"Maaf, Tuan Bupati, sahaya sudah berbuat lancang, diam-siam saya mengintip dari balik jendela saat guru itu mengajari Asep Onon membaca dan menulis."
"Menggunakan alat apa saat saat kau belajar menulis, sedang sabak hanya Asep Onon yang punya?
"Maaf, Tuan Bupati, sahaya menggunakan lidi sebagai alat tulisnya, sabaknya tanah di samping istal," jawab Boncel. "Kadang pula sahaya menyusun huruf-huruf menggunakan rumput sisa makan kuda-kuda."
Sejenak hening mendaulat suasana.
Mendengar jawaban Boncel yang polos itu, Bupati menarik napas panjang. Tidak lama kemudian. "Boncel," katanya. "Mulai hari ini kau tidak usah menyabit rumput lagi, tidak usah pula kau mengurus kuda-kudaku lagi!"
"Maksud Tuan, sahaya diusir, begitu?"
Sambil mendekat dan menepuk pundak Boncel, Bupati berkata, "Tidak. Kau anak ulet. Mulai hari ini, kau kuangkat menjadi jurutulis, kebetulan jurutulis lama akan pensiun...."
- Duh, Kang, aku kok keasyikan ya mendengar dongeng Si Boncel itu. Apakah ceritanya masih panjang?
+ Masih, itu baru tengah-tengah.
- Kang, cepet dong ceritain kelanjutannya sampai selesai!
+ Itu sih gampang, besok cerita 'Dalem Boncel' insya Allah saya lanjutkan. Tapi, tahukah kamu maksud saya bercerita tentang Si Boncel dalam kaitannya dengan menulis biografi?