"Boncel, Tuan."
"Boncel, mulai hari ini kamu urus juga keperluan anakku, Asep Onon, setidak-tidaknya menjadi teman bermainnya."
"Baik, Tuan!"
Waktu melesat bagai anak panah yang terlepas dari busurnya. Karena Boncel rajin bekerja, dengan cepat ia memperoleh simpati Bupati, terlebih-lebih, Asep Onon senang karena mendapat teman bermain. Ia senang bukan kepalang. Ia tidak lagi kesepian dan kalau ada anak lain mengganggunya, Si Boncel tampil membela.
Asep Onon mendatangkan guru membaca dan menulis ke rumah di lingkungan kabupatian pada petang hari, diam-diam Boncel sehabis menyabit rumput dan mengurus kuda di istal, mengintip lubang jendela dan melihat bagaimana huruf-huruf itu dibunyikan oleh guru dan diikuti Asep Onon. Pada masa itu, hanya anak pejabat setingkat bupati saja yang boleh bersekolah.
Lama-lama Boncel pintar membaca. Dan ketika Asep Onon mengetahui bahwa teman bermainnya itu bisa membaca, ia kaget bukan main dan langsung lapor kepada ayahandanya. Tidak lama kemudian Bupati memanggil Boncel ke ruangannya. Boncel tentu saja takut bukan kepalang, ia berpikir, boleh jadi Tuan Bupati bakal mengusirnya karena ia sudah lancang.
"Kudengar kau bisa membaca dan menulis, Boncel?" Boncel ketakutan, celananya basah. Bupati melanjutkan, "Ayo jawab, apa benar kamu bisa membaca dan menulis!?"
"Emmh... sedikit-sedikit sahaya bisa membaca dan menulis, Tuan!"
"Bagus! Siapa yang mengajarimu membaca dan menulis, heh?"
"Guru Asep Onon, Tuan Bupati!"
"Bukankah hanya Asep Onon yang belajar sendiri dengan guru pribadinya itu, Boncel?"