Mohon tunggu...
Peres Sar Arin
Peres Sar Arin Mohon Tunggu... -

Bukan penulis cuma suka nulis. Kadang kita cuma butuh ngoobrol dan berkarya. http://peres-arin.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Help People Heal!

31 Juli 2016   22:36 Diperbarui: 1 Agustus 2016   03:55 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun saya tidak pernah mengalami tetapi beberapa dari mereka menceritakan pengalamannya langsung kepada saya dan dari situlah kita bisa belajar untuk lebih mengenal manusia dengan memperlakukan mereka semanusiawi mungkin. Bahkan tidak jarang kita akan dituntut untuk berpikir dengan cara pandang orang lain yang menjadi korban seperti kasus tersebut. 

Dua teman saya, Ghifari dan Agung pernah mencetuskan tentang “jam-jam goblok”, dimana kita bisa menggunakan cara berpikir kita dengan maksimal di malam hari hingga dini hari dan tanpa gamblang saya membuktikan hal tersebut benar adanya.

Menjadi manusia nokturnal tidak selamanya merugikan, yang perlu kita lakukan hanyalah tidur dengan pandangan menatap ke dinding kamar, mengevaluasi semua kejadian dan biarkan pikiranmu menjelajah ke tempat asing, membayangkan seolah-olah menjadi orang lain sehingga bisa membantu memecahkan masalah yang mereka alami dan jangan batasi cara berpikirmu karena tindakanmu mencerminkan caramu berpikir. Atau bisa juga ketika sedang berada di wc dan tiba-tiba kita menemukan inspirasi.

Rupanya semakin dewasa kita benar-benar dituntut untuk berpikiran terbuka dan terus mengasah cara berpikir yang lain. Menyelesaikan suatu problema karena manusia pasti memiliki problema dalam hidupnya. Ketika kita tidak berusaha untuk memecahkannya satu persatu maka problema-problema tersebut akan terus menumpuk dan dapat menguji kondisi mental kita. Lalu apa akibatnya? Stres, suatu kondisi yang sangat sering dijumpai saat ini, bukan hanya remaja hingga dewasa bahkan anak-anak kecil pun sering mengalaminya tanpa sepengetahuan kita.

Sedangkan pada kasus domestic violence, seperti penelantaran, kekerasan fisik dan seksual, adalah masalah yang menjadi perhatian masyarakat luas sejak dulu sehingga muncullah label broken home. Hal ini telah terbukti meningkatkan risiko gangguan mental, penyalahgunaan obat-obatan, dan usaha bunuh diri. Ada beberapa teman saya yang dulu pernah mengalami kasus yang serupa dengan melampiaskan ke kegiatan negatif, seperti minum-minuman keras, menurutnya hal tersebut bisa membuat pikirannya tenang dan melupakan kejadian yang menikam kejiwaannya.

Menjadi sosok yang seolah-olah tidak lagi dibutuhkan, nah ini merupakan salah satu contoh dimana korban hanya bisa menggunakan jalan pikir yang pendek. Apakah dengan begitu masalah terselesaikan? Setelah mendapatkan kepuasan tertentu apakah bisa dibuktikan bahwa kondisi kejiwaan korban kembali normal? Sama sekali tidak, bahkan kebalikannya.

Mereka hanya akan menyakiti dirinya berulang-ulang, merusak segala hal karena beranggapan bahwa diri mereka tidak berguna, lalu mencaci maki apa yang ada di depannya serta beranggapan bahwa dunia tidak adil, benarkah begitu? Bukankah setiap manusia diciptakan karena mereka memiliki tujuan?.

Melawan rasa sakit atau menyangkalnya memang terasa semakin menyakitkan tapi mampu mendewasakan ketika kita mampu untuk berpikir logis dan melangkah perlahan, sedangkan menyakiti diri sendiri hanya akan memperparah luka yang sudah dibentuk, bukankah kita sebagai manusia memiliki kemampuan untuk melunak pada luka? Jangan menjadi manusia yang kolot ya, karena jiwa manusia jauh menyimpan banyak misteri dibandingkan akal sehat itu sendiri.

Ilustrasi: @christy_cm
Ilustrasi: @christy_cm
Kepribadian selalu memegang posisi paling penting. Bahkan kita tidak pernah sadar ternyata kita dan mereka sama-sama memiliki Demons, begitulah orang Barat menyebutnya. Sosok kepribadian yang tidak pernah ditunjukkan dihadapan orang lain. Demonssering kali hadir ketika kita sedang berusaha untuk berkomunikasi dengan diri kita sendiri tak dapat dipungkiri juga dengan alam bawah sadar, memiliki sifat yang buruk, pekat, tidak logis dan selalu mengutamakan perasaan. 

Mengapa Demonstidak pernah muncul dihadapan orang lain? Karena dia dapat bersinkronisasi dengan pikiran kita, tindakan apa yang menurut kita buruk tidak akan kita lakukan.

Orang lain biasa menyebutnya dengan logika dan perasaan yang seimbang. Hal ini berbeda dengan kepribadian ganda, karena kepribadian ganda atau yang biasa disebut Multiple Personality Disorder (MPD), saat ini lebih dikenal dengan Dissociative Identity Disorder (DID), merupakan kasus yang tidak dapat disadari oleh korban bahwa dia memiliki pribadi lebih dari 1, yang dia rasakan hanyalah kehilangan waktu dan setiap kepribadian memiliki kehidupan yang berbeda. Kasus kepribadian ganda kebanyakan muncul dikarenakan mengalami trauma berat ketika masih kecil, pada umumnya adalah kekerasan dan pelecehan seksual. 

Seperti kasus Billy Milligan, asal Amerika yang mempunyai 24 kepribadian. Apakah kalian bisa membayangkan ke-24 sosok yang berbeda kepribadian, latar belakang serta emosional dapat “hidup” dalam satu tubuh? Jelas tidak. Ternyata mereka berbagi waktu, pengalaman, emosi, dan berbagi peristiwa yang baik maupun buruk hanya untuk melindungi satu pribadi, yaitu Billy – sang pemilik tubuh dan jiwa yang asli. Kisah hidup Billy telah dibukukan oleh Daniel Keyes dengan judul The Minds of Billy Milliganatau dalam versi bahasa Indonesia adalah 24 Wajah Billy.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun