Mohon tunggu...
Perdana Ratus Mangiring
Perdana Ratus Mangiring Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang mahasiswa yang sedang melatih kemampuan menulis.

Blessed and happy.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Artis dan Atlet Go International, Bagaimana Pemajakannya?

21 Januari 2022   19:05 Diperbarui: 21 Januari 2022   19:08 2066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Artis dan olahragawan adalah pekerjaan yang mengandalkan keahlian dan keterampilan. Artis dapat didefinisikan sebagai seseorang yang ahli dalam seni atau sering disebut seniman/seniwati, contohnya pemusik, pemain film/drama, pelukis, atau penyanyi. Sedangkan olahragawan diartikan sebagai pengolahraga, yang memiliki kemampuan dan keahlian di bidang olahraga dan ikut dalam pertandingan atau kompetisi.

Kedua profesi ini memiliki tingkat mobilitas yang tinggi. Artinya, seorang penyanyi dari suatu negara dapat saja bernyanyi dalam konser atau pertunjukan yang tidak terbatas di negara asalnya, tetapi juga di berbagai negara lainnya. Atau dengan kata lain, go international.  Sama halnya dengan seorang atlet angkat besi yang dapat ikut bertanding dalam perlombaan internasional, tidak terbatas hanya di dalam negaranya sendiri. Dengan tingkat mobilitas yang demikian, kemungkinan para artis dan olahragawan untuk mendapat penghasilan dari kegiatannya di luar negeri sangat terbuka lebar.

Hal tersebut menjadi topik yang berlingkup internasional, terutama terkait yuridiksi pemajakan atas penghasilan yang didapat artis maupun olahragawan dari kegiatan profesinya di luar negeri. Kita perlu tahu yuridiksi mana yang dapat dan berhak memajaki penghasilan tersebut. Selain itu, seperti apa kesepakatan pihak-pihak terkait terkait pemajakan tersebut, termasuk berapa besar tarif yang diberlakukan. Kita dapat menemukan jawaban tersebut dalam hukum domestik dan pedoman internasional yang digunakan, baik P3B antar negara yang terlibat maupun OECD Model atau UN Model.

Hukum domestik Indonesia, yakni UU Pajak Penghasilan, tidak secara khusus mengatur mengenai definisi dan ketentuan pemajakan terhadap artis dan olahragawan. Akan tetapi secara umum, Pasal 1 dan 2 mengatur bahwa siapapun, baik SPDN (atas seluruh penghasilan) maupun SPLN (atas penghasilan dari Indonesia) dikenakan pajak penghasilan. Selanjutnya, pada Pasal 4 ayat (1) disebutkan yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yang menambah kemampuan ekonomis wajib pajak yang berasal dari mana saja dan dapat digunakan baik untuk menambah kekayaan yang dimiliki wajib pajak tersebut maupun untuk konsumsi, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Anak kalimat terakhir mengindikasikan bahwa objek pemajakan domestik mencakup definisi yang luas.

Apabila seorang artis atau olahragawan merupakan SPDN dan menerima penghasilan hanya dari Indonesia, tentunya bukanlah sebuah isu dalam aspek pemajakan internasional. Yang menjadi persoalan adalah bila artis atau olahragawan tersebut merupakan SPLN yang melakukan kegiatan dan memperoleh penghasilan sehubungan dengan profesinya tersebut di Indonesia. Begitu pula bila artis atau olahragawan merupakan SPDN yang menerima penghasilan dari luar Indonesia. Sedangkan untuk artis atau olahragawan yang merupakan SPLN dan memperoleh penghasilan dari luar negeri merupakan lingkup ekstrateritorial yang tidak dapat dijangkau oleh yuridiksi perpajakan Indonesia.

OECD Model mengatur pemajakan terhadap artis dan olahragawan di dalam Article 17 yang terdiri dari dua ayat. Pada ayat 1 disebutkan definisi artis yaitu artis teater, film, radio, televisi, atau seorang pemusik. Sedangkan untuk definisi dari olahragawan tidak disebutkan dalam ayat tersebut. Secara lebih lengkap, ayat 1 menjelaskan bahwa terlepas dari ketentuan Article 7 dan Article 15, penghasilan yang diperoleh langsung oleh penduduk suatu negara dalam P3B dari kegiataan personalnya sebagai artis atau olahragawan di negara lainnya dalam P3B dapat dipajaki di negara lainnya tersebut. Lebih jauh lagi, ayat 2 mengatur bahwa bila penghasilan yang dimaksud dalam ayat 1 diterima oleh pihak lain (another person, yang dapat berupa badan, individu, atau bentuk lainnya), bukannya oleh artis atau olahragawan yang bersangkutan, dapat dipajaki oleh negara lainnya dalam P3B atau dengan kata lain di negara tempat kegiatan artis atau olahragawan dilakukan. Ketentuan ini terlepas dari ketentuan-ketentuan Article 7 dan 15.

Setelah mengetahui bagaimana OECD Model mengatur ketentuan mengenai penghasilan yang diperoleh oleh artis atau olahragawan, kita juga perlu mengetahui seperti apa aturan terkait dalam UN Model. Ketentuan mengenai artis dan olahragawan juga diatur dalam Article 17 yang terdiri dari 2 ayat. Secara umum kedua model tersebut hampir sama. Akan tetapi, dalam bahasa aslinya, bahasa Inggris, istilah olahragawan pada UN Model disebut sebagai sportsperson, sedangkan pada OECD Model disebut sebagai sportsman. Selain itu, Article 17 ayat 2 UN Model mengatur bahwa ketentuan ayat tersebut diberlakukan terlepas dari ketentuan dalam Article 7, 14, dan 15. Tidak seperti OECD Model yang hanya mengecualikan ketentuan Article 7 dan 15 dalam ayat 2 ini. Hal ini disebabkan telah dihapuskannya Article 14 pada OECD Model.

Penghasilan yang diterima artis atau olahragawan ini mencakup:

  • Penghasilan langsung, yaitu yang diterima atau diperoleh dari pelaksanaan kegiatan artis atau olahraga.
  • Penghasilan tidak langsung yang berupa penghasilan dalam bentuk sponsor, iklan, maupun merchandise (bukan merupakan royalti) yang terkait erat dengan kegiatan artis atau olahraga.

Berikut adalah contoh yang dapat menggambarkan ketentuan Article 17 ayat 1 dan 2.

Contoh 1:

Rose, seorang penyanyi solo asal Australia, diundang bernyanyi dalam suatu konser di Medan, Indonesia. Penyelenggaraan konser tersebut dilakukan oleh PT Medan Belawan untuk memeriahkan acara ulang tahun perusahaan tersebut. Konser tersebut berlangsung selama 2 hari. Nilai kontrak yang disetujui oleh PT Medan Belawan dan Rose sebesar Rp700.000.000,00 dan diterima langsung oleh Rose.

Dalam kasus tersebut, sesuai dengan Article 17 OECD Model, penghasilan sebesar 700 juta yang diterima oleh Rose dalam kegiatannya sebagai penyanyi dapat dipajaki oleh Indonesia sebagai negara pihak dimana kegiatan tersebut dilakukan.

Contoh 2:

Xie Huang, seorang aktor muda asal China, diundang untuk melakoni sebuah film pendek produksi PT Indomovie. Kontrak tersebut sebesar 1 miliar dan diterima oleh Ninghua Entertainment, agensi tempat Xie Huang bernaung. Atas nilai sebesar 1 miliar tersebut diproporsikan menjadi 60% miliki Xie Huang dan 40% milik Ninghua Entertainment.

Dalam kasus tersebut, sesuai dengan Article 17 ayat 2 OECD Model, penghasilan yang didapatkan oleh Xie Huang dapat dipajaki di Indonesia karena atas kegiatan artis yang dilakukannya di Indonesia mendapat penghasilan yang diperoleh secara tidak langsung dari PT Indomovie.

Tetapi, berapakah besarnya penghasilan yang dapat dipajaki oleh yuridiksi pemajakan Indonesia? Jawabannya, hanya sebesar penghasilan yang diterima oleh Xie Huang, yakni sebesar 600 juta (60% dari nilai kontrak).

Pertanyaan selanjutnya, apakah Indonesia dapat memajaki penghasilan yang diterima oleh Ninghua Entertainment, Co. sebesar 400 juta? Jawabannya, tidak. Penghasilan yang diterima Ninghua Entertainment Co. merupakan laba usaha atas kegiatan usahanya sebagai manajemen artis hanya akan dipajaki di negara domisilinya, yakni China. Akan tetapi, dapat juga dipajaki di Indonesia sebagai negara sumber seandainya Ninghua Entertainment Co. melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui suatu BUT. Hal ini diatur dalam Article 7 mengenai Business Profit yang tidak dibahas dalam tulisan ini.

Dari dua contoh di atas, dapat kita lihat bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh secara langsung maupun tidak langsung oleh artis dan olahragawan dari kegiatan profesinya tersebut di suatu negara dapat dipajaki di negara  tersebut. Negara tempat dilakukannya kegiatan artis dan olahragawan diprioritaskan untuk memajaki.

Ketentuan lainnya terkait pemajakan yang diperoleh artis atau olahragawan yakni pemajakan dilakukan tanpa memperhatikan berapa lama artis atau olahragawan tersebut berada di negara tempat kegiatan artis atau olahragawan dilakukan dan tanpa mengetahui apakah terdapat BUT atau fixed base yang dimiliki oleh artis atau olahragawan sehubungan dengan profesinya tersebut. Implikasinya adalah baik seorang aktris dari luar negeri berlakon dalam suatu iklan di Indonesia selama 1 hari, maupun seorang penyanyi asal Malaysia yang melakukan konser di Bali selama 1 minggu, keduanya tetap dipajaki oleh Indonesia sebagai negara tempat dilaksanakannya promosi (iklan) dan konser. Juga tanpa memperhatikan apakah penyanyi asal Malaysia tersebut memiliki sebuah kursus olah vokal di Indonesia, tetap saja penghasilan yang diterimanya dari konser di Bali dikenakan pajak di Indonesia berdasarkan ketentuan Article 17.

Isu selanjutnya yang timbul, seperti apa kesepakatan pihak-pihak terkait terkait pemajakan penghasilan yang diperoleh artis atau olahragawan? Berapa tarifnya?

Kedua negara sebagai pihak-pihak yang terlibat dapat melibatkan diri dalam suatu persetujuan bilateral untuk menghindari terjadinya pemajakan berganda, yakni P3B. P3B dapat dirancang sesuai dengan kebutuhan dan dengan mempertimbangkan ketentuan hukum domestik di setiap negara. Tidak diharuskan untuk menggunakan OECD Model ataupun UN Model secara mentah-mentah. Model-model yang ada hanya sebagai suatu rujukan dan penerapannya bersifat opsional walaupun pada kenyataan kebanyakan negara di dunia mengadopsi ketentuan-ketentuan pada kedua model ini.

Seperti yang telah kita bahas bahwa negara tempat kegiatan artis atau olahragawan dilakukan memiliki hak pemajakan utama. Oleh karena itu, pengenaan pajak terhadap penghasilan artis atau olahragawan ini didasarkan hukum domestik negara tempat kegiatan artis atau olahragawan tersebut. Hal ini termasuk penentuan tarif yang diberlakukan dan mekanisme pemajakannya.

Hukum domestik Indonesia, dalam hal ini UU Pajak Penghasilan, mengatur dalam Pasal 26 ayat (1) huruf d bahwa imbalan sehubungan dengan dilakukannya suatu kegiatan, pekerjaan, maupun jasa oleh WPLN, kecuali BUT, yang dibayarkan oleh SPDN, dipotong pajak dengan tarif 20% dari jumlah bruto yang dibayarkan oleh pihak yang memberikan pembayaran.

Berdasarkan menggunakan informasi yang terdapat pada Contoh 1, penghasilan yang diterima oleh Rose sebesar 700 juta (jumlah bruto) dikenakan pajak di Indonesia dengan mekanisme pemotongan PPh Pasal 26 oleh PT Medan Belawan selaku pemberi penghasilan sebesar 20% dari penghasilan bruto atau sejumlah 140 juta.

Dari Contoh 2, penghasilan yang menjadi bagian Xie Huang dipajaki di Indonesia sejumlah 300 juta (20% x jumlah bruto yang diperoleh Xie Huang sebesar 600 juta). Sedangkan penghasilan yang merupakan bagian Ninghua Entertainment dipajaki oleh otoritas perpajakan China, bukan Indonesia.

Terkait P3B Indonesia dengan negara mitra, terdapat salah satu ayat tambahan dalam Article yang mengatur artis dan olahragawan.

 Sebagai contoh, berikut adalah Article 17 ayat 3 P3B Indonesia – China.

  1. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 2, penghasilan yang diperoleh para artis atau atlet yang merupakan penduduk dari suatu Negara Pihak pada Persetujuan dari kegiatan-kegiatan di Negara Pihak lainnya pada Persetujuan yang dilakukan berdasarkan suatu rencana dari pertukaran kebudayaan antara kedua Negara Pihak pada Persetujuan akan dibebaskan dari pajak di Negara Pihak lainnya tersebut.

Contoh lainnya, Article 17 ayat 3 P3B Indonesia – Amerika Serikat.

  • The provisions of paragraph 1 and 2 shall not apply to remuneration or profits derived from activities exercised in a Contracting State if the visit to that State is substantially supported or sponsored by the other Contracting State and is certified by the competent authority of the sending State to qualify under this provision.

Dari kedua sampel P3B yang dipilih, dapat kita ketahui bahwa ketentuan tambahan yang terdapat pada P3B Indonesia dengan negara mitra mengatur ketentuan mengenai cakupan penghasilan artis atau olahragawan yang diatur dalam ayat 1 dan 2 dibebaskan dari pengenaan pajak di negara tempat kegiatan artis atau olahragawan dilakukan. Pengecualian ini didasarkan dengan tujuan tertentu yang dapat berupa pertukaran budaya antar kedua negara maupun demi kepentingan lain yang didukung dan didanai oleh salah satu atau kedua negara, termasuk oleh otoritas lokal. Dengan kata lain, pelaksanaan kegiatan tersebut merupakan program pemerintah negara pihak.

Isu lain yang mungkin menjadi pertanyaan, bagaimana bila artis atau olahragawan yang berasal dari Indonesia mendapatkan penghasilan yang berhubungan dengan profesinya di negara lain?

Tetap mengacu pada Article 7 P3B Indonesia dengan negara mitra, kini situasinya dibalik. Indonesia sebagai negara residen artis atau olahragawan dan negara mitra sebagai negara tempat dilakukannya kegiatan. Dalam hal ini, penghasilan yang diterima oleh artis atau olahragawan dapat dipajaki di negara mitra tersebut sesuai dengan ketentuan hukum domestik yang berlaku disana.

Bagaimana dengan hak pemajakan Indonesia atas penghasilan tersebut? Mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Penghasilan, WPDN dipajaki atas seluruh penghasilan yang diperolehnya, termasuk dari luar Indonesia.

Apakah ini terjadi pemajakan berganda dalam hal ini? Ya, dapat saja terjadi pemajakan berganda bila dua atau lebih yuridiksi pemajakan memajaki penghasilan yang sama dari subjek dan periode yang sama. Akan tetapi, Indonesia dalam ketentuan hukum pajak domestiknya dan juga dalam P3B dengan negara mitra tentunya telah mempertimbangkan isu ini dan mengatur ketentuan yang dapat mengeliminasinya. Dalam Pasal 24 ayat (1) Pajak Penghasilan diatur bahwa pajak penghasilan yang dibayar di luar Indonesia dapat dijadikan kredit pajak di Indonesia. Lebih lanjut pada ayat (2) diatur bahwa pajak yang dibayar di luar negeri yang dapat dikreditkan tidak boleh lebih besar dari jumlah tertentu dari perhitungan yang telah ditetapkan. Kredit pajak maksimum yang dapat dikreditkan didapat dari pembagian penghasilan dari luar negeri dengan total penghasilan (dari dalam dan luar negeri) lalu dikali dengan total pajak penghasilan yang terutang.

Berikut adalah contoh.

Saut adalah seorang pemusik dari Balige, Sumatera Utara yang diundang bermain musik di negara P dalam sebuah acara musik tahunan. Saut menerima penghasilan secara langsung dari kegiatan tersebut sebesar 200 juta dan dipotong pajak di negara P dengan tarif 15%. Selanjutnya diketahui bahwa selama tahun itu total penghasilan dalam negeri Saut sebesar 500 juta. Berapa besarnya kredit pajak luar negeri?

Total penghasilan Saut (dalam dan luar Indonesia) sebesar 700 juta, dikenakan pajak penghasilan dengan tarif progresif sebesar 155 juta. Penghasilan Saut dari negara X telah dipotong sebesar 30 juta (15% x 200 juta). Pajak penghasilan atas penghasilan di negara X sesuai dengan UU Pajak Penghasilan sebesar 44,28 juta [(200 juta : 700 juta) x 155 juta]. Selanjutnya, kita pilih jumlah terendah antara pajak yang dipotong di negara X dengan berdasarkan penghitungan tertentu. Pajak penghasilan sejumlah 30 juta akan menjadi kredit pajak Pasal 24 (Kredit Pajak Luar Negeri) dan nantinya mengurangi pajak yang terutang di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun