Mohon tunggu...
Abdul Rahmat
Abdul Rahmat Mohon Tunggu... Guru - Guru

Suka dengan puisi dan novel. Menulis karena sudah jatuh cinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rantai Kebaikan

13 Februari 2023   10:48 Diperbarui: 13 Februari 2023   10:54 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pancasila. Kata yang menggambarkan identitas sebuah bangsa yang hidup  di tujuh belas ribu lebih pulau indah dengan sumber daya melimpah; bangsa  Indonesia. Pancasila adalah janji para pendahulu yang diikrarkan karena kesamaan  nasib; dijajah di tanah sendiri. Janji yang menjadikan mereka bersatu, merebut hak  untuk hidup bebas dan merdeka. Janji itu juga hingga saat ini diteruskan oleh anak  cucu mereka, sebagai pemersatu bangsa. Bermacam keyakinan, beragam suku dan  budaya, mampu hidup berdampingan dan saling membantu karena Pancasila yang  sudah mendarah daging. Menjadi contoh bagi dunia, bahwa 'perbedaan' di antara  mereka bukan sebab saling menentang, tetapi alasan mereka untuk hidup  berdampingan. 

"Dalam menghadapi semua ujian tersebut, kita bersyukur bahwa Pancasila  tetap menjadi bintang penjuru untuk menggerakkan kita. Menggerakkan persatuan  kita dalam mengatasi semua tantangan. Menggerakkan rasa kepedulian kita untuk  saling berbagi. Memperkokoh persaudaraan dan kegotong royongan kita untuk  meringankan beban seluruh anak negeri. Dan menumbuhkan daya juang kita  dalam mengatasi setiap kesulitan dan tantangan yang kita hadapi," suara Presiden  Jokowi yang terdengar dari sebuah benda berbentuk kotak saat menyampaikan  pidato peringatan Hari Lahir Pancasila. 

Rahman menambah volume televisi agar bisa lebih jelas mendengar pidato  dari Presiden Republik Indonesia itu. Ia mendengarkan dengan saksama setiap  pesan yang diamanatkan Bapak Jokowi. Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini  memang berbeda, karena di tengah-tengah pandemi virus covid-19. Rahman sangat  setuju, di masa seperti ini setiap masyarakat harus saling membantu dan menjaga  persatuan bangsa. Karena dengan bersatu, bangsa ini akan bisa melewati setiap  ujian yang datang silih berganti. 

Di pikiran Rahman, bukan saatnya saling menyalahkan. Hampir semua  negara menghadapi permasalahan ini. Dan pemerintah Indonesia sudah melakukan  yang terbaik dalam menekan penyebaran virus covid-19. Demi menyelamatkan 

bangsa ini dari bahaya virus yang menyerang sistem pernapasan. Dan rakyat pun  harus saling membantu memerangi, dengan menjalankan setiap protokol kesehatan  yang disampaikan pemerintah. Dengan sikap disiplin masyarakat, akan sangat  membantu pejuang-pejuang kesehatan di garis terdepan. Semakin tertib dan disiplin  masyarakat, wabah ini akan berakhir dengan cepat. 

"Serius banget kamu, Man," suara seorang pemuda membuyarkan lamunan  Rahman. Johan; teman satu rumah Rahman itu sedang berjalan ke sebuah kursi  kayu. Duduk di atasnya, sembari membawa sebuah cangkir berisi kopi panas. 

"Isi pidato Pak Jokowi sangat berguna nih untuk bahan skripsiku," balas  mahasiswa semester akhir itu. Masih serius mencatat setiap poin penting yang  ditangkap telinganya.  

"Enggak usah mikirin skripsian dulu, Man. Kuliah juga masih belum bisa  tatap muka, loh. Santai dulu lah di rumah," Johan menyeruput kopi yang  dibawanya. Setelah air berwarna hitam itu melewati kerongkongannya, bunyi 'Ah'  menjadi pertanda ia sangat menikmati minuman itu. 

"Situasi sekarang tidak bisa jadi alasan dong untuk santai-santai aja. Ingat,  tugas yang semakin ditunda-tunda akan semakin banyak. Dan aku mau cepat lulus,  hehe." 

"Terserah kamu lah. Kalau aku sih enggak mau jadi mahasiswa yang wisuda  lewat daring. Jadi, lebih baik nunggu semua normal." 

Rahman menggelengkan kepala mendengar ucapan sahabatnya itu. Segala  keterbatasan sekarang bukan lah alasan untuk bermalas-malasan. Kita harus tetap  beraktivitas. Tentunya dengan menjalankan protokol kesehatan. Memakai masker,  menjaga jarak, tidak bersalaman atau bersentuhan, dan selalu mencuci tangan  dengan sabun hingga bersih. Mencoba masuk di sebuah tatanan baru yang berbeda  dari sebelumnya, atau istilah yang sekarang sering kita dengar; new normal. 

Terdengar suara pintu diketuk. Johan meletakkan cangkirnya di atas meja  dan berjalan ke sumber suara. Ia memutar ke bawah knop pintu dan menarik ke 

arahnya. Di hadapan Johan sudah berdiri seorang pria paruh baya yang tidak  dikenal. Pria ini membawa sesuatu di dalam kantong yang dipegangnya. 

"Assalamu'alaikum," ucap lelaki itu pelan seraya menunduk sedikit. 

"Wa'alaikumussalam. Siapa ya?" Johan membalas salam dan langsung  bertanya pada lelaki itu. 

"Permisi Mas. Nama saya Darman. Saya baru tinggal di belakang rumah  Mas. Maaf kalau mengganggu malam-malam begini. Saya ingin minta tolong,  Mas," suara lelaki bernama Darman itu semakin lirih. 

"Minta tolong apa, Pak?" 

"Saya kan seorang penjahit, Mas. Karena kondisi saat ini, saya tidak dapat  pesanan menjahit lagi. Dan saya harus memberi makan istri dan dua anak saya.  Saya sudah berusaha untuk mencari pekerjaan. Namun, sampai sekarang saya  masih belum dapat, Mas." 

"Langsung ke intinya saja, Pak," suara Johan mulai sedikit ketus. Ia sudah  bisa tahu maksud dari Darman. 

"Saya ingin menjual mesin jahit ini, Mas. Untuk biaya hidup keluarga saya.  Barangkali Mas mau membelinya." 

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Saya ini cuma mahasiswa. Tidak punya uang.  Ke tempat lain saja." 

"Tetapi Mas. Saya bingung harus kemana lagi." 

"Ya usaha dong Pak cari bantuan di tempat lain. Kalau di sini, enggak bisa." 

"Tolong Mas..." belum selesai Darman berkata, pintu sudah ditutup  kembali oleh Johan. Suara cukup keras dari pintu yang menutup itu didengar  Rahman. Pemuda itu berjalan ke arah pintu. 

"Kenapa, Jo? Siapa tadi?" tanya Rahman penasaran.

"Ada laki-laki yang datang nawarin mesin jahit untuk kita beli. Namanya  Darman. Katanya buat biaya keluarga. Dia kira kita ini orang kaya kali yang punya  uang banyak. Kita cuma mahasiswa perantauan," jawab Johan kesal. 

Rahman langsung membuka kembali pintu rumah. Darman tidak terlihat  lagi di depan pintu. Rahman melangkah keluar, sembari menengok ke kanan dan  kiri. Hingga pandangannya menemukan lelaki itu yang sudah berjalan beberapa  puluh meter. 

"Pak, tunggu dulu!" teriak Rahman memanggil Darman. Darman menoleh  ke belakang. Ia lihat Rahman sedang melambai kepadanya. Darman berjalan  kembali mendekat. 

"Mas memanggil saya?" 

"Iya, Pak. Saya Rahman. Bapak lagi butuh bantuan?" 

Darman kembali menceritakan keadaan yang dialami sekarang. Kedua mata  lelaki itu berkaca-kaca, seperti tengah menyimpan beban kesedihan. Rahman  mendengarkan dengan antusias. Cerita Darman membuat hati pemuda itu merasa  iba. Rahman teringat pesan yang disampaikan oleh Pak Jokowi tadi. Bahwa  sekarang, adalah saat yang tepat untuk saling membantu dan menguatkan. 

"Bapak tunggu di sini ya. Saya masuk dulu." 

"Baik, Mas."  

Rahman berlari kecil ke dalam rumah. Johan yang berdiri di depan pintu  menampilkan wajah heran. Tak lama, Rahman terlihat lagi seraya membawa  sesuatu di tangannya.  

"Pak, ini ada beras, telur, dan sembako yang lain. Semoga bisa sedikit  membantu Bapak dan keluarga," ucap Rahman lembut, menyerahkan kantong yang  cukup besar. Darman menyambut pemberian Rahman. "Dan ini juga ada sedikit  uang, semoga bisa membantu," lanjut Rahman memberikan beberapa lembar uang  seratus ribu.

Kristal bening yang sedari tadi tercipta di sudut mata Darman, mulai  menderai melewati pipi. Ia sudah tak mampu menahannya lagi. Di mata lelaki  berumur itu, Rahman adalah rasa kasih dan sayang yang dikirim Tuhan untuk  membantunya. 

"Bapak tidak usah menjual mesin jahit ini. Mesin jahit Bapak adalah alat  untuk mencari rezeki. Kalau dijual, Bapak tidak bisa menjahit nanti," ucap Rahman. 

"Terima kasih banyak, Mas. Semoga Allah membalas semua kebaikan Mas.  Hanya doa ini yang bisa saya berikan sebagai balasan," ucap Darman dengan suara  isak tangis. Rahman mencoba menenangkan. 

"Amin. Sudah tugas kita sebagai manusia untuk saling membantu Pak." 

Setelah berbalas salam dan doa kebaikan, Darman pamit pulang. Dengan  rasa bahagia yang teramat. Hal yang sama juga dirasakan Rahman. Sebuah rasa  bahagia yang tidak mampu diungkapkan dan diukur oleh apa pun. 

"Itu bahan makanan kita loh, Man. Untuk menyambung hidup kita di masa  sulit ini. Dan kamu kasih uang ke bapak itu juga. Kita orang yang membutuhkan  juga, Man!" protes Johan. 

"Jo, enggak ada salahnya kan kita membantu orang. Dan aku juga enggak  memberi semuanya kok. Tenang, kita masih bisa hidup," Rahman terkekeh. 

"Iya juga sih. Tetapi hidup kita gimana nanti kalau belum dapat kiriman dari  orang tua?" 

"Jangan ragu untuk berbuat baik. Insyaallah dengan berbuat baik, kita juga  akan mendapat kebaikan. Sudah, enggak baik kalau ini dibahas terus. Ayo masuk,"  ucap Rahman menarik lengan Johan. 

"Iya deh, Man," Johan melangkah lemas masuk ke dalam rumah.  

Sinar matahari yang mulai muncul dari ufuk timur menerangi kembali bumi.  Menyapa kehidupan yang masih berbeda. Virus covid-19 masih mengintai manusia  yang mulai berkegiatan di luar. Bersosialisasi dengan menjaga jarak dan membatasi 

kontak fisik. Hampir di setiap wajah ditutupi masker. Karena ada rasa was-was yang  selalu setia jadi teman dalam setiap langkah. 

Johan duduk di atas motornya. Pagi ini dia ada kegiatan yang mengharuskan  keluar rumah. Setelah memanaskan mesin motor, ia mulai memutar gas motor.  Perlahan roda kendaraan itu berputar. Motor mulai bergerak ke depan. Baru  beberapa meter, mendadak Johan menekan rem, hingga membuat badannya  condong ke depan.  

"Rahman! Man! Sini!" teriak Johan. Tak lama, yang dipanggil datang  menghampiri. 

"Kenapa? Masih pagi udah teriak-teriak," balas Rahman. 

"Lihat nih! Gimana mau keluar rumah?!" Johan menunjuk ke depan pagar  rumah. Jembatan kecil di depan rumah mereka ambruk. Antara rumah dan jalanan  terdapat parit yang cukup lebar, sehingga setiap rumah di sekitar situ pasti dibuat  jembatan kecil. Karena jembatan di depan rumah mereka ambruk, Johan tidak dapat  melewatinya dengan motor. 

"Waduh, kenapa bisa ambruk begitu?" tanya Rahman penasaran. "Aku enggak tahu lah!" jawab Johan kesal. 

"Aku enggak mengerti cara baikin ini. Kalau kamu?" 

"Kamu saja tidak bisa, apalagi aku, Man!" 

Darman kebetulan lewat di depan rumah Rahman. Dia menghentikan  langkahnya. Memperhatikan dua orang pemuda yang tampak kebingungan.  Darman putuskan untuk berjalan mendekati. 

"Ada apa Mas Rahman?" tanya Darman. Keduanya menoleh pada Darman. 

"Ini pak. Jembatan depan rumah rusak. Jadi enggak bisa dilewati dengan  sepeda motor," jawab Rahman. 

"Oh, ya sudah. Saya bantu memperbaiki ya Mas."

"Tidak usah Pak. Nanti merepotkan Bapak," tolak Rahman halus. 

"Ah, tidak lah Mas. Kan Mas Rahman sendiri yang bilang kalau kita harus  saling membantu," ujar Darman sembari tersenyum. 

Darman membantu Rahman dan Johan membangun kembali jembatan kecil  di depan rumah. Setelah mempersiapkan alat dan bahan bangunan, Darman mulai  mengerjakan. Tak lama, beberapa tetangga laki-laki datang menghampiri. Mereka  ikut membantu memperbaiki jembatan. Gotong royong yang sudah menjadi ciri  khas masyarakat Indonesia. 

"Akhirnya aku sadar, Man," ucap Johan. 

"Sadar apa, Johan?" tanya Rahman. 

"Aku sadar kalau kita harus selalu membantu orang lain. Gotong royong  menolong orang lain itu sangat penting. Karena, kemarin kita yang membantu.  Namun, hari ini kita yang butuh pertolongan." 

"Akhirnya kamu sadar juga ya, hehe. Inilah pemandangan paling indah  kulihat dari bangsa Indonesia. Yaitu melihat gotong royong yang sudah menjadi  budaya bangsa kita. Dengan ikhlas menolong tanpa melihat suku, ras, dan agama.  Inilah bukti nyata Pancasila yang mengalir dalam aliran darah kita. Pancasila yang  selalu mempersatukan, bukan memecah belah. Aku bangga punya Pancasila," ucap  Rahman tersenyum. 

Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno pernah berucap, jika inti  dari Pancasila adalah gotong royong. Gotong royong menjadi budaya bangsa  Indonesia yang sudah mengakar sejak zaman dulu. Dengan gotong royong, kita  mampu mengatasi setiap permasalahan. Dalam kehidupan berbangsa dan  bernegara, Pancasila sudah menjadi dasar dari setiap perbuatan. Sangat relevan  dengan situasi yang kita hadapi saat ini. Di masa pandemi virus covid-19 ini, bangsa  Indonesia saling bahu membahu mengatasi ragam kesulitan dengan rasa peduli  yang masih mendominasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun