Aku masih tidak percaya ibu akan meninggalkanku berdua dengan adiku. Ini semua salahku yang tidak bisa mencari uang lebih. Bukan. Ini bukan salahku, ini salah si Gori yang tidak menaikan upah di saat musim panen ikan. Ya, dia yang salah.
....
Hari masih pagi, burung-burung masih enggan untuk meninggalkan tempat peraduannya. Tetesan air embun menetes dari dedaunan. Air laut masih pasang, belum menunjukan tanda-tanda akan surut. Di pemakaman desa pesisir Mangur telah tersedia satu lubang 1x2 meter yang sudah digali. Disiapkan untuk ibu Darman. Kurung batang diangkat oleh empat pemuda, salah satunya Darman, pengiringnya tidak terlalu ramai, hanya tetangga sekitar dan dipimpin oleh pak Haji. Jarak dari rumah Darman ke pemakaman tidak terlalu jauh. 10 menit berjalan kaki. Prosesi pemakaman dilakukan tidak lebih dari 30 menit. Semua pelayat sudah pulang, menyisakan Darman dan Zulfah.
“Kang, aku takut kang,” ujar Zulfah, matanya sembab. Menangis semalaman.
“Tidak usah takut, saya akan merawatmu,”
“Iya kang, aku takut orang-orang itu akan kembali lagi ke rumah.”
“orang yang mana?” Darman tertegun.
“Orang yang kemarin malam datang ke rumah dan mengacak-ngacak rumah kang. Mereka marah-marah ke ibu, mereka nagih-nagih uang,” Zulfah kembali menangis.
“Saya ga ngerti, maksudnya gimana?”
“Iya kang, jadi sebelum akang pulang kemarin malam, ada empat orang datang ke rumah kita. Marah-marah sambil nagih uang ke ibu, saya udah bilang ibu lagi sakit. Mereka malah makin menjadi-jadi, mengacak-ngacak rumah, mencari uang dan mengancam akan menyita rumah kita.”
“Siapa mereka? Untuk apa mereka menagih uang ke ibu?” Darman semakin bingung.
“Mereka bilang kalau mereka itu utusannya Dablek, disuruh nagih utang ke ibu”
“Kurang ajar! Ini pasti ada sangkut pautnya dengan si Gori,” Darman berdiri. “Ayo kita pulang.”
Zulfah segera berdiri, menyusul Darman yang sudah berjalan terlebih dahulu. Dalam hatinya, Zulfah merasakan ketakutan yang luar biasa. Ia menyaksikan ibunya dibentak-bentak, rumahnya diacak-acak, bahkan ia hampir dinodai jika saja tetangganya tidak segera datang ke rumahnya karena mendengar ada keributan. Dalam perjalanan menuju rumah, Darman mengumpat dan menghina-hina Pak Gori. Rasa kesalnya pada Pak Gori sudah sampai ke ubun-ubun.
.......
“Zulfah, kamu tunggu di rumah, jika sampai malam saya belum pulang, kamu menginap di rumah teman sekolahmu.” Ujar Darman ketika sampai di depan rumah.
“Akang mau kemana? Saya ga mau ditinggal sendiri kang, saya takut.” Zulfah menghambur memeluk Darman. Pelukannya keras.
“Kamu tenang saja, doakan semoga masalah ini cepat beres,” Darman melepaskan pelukan adiknya. Ia langsung pergi.
Pikiran Darman bercabang, sebenarnya ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Di satu sisi ia masih bingung, apakah ibunya memang benar-benar punya hutang? Kalau memang begitu, mengapa ibunya tidak memberi tahu Darman? Di sisi lain Darman masih tenggelam dalam kesedihan. Kecewa karena tidak mampu membawa ibunya berobat. Langkah kaki Darman bergerak cepat menuju warung tempat dimana Dablek biasanya berkumpul bersama anak buahnya. Darman membutuhkan sebuah penjelasan.
Warung tempat biasa Dablek dan anak buahnya berkumpul berada di pintu masuk hutan, di bawah pohon besar. Dablek sedang ditemani oleh dua anak buahnya. Merokok dan berjudi. Dengan perasaan takut, Darman menghampiri Dablek, raut wajahnya tegas, walaupun tidak bisa ditutupi bahwa ia sedang bersedih. “Permisi kang Dablek, saya ingin bicara,” ujar Darman dengan sopan. Dablek tidak menghiraukan, ia masih asik tertawa bersama anak buahnya. Darman mengulangi kata-katanya, “Kang Dablek, bisa berbicara berdua!” Ujar Darman dengan tegas. Dablek berdiri, mukanya masam. Dablek mengajak Darman berjalan keluar warung. Tak lupa ia menyelipkan parang di sisinya. Parang yang selalu ia bawa kemana-mana.
“Mau apa kamu ke sini?”
“Saya ingin memastikan, saya dengar kalau kemarin malam ada anak buah kang Dablek yang datang ke rumah saya,”
“Ia, anak buah saya menagih hutang ibumu.”
“Hutang ke Pak Gori?”
“Iyalah, memang ke siapa lagi,” nada bicara Dablek menyindir.
Darman terdiam. Ia tidak habis pikir, mengapa ibunya harus meminjam duit ke si lintah darat itu. “Kenapa? Kamu mau bayar hutang-hutang ibumu?” Ujar Dablek. Lagi-lagi dengan nada menyindir.
“Berapa hutang ibuku?
“Seharga rumahmu yang butut itu,” Dablek tertawa. “Saya dengar ibumu sudah meninggal ya? Maka sekarang kamu yang harus melunasi hutang-hutang ibumu.”
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dalam warung. Mereka berdua langsung mengalihkan pandangannya ke warung. Dablek dengan sigap berlari menuju warung. Dua anak buahnya sudah terkapar. Mati bersimbah darah. Dablek diam mematung memperhatikan mayat kedua anak buahnya, seketika dari belakang tengkuk Dablek sabetan parang mengampirinya, dengan sigap Dablek menghindar. “Siapa kalian?” Ujar Dablek sambil mengeluarkan parangnya. Posisi siap untuk bertarung. Di depannya sudah berdiri lima perompak laut yang semuanya memegang parang. Tanpa ada jawaban, perompak laut langsung menyerang Dablek secara bersamaan. Darman berdiri menjauh, ia teringat bahwa itu adalah kawanan perompak laut yang pernah menyerangnya.
Tidak ada dua menit, Dablek sudah terkapar dengan luka sabetan di sekujur tubuhnya. Ia mati. Sehebat-hebatnya Dablek berkelahi, perompak laut itu nampak lebih jago. Apalagi satu lawan lima. Pertarungan yang sangat tidak seimbang. Namun, memang tujuan dari perompak laut itu adalah menghabisi Dablek. Bukan untuk bercakap-cakap atau mencari penjelasan.
“Darman, kamu ikut kami. Ketua kami ingin bertemu denganmu,” ujar salah seorang perompak menghampiri Darman.
“Untuk apa? Saya tidak mengganggu Murni, hari ini saya belum bertemu Murni,” ujar Darman.
“Sudah ikut saja, biar nanti ketua kami yang menjelaskan.” Darman langsung berlari, ia takut. Tapi percuma. Pukulan dari ujung gagang parang keburu menghampiri tengkuknya, Darman terkapar pingsan.
............
Aku terbangun di tengah hutan. Tempat ini asing bagiku. Nampaknya ini adalah markas persembunyian para perompak laut. Ada dua bangunan rumah, yang dibangun dengan menggunakan batang-batang pohon besar. Banyak peti-peti barang di depan bangunan tersebut. Menurut sepengelihatanku ada sekitar 50 orang yang ada di sana. Semuanya laki-laki. Aku terduduk di kursi dengan kedua tanganku diikat ke belakang. Seorang bapak tua menggerakan tangannya seperti menyuruh orang disampingku untuk berbuat sesuatu. Orang disampingku mengeluarkan parangnya, aku kaget bukan main. Ia tebaskan parangnya. Sekali tebasan dan tali ikatan di tanganku terlepas. Aku lega, aku kira ia akan membunuhku.
“Maaf saya harus membawamu seperti ini,” Ujar si bapak tua. “Kenalkan, namaku Darjam,” ia menyalamiku. Ia adalah ketua kawanan perompak laut. Umurnya sekitar 50 tahunan, aura kepemimpinan sangat terlihat dari wajahnya. Ia tidak menyeramkan, sifatnya sopan, tapi aku yakin, dibalik itu kekejamannya lebih dari segalanya.
“Ada urusan apa dengan saya?”
“Kang Darman, maafkan kesalahpahaman saya yang sebelumnya. Murni sudah meninggal,” wajah Darjam beringsut sedih, walaupun tidak ada air mata yang keluar dari matanya.
“Meninggal bagaimana? Kemarin saya masih bertemu dengannya. Tadi pagi saya memakamkan ibu saya dan hanya ada satu lubang kuburan. Tidak ada pemakaman Murni. Apa bapak yang membunuh Murni? Lalu mengapa tadi anak buah bapak membunuh Dablek dan anakbunya? Saya tidak mengerti!” Rentetan pertanyaanku menghentaknya.
“Kamu tidak akan menemukan pemakaman Murni, ia sudah saya makamkan di sebelah pusaran ibunya. Bagaimana mungkin aku membunuh anaku sendiri, darah dagingku.”
Aku diam. Masih tidak percaya dengan apa yang kudengar. Ia mengaku sebagai ayahnya Murni. Mana mungkin ayahnya seorang perampok laut. Yang kutahu kalau ayah Murni sudah meninggal sejak ia kecil. “Saya tidak paham pak, apa bapak adalah ayahnya Murni?” tanyaku.
“Waktu itu aku kawin lari dengan ibunya Murni. Nek Sinden tidak setuju denganku, saya miskin dan tak punya apa-apa, sementara ibunya Murni adalah anak dari sinden terkenal. Cinta membutakan kami. Saya mengajak ibu Murni untuk berlayar keluar dari desa Mangur. Saya mencari kerja serabutan, apapun saya kerjakan. Lalu saya ikut dengan kapal perompak, dalam waktu lima tahun saya menjadi ketuanya, kamu tidak usah tau mengapa dalam waktu cepat saya bisa menjadi ketua perompak.” Mata Pak Darjam menyiratkan ada masa lalu yang begitu indah. Ia terdiam sejenak. Menyalakan rokoknya.
“Saat ibu Murni hamil, ia ingin sekali kembali ke kampung halamannya. Saat itu kehamilannya sudah menginjak 8 bulan. Akhirnya saya putuskan untuk kembali ke kampung halaman dengan membawa kapal dan kawananku. Pelayaran membutuhkan waktu 26 hari menuju desa pesisir Mangur. Tepat pada hari ke 25, ibu Murni melahirkan, saya kalut. Di kapal kami tidak ada dokter, jika hanya mengobati luka sabetan pedang atau peluru, saya masih bisa. Namun, ini melahirkan. Anehnya. Sangat ajaib ibu Murni melahirkan Murni dengan selamat. Namun....,” Pak Darjam menghentikan omongannya. Kali ini air matanya mengalir. Dengan nada pelan ia melanjutkan. “ Namun ia meninggal, kehabisan darah. Mayatnya saya kebumikan di sana,” Pak Darjam menunjuk ke samping dua bangunan, ada dua gundakan tanah. Yang satu makam istrinya dan yang satu makam anaknya. “Setelah sampai di daratan, saya menyerahkan Murni pada Nek Sinden untuk dirawat, saya berjanji pada Nek Sinden, akan terus mengawasi dan menjaga Murni dari kejauhan.”
Sebenarnya Darman mencintai Murni. Ia terpicut oleh perilaku Murni yang baik dan sopan. Darman sadar diri, bahwa ia orang miskin yang tidak mungkin bisa hidup bersama Murni. Semenjak perasaan itu muncul, Darman berusaha mengubur perasaan itu sebelum perasaan itu makin berkembang. Ia bergetar. Ia masih tidak percaya kalau Murni meninggal.
“Murni meninggal secara tragis, ia dibunuh, bahkan sebelum dibunuh ia diperkosa terlebih dahulu!” Raut wajah Pak Darjam berubah menjadi marah. Nada bicaranya dipenuhi amarah. “Si Gori dan Dableklah pelakunya, akan kubakar ia bersama dengan kapalnya, bahkan seluruh anggota keluarganya jika ia punya!” Pak Darjam membanting rokoknya ke bawah. Ia segera masuk ke dalam rumah. Darman terhentak. Ibunya meninggal, kini Murni yang ia cintaipun meninggal. Darman tidak pernah tau bahwa sebenarnya Murni juga mencintainya. Sebuah pukulan kayu tepat menghantam tengkuk Darman. Ia pingsan kembali.
..........
Rumah Pak Gori mendadak ramai, didatangi oleh beberapa anak buah Dablek, yang sekaligus anak buahnya juga. “Pak, kang Dablek mati pak,” ujar salah seorang anak buahnya. Namanya soman, tubuhnya tidak besar, di tangannya banyak bekas luka sabetan parang, menandakan bahwa ia sudah sering berkelahi dengan parang. Ia merupakan orang kepercayaan Dablek, beruntung pada saat penyerangan kawanan perompak, ia sedang tidak di warung bersama Dablek. “Dablek mati dibunuh, tapi kita tidak tau pelakunya siapa, tadi kami ke warung dan isi warung sudah lulu lantah, ada mayat kang Dablek dan dua teman kami.”
Pak Gori yang sedang dudu di beranda rumahnya langsung berdiri, ia tidak yakin tangan kanannya itu bisa mati secara tiba. Padahal tadi subuh ia masih bersamanya, setelah melakukan kebejatan. Raut wajah Pak Gori berubah menjadi cemas, ia ingat perkataan Pak Gori tadi subuh tentang anak pak Enok yang mati karena berusaha memperkosa Murni. Sementara yang ia lakukan bukan hanya memperkosa Murni, tapi juga membunuhnya secara tidak sengaja. Tubuhnya mendadak lemas. “Kumpulkan semuanya, suruh berjaga di sekitar rumah, kumpulkan juga nelayan-nelayan yang bekerja pada saya, hari ini jangan ada yang melaut. Semuanya harus berjaga di rumah saya.” Pak Gori mengacungkan telunjuknya ke depan, seraya memberi komando. Setengah dari anak buah Pak Gori langsung meninggalkan rumah Pak Gori untuk menjalankan perintah, sebagian lagi berjaga di rumah Pak Gori.
“Kenapa Pak Gori begitu takut hingga mengumpulkan semuanya untuk berjaga? Apa hubungannya dengan kematian Dablek?” Ujar Soman dengan rasa penasaran yang sangat tinggi. Terlihat dari raut wajahnya.
“Kamu tidak usah banyak tanya, pokoknya sekarang keselamatan saya adalah prioritas utama. Saya mau istirahat dulu di kamar, nanti kamu atur penjagaannya, tempatkan orang-orang si sekeliling rumah, halaman, pagar. Pokoknya semua harus rapat.” Soman mengangguk patuh. Pak Gori berjalan memasuki rumahnya.
................
Angin malam menyelimuti desa pesisir Mangur. Manghanyutkan. Mendamaikan. Kabar kematian Dablek begitu cepat tersebar di dermaga, orang-orang ramai membicarakan. Menerka-nerka siapa pembunuhnya. Jam menunjukan pukul dua malam, kondisi dermaga sangat sepi, semuanya melaut. Mereka tidak mau menyia-nyiakan musim panen ikan. Hanya ada kapal-kapal milik Pak Gori. Warnanya merah. Di tengah kegelapan malam, kapal-kapal merah itu seperti api yang menyala-nyala, terhuyung-huyung pelan oleh ombak yang menerjang dermaga.
Darman membuka matanya, mengucek matanya. Posisinya tengkurep. Kali ini tangannya tidak terikat. Di sebelahnya terdapat dirijen. Bau minyak tanah menyeruak ke hidung Darman, dihantarkan oleh angin malam. Kenangan Darman tiba-tiba terlintas ketika ia mencium bau minyak tanah, kenangan bersama ibunya. Semasa kecil Darman sering menemani ibunya berjualan minyak tanah ke dermaga. ketika sudah lelah berjualan, ia selalu merengek ke ibunya untuk pulang, walaupun dagangan minyak tanahnya belum habis, ibunya tetap menuruti kemauannya untuk pulang. “Kau yang berhak menentukannya.” Lamunan Darman terhenti, Pak Darjam berjongkok dan menyodorkan korek api. Darman diam. “Mengapa saya ada di dermaga?” Ujar Darman kebingungan. “Untuk apa korek ini? Saya tidak memerlukannya,” ujar darman sembari berdiri. Pak Darjam ikut berdiri. “Kamu yang berhak menentukannya,” ia mengulangi perkataannya. Darman masih tidak mengerti, lalu suara kawanan perampok yang mengelilinginya berteriak riuh memecah keheningan malam “Bakar, Bakar, Bakar!” Darman paham, bahwa ia diminta untuk menyalakan korek api dan melemparkannya ke kapal Pak Gori yang semuanya sudah dilumuri oleh minyak tanah. “Saya tidak akan melakukannya,” Ujar Darman tegas. “Lakukan, dan kamu akan memiliki semua harta Pak Gori selain kapal-kapal ini,” Pak Darjam kembali menyodorkan korek apinya.
.......................
Rumah Pak Gori luluh lantah. Berantakan. Namun, bangunannya tetap kokoh. Tidak ada perlawanan sama sekali ketika kawanan perompak laut menyerang rumah Pak Gori. Semua penjaganya bergabung ke dalam barisan perampok laut untuk menghakimi Pak Gori. Menjarah rumahnya.
Kejadiannya tepat pada pukul 12 malam, Pak darjam berjalan memimpin anak buahnya yang berjumlah 80 orang lebih. Sementara yang menjaga rumah Pak Gori hanyalah 20 orang, seharusnya bisa mencapai 50 orang. Namun, para nelayan yang bekerja padanya lebih memilih untuk keluar dan bergabung dengan kapal-kapal ikan lainnya untuk melaut, ketimbang disuruh menjaga rumah Pak Gori.
Pak Gori diikat di salah satu tiang beranda rumahnya. Sementara Soman melarikan diri, ia tidak sudi bergabung dengan kawanan perompak laut. Seluruh harta yang Pak Gori simpan di rumahnya sudah habis dijarah oleh anak buahnya sendiri. Ternyata hampir semua anak buah Pak Gori menjadi korban kelintah daratanPak Gori. Pak Darjam sengaja mengintruksikan anak buahnya untuk tidak ikut menjarah rumah Pak Gori, ia membiarkan para nelayan mengambil haknya sebagai balasan atas upah minim yang selalu diberikan Pak Gori.
Dari ujung kepala hingga ujung kaki Pak Gori dipenuhi oleh sayatan-sayatan parang. Sayatan tersebut tidak dalam, namun cukup menganga, menunjukan daging putih yang segera berubah jadi merah, darah terus menetes secara perlahan membasahi beranda rumahnya. Ia hanya merintih, memohon ampun. Kuku tangannya sudah terlepas semuanya, dicabuti satu persatu. Kupingnya hanya tinggal yang kanan, kuping kirinya dipotong dan digantungkan di lehernya, seperti kalung. Jempol kaki kanan dan kirinya juga sudah terpotong dan yang paling memilukan adalah alat kelaminnya dipotong dan digantungkan di lehernya bersama dengan kuping. Pak Darjam sengaja tidak langsung membunuhnya. Membiarkan Pak Gori mati secara perlahan dengan kesakitan yang tidak ada seorangpun dapat menahannya. Sebelum penyiksaan tersebut, Pak Darjam memaksa Pak Gori untuk menandatangani semua perjanjian tentang warisan hartanya yang akan jatuh ke tangan Darman. Terutama rumah tempat tinggalnya dan juga tanah-tanah yang ia miliki. Selain itu, Pak Gori juga dipaksa untuk menandatangani bahwa semua orang yang berhutang padanya dianggap lunas.
Tidak butuh waktu satu jam, nyawa Pak Gori telah meninggalkan raganya. Pak Darjam menyuruh lima orang anak buahnya untuk membuang mayatnya ke tengah lautan. Hilang. Seperti tidak pernah dilahirkan.
..........................
Pak Gori memaksa Darman untuk menerima korek yang ia berikan. Darman menggigil, keringat dingin. Ia tidak tau apa yang harus dilakukan, apakah harus membakar kapal-kapal ikan Pak Gori yang selama ini menjadi mata pencahariannya atau ia harus membiarkan kapal-kapal itu.
“Gori sudah mati, nelayan-nelayan anak buahnya menjarah harta yang ia simpan di rumahnya. Setelah kamu membakar kapal-kapal ini, maka kamu akan mendapatkan rumah juga tanah-tanah yang Gori miliki,” ujar Pak Darjam, sembari menyalakan rokoknya, pandangannya lurus mengahadap kapal-kapal merah.
“Untuk apa saya bakar kapal ini, bagaimana nanti teman-teman saya akan melaut?” Ujar Darman, raut mukanya berubah menjadi kaget ketika mendengar bahwa Pak Gori telah mati. Suaranya lemas, menunjukan bahwa Darman dalam posisi tidak berdaya.
“Teman-temanmu sudah bergabung dengan kapal-kapal lain, lagipula kamu bisa membeli kapal-kapal ikan lagi dengan menjual tanah-tanah milik Gori yang resmi kamu miliki, tentunya setelah membakar kapal-kapal ini.”
“Mengapa? Kenapa tidak bapak ambil saja kapalnya”
“Tidak Perlu, sehabis kamu bakar kapal ini, saya akan meninggalkan wilayah ini bersama mereka,” Pak Darjam menunjuk ke arah anak buahnya. “Daerah ini sudah cukup memberikan kenangan buruk bagiku. Kematian istriku dan kematian tragis anaku, Murni. Kau bisa membangun kapal-kapal ikan lagi dan merekrut kembali teman-temanmu, membagi rata penghasilan. Membuat kondisi yang lebih baik, agar semua teman-teman nelayanmu tidak merasakan kesusahan sepertimu, bahkan kehilangan keluarga karena tidak mempunyai biaya untuk berobat.”
“Tapi saya tidak....” Belum sempat Darman menyelesaikan kalimatnya, Pak Darjam memotong, “Kebanggaan kami para perompak laut adalah membakar kapal musuh kami, sebelum kami membakar kapal musuh kami, maka kami belum merasa menang. Sebelum saya meninggalkan wilayah ini, saya ingin melihat lelaki yang dicintai oleh Murni menyelesaikan kebanggaan kami, yaitu membakar kapal-kapal itu.”
“Maksud bapak apa?” Darman Heran.
“Iya Murni mencintaimu, bahkan ia selalu berharap untuk bisa menikah denganmu, namun saya melarangnya. Sangat melarang! Karena saya tidak mau Murni hidup susah dengan lelaki miskin! Saya mengaku salah, ternyata kamu adalah lelaki yang baik nak. Hidup itu tidak selalu diukur dengan materi. Maafkan saya nak” Darman meneteskan air mata. Ternyata selama ini Murni juga menyukainya. Sekarang semua sudah terlambat. Murni telah meninggal.
Pak Darjam mengambil bungkus korek di tangan Darman, seketika juga ia mengeluarkan batang korek dari kotaknya. Menyalakannya. Melemparkan batang korek tersebut ke arah salah satu kapal merah yang bersandar rapih di dermaga. Api. Ya, api menyala dengan hebatnya menyambar ke semua kapal merah milik Pak Gori. Asap pekat membumbung ke langit. Pak Darjam menyodorkan kertas-kertas ke arah Darman. “Ini untukmu, sekarang semua aset Gori telah menjadi milikmu, pergunakanlah dengan bijak,” Darman masih terdiam. Meratapi kapal merah yang terbakar dengan hebat.
Pak Darjam memimpin anak buahnya untuk pergi. Tidak kembali. Ia meninggalkan Mangur untuk selamanya. Tanpa salam perpisahan dengan Darman.
SELESAI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H