Jika kamu bertanya siapa pendongeng paling ulung dalam sejarah hidup saya, jawabannya: almarhum ayah saya!
Saking hebatnya almarhum ayah bercerita di kala saya masih duduk di bangku sekolah dasar, manakala saya hendak beranjak tidur, saya dibuatnya terisal-isak!
Itu terjadi ketika almarhum ayah saya bercerita tentang "Malin Kundang" versi Sunda, "Dalem Boncel", namanya.
Kalau "Malin Kundang" hanya berupa legenda di mana anak yang durhaka kepada orangtuanya dikutuk menjadi batu, tidak demikian dengan "Dalem Boncel". Ia bukan sekadar legenda atau dongeng, melainkan biografi seseorang yang pernah hidup di di Garut, Jawa Barat (setting tempat) dan terjadi pada masa kolonial dulu (setting waktu).
Bayangkan, saya yang seharusnya beranjak tidur, menangis terisak-isak memikirkan nasib kedua orangtua Boncel yang ia usir sedemikian kejam, hanya karena malu kepada istrinya, saat kedua orangtua yang sudah renta itu menemui Boncel yang tidak pulang kembali ke kampungnya menemui orangtuanya.
Cerita dibuka ketika Si Boncel yang kala itu tidak bersekolah, kira-kira berusia 12 tahun, pamit kepada emak-bapaknya untuk mengembara ke kota Garut sekarang, yang konon diperintah oleh Bupati yang baik dan bijak.
Kedua orangtuanya tentu saja berkeberatan atas niat anak semata wayangnya itu, tetapi tekad Si Boncel sangat kuat untuk mengembara, meninggalkan Kandangwesi kampung halamannya.
Maka pada suatu pagi yang masih buta, Mak dan Pak Boncel melepas anaknya pergi dengan dibekali rebus ketela pohon dan lemper seadanya, diiringi do'a dan derai air mata.
"Hati-hati kau di kota, Ocen," pesan bapaknya.
"Segeralah kembali pulang manakala kau sudah berhasil jadi orang, Ocen," pesan emaknya kemudian.
Si Boncel pun pergi, masih diiringi tangis pilu Mak dan Pak Boncel.
Belum ada kendaraan saat itu, Boncel pergi dengan berjalan kaki, mengandalkan jalan setapak dengan harapan jalan setapak itu bertemu jalan yang lebih besar, bertemu dengan jalan yang lebih besar lagi, sampai bertemu jalan raya.
Akhirnya, sampailah Si Boncel di Kandangwesi setelah menempuh perjalanan tiga hari tiga malam lamanya. Ia langsung mencari di mana Sang Bupati berkantor. Tentu saja di depan pintu gerbang kabupatian, ia dicegat upas berwajah garang.
Si Boncel mengutarakan niatnya, tetapi upas malah menghardik, "Ini bukan tempat buatmu, kau tak pantas ada di sini, pakaianmu lusuh seperti bekas codot meludah, cepat kau pergi dari sini sebelum aku murka!"
Si Boncel yang lugu itu bergeming, ia tetap bersikukuh ingin menemui Bupati. Upas lainnya coba menengahi dan berbisik pada Si Upas garang. "Sebaiknya pertemukan saja anak ini dengan Tuan Bupati, jangan-jangan beliau sedang menguji kita melalui kehadiran anak kumal ini!" bisiknya.
Si Upas Garang keder juga. Akhirnya ia setengah mendorong Si Boncel agar lekas masuk halaman kabupatian. Di serambi, tampak Bupati sedang bercengkerama dengan anaknya yang ternyata sepantaran dengan Si Boncel.
Si Upas mengutarakan maksudnya, "Maafkan hamba, Tuan Bupati, ini ada anak kumal entah dari kampung mana bermaksud menemui Tuan, katanya hendak mencari pekerjaan di sini!"
Mata bupati langsung melirik anak kampung yang kepalanya tertunduk, bajunya lusuh dan perutnya keroncongan karena belum terisi nasi. "Apa yang bisa kau lakukan di sini?" tanya bupati sambil tangannya bersedekap di dada. Angkuh.
"Sahaya dengar Tuan Bupati punya banyak kuda peliharaan, sahaya bisa menyabit rumput untuk makanan kuda-kuda Tuan itu," jawab Si Boncel.
"Benarkah?" Bupati ragu, memperlihatkan senyum sinisnya.
"Ya, Tuan, pekerjaan sehari-hari sahaya 'ngarit', yaitu menyabit rumput untuk ternak kuda milik Pak Haji Gofur di kampung sahaya, Kandangwesi, nun jauh di sana."
"Karena kau sudah terbiasa mengurus kuda, baiklah... mulai sekarang kau bekerja sebagai tukang ngarit, urus kuda-kudaku, ya!" kata Bupati kemudian, "Ngomong-ngomong, apa namamu?"
"Boncel, Tuan."
"Boncel, mulai hari ini kamu urus juga keperluan anakku, Asep Onon, setidak-tidaknya menjadi teman bermainnya."
"Baik, Tuan!"
Waktu melesat bagai anak panah yang terlepas dari busurnya. Karena Boncel rajin bekerja, dengan cepat ia memperoleh simpati Bupati, terlebih-lebih, Asep Onon senang karena mendapat teman bermain. Ia senang bukan kepalang. Ia tidak lagi kesepian dan kalau ada anak lain mengganggunya, Si Boncel tampil membela.
Asep Onon mendatangkan guru membaca dan menulis ke rumah di lingkungan kabupatian pada petang hari, diam-diam Boncel sehabis menyabit rumput dan mengurus kuda di istal, mengintip lubang jendela dan melihat bagaimana huruf-huruf itu dibunyikan oleh guru dan diikuti Asep Onon. Pada masa itu, hanya anak pejabat setingkat bupati saja yang boleh bersekolah.
Lama-lama Boncel pintar membaca. Dan ketika Asep Onon mengetahui bahwa teman bermainnya itu bisa membaca, ia kaget bukan main dan langsung lapor kepada ayahandanya. Tidak lama kemudian Bupati memanggil Boncel ke ruangannya. Boncel tentu saja takut bukan kepalang, ia berpikir, boleh jadi Tuan Bupati bakal mengusirnya karena ia sudah lancang.
"Kudengar kau bisa membaca dan menulis, Boncel?" Boncel ketakutan, celananya basah. Bupati melanjutkan, "Ayo jawab, apa benar kamu bisa membaca dan menulis!?"
"Emmh... sedikit-sedikit sahaya bisa membaca dan menulis, Tuan!"
"Bagus! Siapa yang mengajarimu membaca dan menulis, heh?"
"Guru Asep Onon, Tuan Bupati!"
"Bukankah hanya Asep Onon yang belajar sendiri dengan guru pribadinya itu, Boncel?"
"Maaf, Tuan Bupati, sahaya sudah berbuat lancang, diam-siam saya mengintip dari balik jendela saat guru itu mengajari Asep Onon membaca dan menulis."
"Menggunakan alat apa saat saat kau belajar menulis, sedang sabak hanya Asep Onon yang punya?
"Maaf, Tuan Bupati, sahaya menggunakan lidi sebagai alat tulisnya, sabaknya tanah di samping istal," jawab Boncel. "Kadang pula sahaya menyusun huruf-huruf menggunakan rumput sisa makan kuda-kuda."
Sejenak hening mendaulat suasana.
Mendengar jawaban Boncel yang polos itu, Bupati menarik napas panjang. Tidak lama kemudian. "Boncel," katanya. "Mulai hari ini kau tidak usah menyabit rumput lagi, tidak usah pula kau mengurus kuda-kudaku lagi!"
"Maksud Tuan, sahaya diusir, begitu?"
Sambil mendekat dan menepuk pundak Boncel, Bupati berkata, "Tidak. Kau anak ulet. Mulai hari ini, kau kuangkat menjadi jurutulis, kebetulan jurutulis lama akan pensiun...."
- Duh, Kang, aku kok keasyikan ya mendengar dongeng Si Boncel itu. Apakah ceritanya masih panjang?
+ Masih, itu baru tengah-tengah.
- Kang, cepet dong ceritain kelanjutannya sampai selesai!
+ Itu sih gampang, besok cerita 'Dalem Boncel' insya Allah saya lanjutkan. Tapi, tahukah kamu maksud saya bercerita tentang Si Boncel dalam kaitannya dengan menulis biografi?
- Iya ya aku hampir lupa padahal aku lagi belajar nulis biografi... jadi, apa maksudnya?
+ Bahwa penulis biografi harus menguasai teknik bercerita, sebab semua unsur-unsur cerita seperti karakter, plot, setting, konflik, resolusi harus dimainkan secara dramatis pada penulisan biografi.
- Tetapi, bukankah cerita Si Boncel itu sekadar cerita rakyat atau cerita legenda yang belum tentu ada?
+ Bukan persoalan cerita rakyat atau cerita legendanya, tetapi bagaimana cara saya menceritakannya, paham?
- Iya sih, memang memikat, Kang...
+ Nah, bedanya yang kamu ceritakan nanti adalah perjalanan hidup seseorang dalam bentuk tulisan. Paham, Dek?
- Kang.... aku pengen segera denger kelanjutan cerita Si Boncel itu!
+ Sabar, Dek, masih ada hari esok.... (Bersambung)
PEPIH NUGRAHA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H