"Wah pake acara dijodohin segala. Perempuan mah banyak"
"Iyah, banyak. Cuman sampai saat ini saya belum nemu nih Mbak"
"Bukan belum nemu, terlalu pilih-pilih kali si Omnya"
"Hehehe mungkin begitu kali Mba. Â Ini namanya siapa Mba, saya lupa lagi?" tanyaku sambil menunjuk pada perempuan yang sedang duduk di samping dia. Seorang perempuan berambut panjang dengan kulit putih. Dulu aku mengingatnya berambut pendek dan sifatnya agak liar, susah untuk ditaklukan.
"Oh, ini si Rara," jawabnya.
Akupun menggeser tempat duduk tepat di samping si Rara. Â Lalu tanpa basa-basi kucium pipinya. Dia kaget dan menjauhkan badannya ketika aku hendak merangkulnya. Namun aku tidak putus asa, kuraih lagi tubuhnya. Diapun menyerah, diam dalam pelukanku.
Tangannya dengan lincah mengambil bunga yang sedang mekar. Dipetiknya setangkai. Tanpa minta izin padaku, dipasangkannya bunga itu di sela-sela telinga. Akupun tertawa geli. Ah kamu ternyata masih mengingatku, walau tidak ada suara yang keluar dari mulutmu.
Kurang lebih lima belas menit aku ngobrol dengan Mba Nur. Banyak cerita basa-basi yang keluar dalam obrolan kami. Namun walau basa-basi, sungguh masih ada ikatan batin diantara kami sebagai bekas tetangga. Ini terlihat dari obrolan kami yang hangat.
"Kopinya sudah mateng nih," dari kejauhan Mas Samsul melambaikan tangan. Akupun berdiri sambil masih tetap menggendong tubuh si Rara.
"Mba, saya ke sana dulu yah," pamit saya.
"Oh iyah," jawabnya sambil tersenyum.