian.


"Om tuh ada Alia," telunjuknya mengarah pada perempuan yang baru keluar dari rumah warna coklat, terhalang oleh tirai yang terbuat dari bambu.


"Oh iyah, cepet kamu panggil dia kesini."


"Enggak mau. Pengennya sama Om," ucapnya manja mengalungkan tangannya ke leherku sambil memainkan resleting jaket yang sedang kupakai.


"Ah dasar males," omelku sambil tetap menggendong tubuhnya aku berdiri menghampiri perempuan itu.


Perempuan ini tampak baru bangun dari tidurnya. Terlihat dari rambutnya yang awut-awutan. Namun kecantikannya tetap nampak di wajah itu. Pipinya yang putih kemerahan, masih sama dengan setahun yang lalu.


"Aliya, masih inget Om, enggak?" tanyaku ketika kami sudah berdiri di hadapannya. Namun tak ada jawaban, hanya senyum yang mengembang dari mulutnya. Suatu perasaan aneh menyelusup dalam pikiran, sepertinya dia juga lupa terhadapku seperti perempuan yang berada didalam gendonganku ini.


"Eh, apa kabar. Sudah lama gak ke sini?" tiba-tiba dari kejauhan datang seorang pria menyapa. Ternyata dia Mas Samsul. Bekas tetanggaku dulu.


"Baik Mas," jawabku sambil menurunkan perempuan yang masih dalam rangkulan. Kemudian kuulurkan tangan, mengajak Mas Samsul salaman.


"Di rumah aja, yuk," ajak dia sambil berjalan ke rumahnya. Dan akupun mengikutinya. Aku tidak heran dengan sikapnya, karena memang begitu sifatnya dari dulu.


"Gimana, sehat?" tanyanya.


"Sehat Mas," jawab saya pendek.


"Aduh-aduh orang jauh, kemana saja nih kok baru kelihatan?" belum juga aku masuk ke rumahnya Mas Samsul, Mba Nur menyapa dari kejauhan. Membuatku urung untuk masuk ke dalam rumah. Tanpa basa-basi terhadap Mas Samsul aku melangkahkan kaki ke rumah Mba Nur. Karena inipun sudah kebiasaanku. Mas Samsul sudah mengerti.


"Gimana, sehat Mba?" tanyaku sambil mengulurkan tangan mengajak salaman.


"Alhamdulillah, mana isterinya," jawabnya sambil tertawa.


"Belum nih Mba. Saya belum punya isteri, jodohin dong"


"Wah pake acara dijodohin segala. Perempuan mah banyak"


"Iyah, banyak. Cuman sampai saat ini saya belum nemu nih Mbak"


"Bukan belum nemu, terlalu pilih-pilih kali si Omnya"


"Hehehe mungkin begitu kali Mba.  Ini namanya siapa Mba, saya lupa lagi?" tanyaku sambil menunjuk pada perempuan yang sedang duduk di samping dia. Seorang perempuan berambut panjang dengan kulit putih. Dulu aku mengingatnya berambut pendek dan sifatnya agak liar, susah untuk ditaklukan.


"Oh, ini si Rara," jawabnya.


Akupun menggeser tempat duduk tepat di samping si Rara.  Lalu tanpa basa-basi kucium pipinya. Dia kaget dan menjauhkan badannya ketika aku hendak merangkulnya. Namun aku tidak putus asa, kuraih lagi tubuhnya. Diapun menyerah, diam dalam pelukanku.


Tangannya dengan lincah mengambil bunga yang sedang mekar. Dipetiknya setangkai. Tanpa minta izin padaku, dipasangkannya bunga itu di sela-sela telinga. Akupun tertawa geli. Ah kamu ternyata masih mengingatku, walau tidak ada suara yang keluar dari mulutmu.


Kurang lebih lima belas menit aku ngobrol dengan Mba Nur. Banyak cerita basa-basi yang keluar dalam obrolan kami. Namun walau basa-basi, sungguh masih ada ikatan batin diantara kami sebagai bekas tetangga. Ini terlihat dari obrolan kami yang hangat.


"Kopinya sudah mateng nih," dari kejauhan Mas Samsul melambaikan tangan. Akupun berdiri sambil masih tetap menggendong tubuh si Rara.


"Mba, saya ke sana dulu yah," pamit saya.


"Oh iyah," jawabnya sambil tersenyum.


Akupun melangkahkan kaki menuju rumah Mas Samsul. Kulihat Aliya sedang duduk di atas bangku. Kuhampiri ia, lalu kuraih tubuhnya dan kugendong di tangan kiri. Sekarang ada dua perempuan dalam dekapan. Aku merasa sebagai pria yang paling beruntung.


Tiba di dalam rumah, tampak kopi mengepul di atas gelas dan gorengan aron di dalam toples. Aku tertawa sendiri. Ah ternyata belum berubah juga nih, masih seperti setahun yang lalu.


"Ada urusan apa datang ke sini?" tanya Mas Samsul sambil menatapku.


"Biasa, bayar pajak motor Mas," jawabku sambil membuka toples. Ku ambil tiga potong. Dua potong kuberikan pada perempuan di pangkuanku, sisanya kumasukkan di mulut.


"Sudah beres"


"Sudah Mas"


Lama kami ngobrol ngalor ngidul. Pembicaraan kami tidak jauh dari memancing. Kebetulan kami mempunyai hobi yang sama. Sedangkan dua perempuan itu, bercanda diantara obrolan kami. Hingga akhirnya sore datang menghampiri. Memutus kemesraan kami.


"Mas, saya pulang dulu yah. Sudah sore nih. Pasti nyampai Jakarta malem, karena dari Tangerang sini, perjalanan bisa sampai dua jam. Saya capek, besoknya harus kerja"


"Ya sudah. Nanti kalau ada waktu, main ke sini"


"Iyah Mas," aku menjawab sambil beranjak keluar dari rumahnya.


Di luar, akupun pamit pada Mba Nur dan pada perempuan-perempuan itu. Kuciumi mereka satu persatu. Sambil tidak lupa memberikan mereka uang. Tanda rasa sayangku pada mereka. Ah, kalian perempuan-perempuanku. Hiburan di waktu lelah sehabis pulang bekerja. Obat lara diwaktu aku nestafa, merasa kesepian jauh dari keluarga. Kalian hadir mengisi kekosongan dalam relung hati ini. Dengan berat hati kita mesti berpisah.


Kalian yang nakal dan manja yang suka mengusik rumahku. Yang suka mengajak jalan-jalan di sore hari. Akankah kita bertemu dilain waktu, kita lihat saja nanti. Biarkan taqdir yang bercerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun