Mohon tunggu...
amaliarif
amaliarif Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Bersyukurlah atas era keterbukaan. Karena tidak semata-mata dibungkam, opini anda masih berpeluang didengarkan-

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kompromi, Ia...

22 September 2017   21:15 Diperbarui: 23 September 2017   06:35 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Memang ada yang baru

Laga-laganya seperti itu..

Tidak disetir?

Yang kutau, ia tak merdu.

Ah, kuamati otak dan hatinya tidak berjalan diarah yang sama..

Kacau ia

Tak mawas diri

Tak jaga prinsip

Atau barangkali tak berprinsip

Lantas dijatuhilah hukuman,

atau bukan?

Kau biarkan terombang-ambing dan tega nian kau hukum sendiri

Dikandaskan segala ingin

Matilah!

Tiada boleh ia menerka hidup semau-maunya

Pun berlalulah detik..

Masih saja ia berfikir..

Hanya berfikir..

Terus berfikir..

Banyak-banyak berfikir macam yakin dengan yang dipikirkannya

Defensif kau bilang..

Padahal remuk nyatanya saling sahut berkecamuk antara lakukan dan hentikan

Menimang nimbang baik buruk sampai lupa nominal-nominal kehidupannya terus berjalan..

Ia masih tak melakukan apa-apa

Mau tak mau,

Setiap sudut ia meraba, ditemukanlah kelenturan itu sedikit demi sedikit makin pudar disapu masa..

Kau mengeriput

Menua disetiap harinya

Ujungnya,

Berjumpa pula kau dibatas hari sebelum tiba saat kalender musti bertambah angka..

Ironi?

Hari itu, kulihat wajahmu gerimis atas nama dusta..

Kau khianat! Begitukah?

Begitu, pada dirimu

"Kau! Lakukanlah saja! Lakukan dulu baru kau tau apa yang hidup akan berikan!

Lakukanlah dulu baru kau mengerti bagaimana hidup memperlakukanmu!

Ah bukan, bagaimana bisa kau hanya menunggu hidup memperlakukanmu?

Kenapa bukan kau yang mendirect hidupmu? Kau berwenang!

Lakukanlah dulu baru kau boleh putuskan apakah kau gagal?

Atau kau yang menggagalkan diri?!

Lakukanlah saja yang kau ingin tuju!

Atau bakal lagi kau lihat itu-itumu dijauhkan!

Hilang lagi.. Terkubur lagi.. Sedih lagi.. Nangis lagi.."

Kudengar manusia itu berseru-seru

Nampak sedang jauh ia dari konsistensi hati

Dasar bodoh..

Habis disayatkan sendiri bagian-bagian mengerikan itu meninggalkan alur tak indah yang berbelit dalam otaknya

Bekas tak kasat mata yang mengubur sisi sejati dalam dirinya..

Lalu saat dilihat yang menurutnya tak lebih pantas mendapatkan itu-itu hal, tak mau kompromi,

menangislah ia..

Wah..

Bukankah yang demikian sudah seharusnya?

Makanya kubilang matikanlah saja itu sesal-sesal tak guna!

Kembali galilah gali lagi lagi dan lagi harapan itu sampai kau berkompromi

Kau menangis? Lakukan!

Kau menyesal? Jangan!

Mata itu untuk kesekian kalianya bicara pada aku, kau, dan ia

Berdialetika kalian..

Hidup dalam satu tubuh tapi tak sejalan? Hentikan!

Sudut bibirmu mengukir simpul

Pikirku,

Menyenangkan mengetahuinya..

Kau pada akhirnya  menyerah semena-mena secara sepihak mendoktrin takdir dan memilih menjalaninya

Mencoba yang terbaik

Menyenangkan..

Aku suka itu.

Sangat suka.

-Kau; yang sempat bercerita. Bukan maaf, tapi aku terlanjur menuliskannya-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun