“Saya ingin memastikan, saya dengar kalau kemarin malam ada anak buah kang Dablek yang datang ke rumah saya,”
“Ia, anak buah saya menagih hutang ibumu.”
“Hutang ke Pak Gori?”
“Iyalah, memang ke siapa lagi,” nada bicara Dablek menyindir.
Darman terdiam. Ia tidak habis pikir, mengapa ibunya harus meminjam duit ke si lintah darat itu. “Kenapa? Kamu mau bayar hutang-hutang ibumu?” Ujar Dablek. Lagi-lagi dengan nada menyindir.
“Berapa hutang ibuku?
“Seharga rumahmu yang butut itu,” Dablek tertawa. “Saya dengar ibumu sudah meninggal ya? Maka sekarang kamu yang harus melunasi hutang-hutang ibumu.”
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dalam warung. Mereka berdua langsung mengalihkan pandangannya ke warung. Dablek dengan sigap berlari menuju warung. Dua anak buahnya sudah terkapar. Mati bersimbah darah. Dablek diam mematung memperhatikan mayat kedua anak buahnya, seketika dari belakang tengkuk Dablek sabetan parang mengampirinya, dengan sigap Dablek menghindar. “Siapa kalian?” Ujar Dablek sambil mengeluarkan parangnya. Posisi siap untuk bertarung. Di depannya sudah berdiri lima perompak laut yang semuanya memegang parang. Tanpa ada jawaban, perompak laut langsung menyerang Dablek secara bersamaan. Darman berdiri menjauh, ia teringat bahwa itu adalah kawanan perompak laut yang pernah menyerangnya.
Tidak ada dua menit, Dablek sudah terkapar dengan luka sabetan di sekujur tubuhnya. Ia mati. Sehebat-hebatnya Dablek berkelahi, perompak laut itu nampak lebih jago. Apalagi satu lawan lima. Pertarungan yang sangat tidak seimbang. Namun, memang tujuan dari perompak laut itu adalah menghabisi Dablek. Bukan untuk bercakap-cakap atau mencari penjelasan.
“Darman, kamu ikut kami. Ketua kami ingin bertemu denganmu,” ujar salah seorang perompak menghampiri Darman.
“Untuk apa? Saya tidak mengganggu Murni, hari ini saya belum bertemu Murni,” ujar Darman.