Meskipun saya tidak pernah mengalami tetapi beberapa dari mereka menceritakan pengalamannya langsung kepada saya dan dari situlah kita bisa belajar untuk lebih mengenal manusia dengan memperlakukan mereka semanusiawi mungkin. Bahkan tidak jarang kita akan dituntut untuk berpikir dengan cara pandang orang lain yang menjadi korban seperti kasus tersebut.
Dua teman saya, Ghifari dan Agung pernah mencetuskan tentang “jam-jam goblok”, dimana kita bisa menggunakan cara berpikir kita dengan maksimal di malam hari hingga dini hari dan tanpa gamblang saya membuktikan hal tersebut benar adanya.
Menjadi manusia nokturnal tidak selamanya merugikan, yang perlu kita lakukan hanyalah tidur dengan pandangan menatap ke dinding kamar, mengevaluasi semua kejadian dan biarkan pikiranmu menjelajah ke tempat asing, membayangkan seolah-olah menjadi orang lain sehingga bisa membantu memecahkan masalah yang mereka alami dan jangan batasi cara berpikirmu karena tindakanmu mencerminkan caramu berpikir. Atau bisa juga ketika sedang berada di wc dan tiba-tiba kita menemukan inspirasi.
Rupanya semakin dewasa kita benar-benar dituntut untuk berpikiran terbuka dan terus mengasah cara berpikir yang lain. Menyelesaikan suatu problema karena manusia pasti memiliki problema dalam hidupnya. Ketika kita tidak berusaha untuk memecahkannya satu persatu maka problema-problema tersebut akan terus menumpuk dan dapat menguji kondisi mental kita. Lalu apa akibatnya? Stres, suatu kondisi yang sangat sering dijumpai saat ini, bukan hanya remaja hingga dewasa bahkan anak-anak kecil pun sering mengalaminya tanpa sepengetahuan kita.
Sedangkan pada kasus domestic violence, seperti penelantaran, kekerasan fisik dan seksual, adalah masalah yang menjadi perhatian masyarakat luas sejak dulu sehingga muncullah label broken home. Hal ini telah terbukti meningkatkan risiko gangguan mental, penyalahgunaan obat-obatan, dan usaha bunuh diri. Ada beberapa teman saya yang dulu pernah mengalami kasus yang serupa dengan melampiaskan ke kegiatan negatif, seperti minum-minuman keras, menurutnya hal tersebut bisa membuat pikirannya tenang dan melupakan kejadian yang menikam kejiwaannya.
Menjadi sosok yang seolah-olah tidak lagi dibutuhkan, nah ini merupakan salah satu contoh dimana korban hanya bisa menggunakan jalan pikir yang pendek. Apakah dengan begitu masalah terselesaikan? Setelah mendapatkan kepuasan tertentu apakah bisa dibuktikan bahwa kondisi kejiwaan korban kembali normal? Sama sekali tidak, bahkan kebalikannya.
Mereka hanya akan menyakiti dirinya berulang-ulang, merusak segala hal karena beranggapan bahwa diri mereka tidak berguna, lalu mencaci maki apa yang ada di depannya serta beranggapan bahwa dunia tidak adil, benarkah begitu? Bukankah setiap manusia diciptakan karena mereka memiliki tujuan?.
Melawan rasa sakit atau menyangkalnya memang terasa semakin menyakitkan tapi mampu mendewasakan ketika kita mampu untuk berpikir logis dan melangkah perlahan, sedangkan menyakiti diri sendiri hanya akan memperparah luka yang sudah dibentuk, bukankah kita sebagai manusia memiliki kemampuan untuk melunak pada luka? Jangan menjadi manusia yang kolot ya, karena jiwa manusia jauh menyimpan banyak misteri dibandingkan akal sehat itu sendiri.
Mengapa Demonstidak pernah muncul dihadapan orang lain? Karena dia dapat bersinkronisasi dengan pikiran kita, tindakan apa yang menurut kita buruk tidak akan kita lakukan.
Orang lain biasa menyebutnya dengan logika dan perasaan yang seimbang. Hal ini berbeda dengan kepribadian ganda, karena kepribadian ganda atau yang biasa disebut Multiple Personality Disorder (MPD), saat ini lebih dikenal dengan Dissociative Identity Disorder (DID), merupakan kasus yang tidak dapat disadari oleh korban bahwa dia memiliki pribadi lebih dari 1, yang dia rasakan hanyalah kehilangan waktu dan setiap kepribadian memiliki kehidupan yang berbeda. Kasus kepribadian ganda kebanyakan muncul dikarenakan mengalami trauma berat ketika masih kecil, pada umumnya adalah kekerasan dan pelecehan seksual.
Seperti kasus Billy Milligan, asal Amerika yang mempunyai 24 kepribadian. Apakah kalian bisa membayangkan ke-24 sosok yang berbeda kepribadian, latar belakang serta emosional dapat “hidup” dalam satu tubuh? Jelas tidak. Ternyata mereka berbagi waktu, pengalaman, emosi, dan berbagi peristiwa yang baik maupun buruk hanya untuk melindungi satu pribadi, yaitu Billy – sang pemilik tubuh dan jiwa yang asli. Kisah hidup Billy telah dibukukan oleh Daniel Keyes dengan judul The Minds of Billy Milliganatau dalam versi bahasa Indonesia adalah 24 Wajah Billy.