Lembar-lembarmu hanya penuh tulisan tentang Al. Jangan marah, ya?
Sudah tetap hatiku, Dear, dalam suratku yang terakhir ini, aku tetap memilih untuk berpisah. Biar sajalah kutelan semua kemarahan Al. Biar saja cintaku kepadanya kusimpan di altar hati terdalam sebagai kenangan yang begitu indah. Aku menyalakan lilin cinta dalam hatiku, dan aku pula yang meniupnya. Barangkali kejam untuk Al. Tapi aku yakin, kelak jika ia sembuh dari rasa sakitnya, ia akan berterima kasih kepadaku karena telah menyelamatkan keyakinan dan ketaatannya kepada Tuhannya.
Aku juga sudah menulis surat khusus untuk ibuku, menjelaskan alasanku mengapa aku tak bisa menjadi istri Al. Ibu memang mualaf, tapi aku yakin, beliau dapat memahami dan tak akan menentangku. Kakak-kakakku pun akan mengerti walau mungkin juga agak kecewa karena tak jadi punya adik ipar perwira ABRI.
Dan jika Al tak mau menganggapku sebagai saudara, barangkali lebih baik jika kami berteman saja. Bersahabat saja.
Dan aku ingat kata mutiara yang pernah kubaca, persahabatan jauh dari saling menyakiti dibanding sepasang kekasih yang rentan untuk saling menyakiti.
Seperti kau, Dear, sahabat sejatiku.
Â
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H