“Sudah ikut saja, biar nanti ketua kami yang menjelaskan.” Darman langsung berlari, ia takut. Tapi percuma. Pukulan dari ujung gagang parang keburu menghampiri tengkuknya, Darman terkapar pingsan.
............
Aku terbangun di tengah hutan. Tempat ini asing bagiku. Nampaknya ini adalah markas persembunyian para perompak laut. Ada dua bangunan rumah, yang dibangun dengan menggunakan batang-batang pohon besar. Banyak peti-peti barang di depan bangunan tersebut. Menurut sepengelihatanku ada sekitar 50 orang yang ada di sana. Semuanya laki-laki. Aku terduduk di kursi dengan kedua tanganku diikat ke belakang. Seorang bapak tua menggerakan tangannya seperti menyuruh orang disampingku untuk berbuat sesuatu. Orang disampingku mengeluarkan parangnya, aku kaget bukan main. Ia tebaskan parangnya. Sekali tebasan dan tali ikatan di tanganku terlepas. Aku lega, aku kira ia akan membunuhku.
“Maaf saya harus membawamu seperti ini,” Ujar si bapak tua. “Kenalkan, namaku Darjam,” ia menyalamiku. Ia adalah ketua kawanan perompak laut. Umurnya sekitar 50 tahunan, aura kepemimpinan sangat terlihat dari wajahnya. Ia tidak menyeramkan, sifatnya sopan, tapi aku yakin, dibalik itu kekejamannya lebih dari segalanya.
“Ada urusan apa dengan saya?”
“Kang Darman, maafkan kesalahpahaman saya yang sebelumnya. Murni sudah meninggal,” wajah Darjam beringsut sedih, walaupun tidak ada air mata yang keluar dari matanya.
“Meninggal bagaimana? Kemarin saya masih bertemu dengannya. Tadi pagi saya memakamkan ibu saya dan hanya ada satu lubang kuburan. Tidak ada pemakaman Murni. Apa bapak yang membunuh Murni? Lalu mengapa tadi anak buah bapak membunuh Dablek dan anakbunya? Saya tidak mengerti!” Rentetan pertanyaanku menghentaknya.
“Kamu tidak akan menemukan pemakaman Murni, ia sudah saya makamkan di sebelah pusaran ibunya. Bagaimana mungkin aku membunuh anaku sendiri, darah dagingku.”
Aku diam. Masih tidak percaya dengan apa yang kudengar. Ia mengaku sebagai ayahnya Murni. Mana mungkin ayahnya seorang perampok laut. Yang kutahu kalau ayah Murni sudah meninggal sejak ia kecil. “Saya tidak paham pak, apa bapak adalah ayahnya Murni?” tanyaku.
“Waktu itu aku kawin lari dengan ibunya Murni. Nek Sinden tidak setuju denganku, saya miskin dan tak punya apa-apa, sementara ibunya Murni adalah anak dari sinden terkenal. Cinta membutakan kami. Saya mengajak ibu Murni untuk berlayar keluar dari desa Mangur. Saya mencari kerja serabutan, apapun saya kerjakan. Lalu saya ikut dengan kapal perompak, dalam waktu lima tahun saya menjadi ketuanya, kamu tidak usah tau mengapa dalam waktu cepat saya bisa menjadi ketua perompak.” Mata Pak Darjam menyiratkan ada masa lalu yang begitu indah. Ia terdiam sejenak. Menyalakan rokoknya.
“Saat ibu Murni hamil, ia ingin sekali kembali ke kampung halamannya. Saat itu kehamilannya sudah menginjak 8 bulan. Akhirnya saya putuskan untuk kembali ke kampung halaman dengan membawa kapal dan kawananku. Pelayaran membutuhkan waktu 26 hari menuju desa pesisir Mangur. Tepat pada hari ke 25, ibu Murni melahirkan, saya kalut. Di kapal kami tidak ada dokter, jika hanya mengobati luka sabetan pedang atau peluru, saya masih bisa. Namun, ini melahirkan. Anehnya. Sangat ajaib ibu Murni melahirkan Murni dengan selamat. Namun....,” Pak Darjam menghentikan omongannya. Kali ini air matanya mengalir. Dengan nada pelan ia melanjutkan. “ Namun ia meninggal, kehabisan darah. Mayatnya saya kebumikan di sana,” Pak Darjam menunjuk ke samping dua bangunan, ada dua gundakan tanah. Yang satu makam istrinya dan yang satu makam anaknya. “Setelah sampai di daratan, saya menyerahkan Murni pada Nek Sinden untuk dirawat, saya berjanji pada Nek Sinden, akan terus mengawasi dan menjaga Murni dari kejauhan.”