Segala penat letih dan sengsara seakan hilang begitu kami menginjak daratan puncak.Â
Daratan…? kesannya abis dari laut. Namun begitulah bayangannya, ibarat lama terombang-ambing di lautan eh nemuin daratan. Gimana gak seneng coba.
Cuman kami terkejut, karena ternyata di atas puncak gunung banyak orang. Wuiiih… kami terbengong-bengong.. kok bisa?…Â
Malah ada yang jualan kopi!! Ah peduli amat coy, liat kopi yang masih mengepul mulut ini langsung goyah, hidung langsung limbung. Dideketin lah tuh tukang kopi. Bang atu….seru saya.
Kopi yang saya pegang itu masih panas, namun karena habis kedinginan langsung saya seruput saja tuh kopi.Â
Ajaib!! Kopinya tidak terasa panas menyengat, tapi panas biasa, yaitu panas yang bisa kita minum… ada-ada aja.Â
Apa karena ilmu saya sudah tinggi sehingga air kopi panas ini tidak begitu panas di mulut.Â
Ternyata setelah kejadian itu baru saya tahu teorinya. Teorinya adalah titik didih air di dataran rendah dan dataran tinggi itu berbeda.Â
Di puncak gunung, tekanannya lebih rendah dari normal (1 atm). Jadi, titik didih air pun jadi lebih rendah.Â
Contohnya, pada ketinggian 10.000 kaki, titik didih menjadi 90 C. Itulah kenapa air lebih cepat mendidih di puncak gunung daripada di dataran rendah.
Setelah ngupi, saya melihat-lihat sekeliling. Terkaget-kaget saya mendapati kenyataan di sekeliling puncak gunung ini.Â