Di kaki gunung kami menemukan kuburan tua. Entah kuburan siapa. Saat itu kami tidak berpikiran apa-apa, yang ada adalah rasa heran, kok ada kuburan di sini dan sudah tua sekali kuburannya.
Ternyata perjalanan kami tambah berat ketika kami mulai mendaki gunung tersebut.Â
Kami hanya bisa mengangkat kaki untuk sepuluh langkah, sisanya kami berhenti. Jalan setapaknya rapih, terdiri dari undakan bebatuan.Â
Saya gak habis pikir, kok bisa naek ke atas gunung tapi ada undakan yang begitu rapih sedangkan hutannya masih begituh angker.Â
Sampai sekarang, pikiran tersebut belum bisa saya temukan jawabannya.
Belum habis pertanyaan tersebut, ada pertanyaan baru lagi. Pertanyaan baru ini timbul setelah melihat rombongan orang datang menyusul kami.Â
Salah satu dari mereka ada yang memanggul barang bawaan. Yang memanggul barang bawaan ini adalah orang upahan, porter bahasa kerennya.Â
Oalaaaah Pak, ini sayah begituh terengah-engah dan capeknya setengah mati untuk mendaki gunung ini, lah ini Bapak enak-enakan memanggul barang, apa sih rahasianya.Â
Dan saya tidak dapat menemukan jawabannya sampai sekarang, karena saya ngga bertanya sama dia.
Siksaan datang ketika hujan turun. Dimana dalam kondisi tanah kering kami kepayahan menaklukan medan, ini ditambah dengan hujan, luar biasa derita yang kami alami saat itu.Â
Setelah delapan jam kami berjuang dengan memaksa kaki dan menguras tenaga akhirnya kami sampai juga di atas gunung.Â