Matahari bersinar lebih terik pagi ini, namun tidak mengurangi sedikitpun aktivitas manusia-manusia di desa pesisir Mangur. Ombak tak berhenti terus menerus menghantam karang-karang, menimbulkan bunyi yang sangat khas, mungkin menenangkan jiwa bagi sebagian manusia yang sedang risau. Kapal-kapal ikan mulai bersandar satu-persatu, Tali-tali kapal diikatkan ke tiang pancang dermaga, pertanda kapal sudah bersandar. Para nelayan memulai kegiatan dengan menurunkan ikan-ikan hasil tangkapan. Wajah mereka terlihat lebih ceria dan bersemangat, walaupun tetap tidak bisa menyembunyikan rasa lelah yang ada pada diri mereka setelah berlayar berhari-hari. Maklum, bulan ini sudah masuk ke dalam musim panen. Hasil tangkapan ikan melimpah ruah.
Tidak jauh dari dermaga tempat kapal-kapal ikan bersandar terdapat sebuah bangunan berbentuk persegi tanpa tembok pembatas, dengan empat tiang beton penyangga dan memiliki atap genting, hampir menyerupai pendopo yang ada di kantor-kantor Bupati. Lantainya beralaskan keramik berwarna putih dengan bekas noda darah ikan berceceran dimana-mana, semerbak angin mengantarkan bau amis ke seluruh penjuru ruangan. Ruangan tersebut memiliki timbangan tua yang diletakan di penjuru bagian depan, yang sepertinya sudah ada puluhan tahun jika dilihat dari besi-besinya yang sudah mulai karatan, namun keakuratannya tidak perlu diragukan. Bangunan tersebut merupakan tempat pelelangan ikan desa pesisir Mangur.
Suara-suara manusia saling bersautan di setiap penjuru ruangan, dengan satu suara paling keras berada di tengah ruangan, “Harga dimulai dari delapan ribu perkilo!” Ujar seorang bapa-bapa tua berumur 50 tahunan. Teriakan tersebut seperti pemantik, sesaat setelahnya, semua manusia yang hadir di ruangan tersebut mencoba mengajukan penawaran. Suara semakin riuh. “Ya! Terjual diharga sepuluh ribu.” Menandakan penawaran sudah menemukan harga yang sesuai.
Tepat di sebelah ruangan tersebut, terdapat warung kopi yang sekeliling temboknya terbuat dari anyaman bambu dengan atap menggunakan daun pohon kelapa kering, tidak luas, namun cukup adem. Barang yang didagangkan tidak terlalu banyak, hanya roko, kopi-kopi, dan gorengan. Namun, warung kopi tersebut mempunyai daya tarik tersendiri dilihat dari banyaknya nelayan yang berkumpul di warung tersebut. Pemiliknya seorang perempuan tua berumur 70 an yang selalu menguyah daun sirih, orang-orang sekitar memanggilnya Nek Sinden. Kata orang, Nek Sinden merupakan sinden tersohor, lelaki akan dibuat tergila-gila ketika melihatnya menari, namun itu dulu pada saat ia masih muda. Nek Sinden selalu ditemani cucunya, seorang gadis berumur 17 tahun, bernama Murni. Gadis ini memiliki mata yang indah, hidung yang mancung, rahangnya simetris, bibirnya tipis, alis matanya beraturan dan hitam, rambutmya panjang dan halus. Hanya orang bodoh yang menganggap murni jelek, bahkan kecantikannya sudah tersebar di seluruh desa pesisir. Walaupun cantik, tapi tidak ada laki-laki yang berani mengganggu Murni atau berlaku tidak sopan padanya. Katanya pernah ada lelaki, anak seorang pengusaha kapal ikan yang mencoba mengganggu Murni, bahkan sampai hendak memperkosanya, untung saja keburu ada yang melihat dan hal itu tidak sampai terjadi. Esok harinya, si lelaki tersebut mati dan mayatnya ditemukan di kapal milik bapaknya, tepatnya di dalam ruang palka tempat penyimpanan ikan.
“Saya bingung, kenapa upah kita segini-gini aja ya?” Ujar Darman, sambil asik menyeruput kopi di warung Nek Sinden. Darman telah menjadi nelayan semenjak ia putus sekolah lima tahun yang lalu, saat ini umurnya 20 tahun. Teman-teman Darman yang sama-sama sedang asik ngopi tidak peduli dengan pertanyaan Darman. Nampaknya mereka lelah. Darman kembali mengulangi pertanyaannya, namun teman-temannya tetap tidak menghiraukan. “Sabar kang, yang penting berkah,” tak disangka, ternyata jawaban tersebut keluar dari mulut Murni yang sedang sibuk membuatkan kopi untuk nelayan-nelayan lain.
“Iya benar sekali mbakyu, tetapi sekarang kan sudah masuk musim panen, tapi tetap saja tidak ada kenaikan upah sedikitpun”.
Murni hanya tersenyum mendengar pernyataan Darman, yang terlihat pasrah tanpa semangat.
“Padahal nelayan-nelayan yang bekerja di kapal lain upahnya sudah pada naik, hanya kapal kita saja yang tidak, pelit betul Pak Gori ini”. Darman melanjutkan keluh kesahnya, walaupun teman-temannya masih tidak peduli. Pagi itu, warung Nek Sinden dipenuhi oleh nelayan-nelayan yang bekerja kapal ikan milik Pak Gori, Darman termasuk salah satunya. “Sabar Kang, mungkin belum, tapi bisa saja besok upah akan dinaikan,” Murni kembali menyaut omongan Darman.
“Iya mudah-mudahan begitu, kalau misalkan besok tidak naik upahnya, berarti si Gori ini memang pelit tidak ketulungan,” ujar Darman, kemudian ia menyalakan rokok untuk menenangkan pikirannya. Darman merasakan bahwa ada ketidakadilan, mengapa hanya kapal milik Pak Gori saja yang upahnya tidak dinaikan. Suasana menjadi hening, hanya terdengar suara riuh orang-orang di pelelangan ikan.
“Mengapa kita tidak membuat kapal ikan sendiri saja ya? Mungkin kita bisa mendapatkan keuntungan yang lebih banyak,” ujar cecep memecah keheningan di warung kopi tersebut.
“Kalau punya duit, sudah dari dulu saya beli kapal ikan, kalau bisa saya sudah buat pelabuhan sendiri,” Ujar Narmo yang duduk di paling pojok dan disambut dengan riuh tawa yang lainnya.
“Loh kang Cecep idenya bagus tuh, makanya akang-akang sekalian harus nabung biar bisa beli kapal ikan sendiri,” ujar Murni dengan diakhiri senyuman manisnya yang membuat luluh semua nelayan yang ada di situ.
Darman semakin tenggelam dengan pikirannya terhadap masalah yang sedang menimpanya. Darman merupakan tulang punggung keluarganya, ayahnya telah meninggalkan keluarganya semenjak ia berumur 5 tahun. Ia hanya tinggal dengan ibu dan adik perempuannya, ibunya sedang sakit keras, semestinya saat ini ibunya harus mendapatkan perawatan intensif. namun karena himpitan ekonomi yang tidak memungkinkan hal itu terlaksana. Adik perempuan Darman bernama Zulfah, masih duduk di bangku SMA kelas 2. Darman sangat menyayangi adiknya dan tidak ingin Zulfah putus sekolah seperti dirinya.
“Kang Darman kok jadi diam? Kayaknya lagi banyak pikiran ya?” Ujar Murni sambil membereskan gelas-gelas kopi yang sudah kosong. Satu-persatu nelayan meninggalkan warung kopi Nek Sinden, hanya menyisakan Murni dan Darman, Nek Sinden sedang pergi ke pasar untuk membeli barang dagangan.
“Iya Mbakyu,” Darman tertunduk lemas.
“loh pikiran apa? Cerita aja, siapa tau Murni bisa bantu,” Murni keluar dari dalam warung kopi dan duduk di bangku berhadapan dengan Darman.
“Iya Mbakyu, kondisi ekonomi sedang susah, mana harga-harga barang semakin naik, belum lagi kondisi ibu saya yang sakitnya semakin parah dan harus di rawat intensif. Padahal saya berharap banyak upah akan naik pada saat musim panen kali ini”.
“Akang teh ikut kapal ikan punya Pak Gori udah berapa tahun?”
“Ya lima tahun, dari awal jadi nelayan hingga kini”.
“Wah udah lumayan lama juga kang, mungkin kalo akang kepepet, akang bisa minjem duit dulu ke Pak Gori, Murni yakin Pak Gori bakal ngasih pinjem.”
“Jujur saja Murni, Pak Gori itu lintah darat, waktu itu saya pernah minjem duit ke dia, dibayarnya nyicil dan bunganya 20 persen. Pernah sekali waktu cicilan saya nunggak satu bulan, karena uangnya dipakai untuk biaya berobat ibu. Secara sepihak, dia naikin bunganya jadi 40 persen, katanya ini udah ada di perjanjian waktu awal minjem duit. Salah saya juga ga ngecek perjanjiannya dan main tanda tangan aja, ya karena waktu itu benar-benar kepepet buat berobat ibu”.
“Jahat benar Pak Gori, ke nelayannya sendiri aja sampai sebegitunya. Kang Darman yang sabar ya,” raut wajah Murni berubah menjadi sedih mendengar apa yang diomongkan Darman. “Kalau kang Darman bener-bener butuh uang, Murni bisa pinjamkan ke Nek Sinden, bayarnya ga pakai bunga kok kang”.
“Makasih sebelumnya Mbakyu, tapi gapapa, saya bisa cari duit dari cara lain. Oh iya Mbakyu, saya hutang dulu ya, mungkin besok saya baru bisa bayar. Sebenernya saya punya duit, cuman harus nebus obat buat ibu”.
“Gapapa kang, orang cuman kopi segelas, anggap aja gratis, karena kang Darman udah mau cerita ke Murni,” lagi-lagi senyum indah itu keluar dari paras cantik Murni. Setidaknya membuat Darman tenang untuk sesaat.
“Wah mestinya saya yang berterima kasih, karena Mbakyu udah mau mendengar cerita saya. Gapapa Mbakyu, besok saya bayar kopinya. Mbakyu, saya pamit duluan mau beli obat buat ibu.” Darman beranjak dari kursi dan mulai meninggalkan warung kopi tersebut.
....
“Kang, Ibu akang harus segera dirawat. Mungkin obat-obat ini hanya berguna sementara, tetapi kalau tidak segera dirawat secara intensif, sakitnya bisa semakin parah, lagipula resep obat ini sudah 6 bulan lamanya semenjak pertama kali dibuat oleh dokter,” ujar seorang penjaga toko obat. Toko obat tersebut milik Koh Ahpau, letaknya persis di depan alun-alun kecamatan. Darman harus berjalan 30 KM dari desanya untuk sampai ke toko obat Koh Ahpau, karena belum ada kendaraan umum dari desanya menuju alun-alun kecamatan. Toko obat di desa pesisir pada tahun 1958 masih sangat jarang, andaipun ada, tokonya kecil dan tidak lengkap, hanya menyediakan obat-obat untuk penyakit ringan seperti flu, batuk, dan pusing.
“Iya Mbakyu terima kasih sarannya, tapi untuk saat ini, mudah-mudahan obat ini bisa bermanfaat lebih buat ibu saya,” ujar Darman. Tangannya merogoh kantong celana dan mengeluarkan uang receh yang lusuh untuk membayar biaya obat.
“Saya hanya berharap, semoga ibunya akang bisa cepat sembuh”. Darman tersenyum dan segera meninggalkan toko obat Koh Ahpau. Belum sampai langkah Darman meninggalkan toko tersebut, tiba-tiba ia mendengar ada yang memanggilnya. “Kang Dalman, kemali sebental,” Suaranya pelan dan sangat mudah dikenali, bahwa itu adalah si pemilik toko. Ya, itu adalah suara Koh Ahpau sang pemilik toko. Segera Darman berjalan menghampiri Koh Ahpau yang duduk di pojok ruangan. “Ada apa Koh?” Ujar Darman yang kebingungan. Karena setaunya, ia tidak pernah berkenalan atau pun ngobrol langsung dengan Koh Ahpau, selama ini ia hanya berbicara dengan penjaga tokonya saja.
“Kamu anak muda yang belbakat dan kuat, kamu halus sabal dengan setiap cobaan dan ujian, jangan menyelah dan jangan beltindak di luar batas ha..ha..ha,” Koh Ahpau tertawa dan dengan santainya mennghisap pipa tembakau. “Kalau kamu beltindak di lual batas, maka kamu sendiri yang akan lugi ha..ha..ha,” Koh Ahpau tertawa lebih keras dari sebelumnya. Darman semakin bingung dengan ucapan orang tua ini, ia pikir mungkin Koh Ahpau hanya ngelantur, kenal saja belum tiba-tiba berani menasihati. Darman bergegas meninggalkan Koh Ahpau yang masih mentertawakannya. “Ingat Dalman, jangan beltindak di lual batas ha..ha..ha,” Suara Koh Ahpau terdengar samar-samar mengiringi kepergian Darman dari toko tersebut.
Dalam perjalanan pulangnya, Darman terus merenung terhadap nasib buruk yang menimpanya. Musim panen yang ia harapkan dapat membiayai berobat ibunya ternyata tidak berjalan sesuai harapannya, seiring dengan upahnya yang tidak naik. Darman kembali teringat dengan ibunya yang sakit di rumah, ia tidak bisa berpikir bagaimana jika terjadi sesuatu terhadap ibunya, apa yang harus ia lakukan, sementara ia tidak mempunyai uang sama sekali, bahkan untuk membayar kopi tadi pagi saja ia harus mengutang. Belum lagi, adiknya harus membayar uang sekolah yang sudah menunggak tiga bulan, uang itu harus segera dibayarkan. Jika tidak, adiknya tidak bisa mengikuti ujian sekolah.
Matahari sudah mulai turun menuju ke arah barat, menandakan hari sudah sore. Darman sampai lupa bahwa dirinya belum makan semenjak tadi pagi, seakan permasalahan yang ia hadapi membuat perutnya kenyang, atau memang ia tidak ada uang untuk makan. Upah yang ia terima tadi pagi telah dipakai untuk membayar cicilan hutangnya ke Pak Gori, dan sisanya telah habis dipakai untuk membeli obat-obatan untuk ibunya. Darman memilih jalur pulang yang lebih cepat dari biasanya, ia memintas hutan yang menghubungkan antara desa pesisir Mangur dengan alun-alun kecamatan. Memang waktu tempuhnya lebih cepat, namun jalurnya sangat rawan, selain banyak hewan buas, konon katanya di hutan tersebut merupakan tempat persembunyian kawanan perompak laut.
Darman menghentingkan langkahnya, ia menengok ke belakang dan merasa seperti ada yang mengikutinya. Ia memperhatikan ke segala penjuru, kicauan burung tak henti-hentinya bersuara. Darman melanjutkan langkahnya, “kalau berani keluar, jangan sembunyi!” teriak Darman. Belum sampai lima langkah, tiba-tiba Darman tersungkur karena pukulan kayu yang tepat mengenai punggungnya. Secepat kilat Darman langsung bangkit kembali dan mengatur jarak dengan mereka agar tidak terlalu dekat. Di hadapannya terdapat lima orang berwajah sangar, memegang parang, dan di lengan kanan setiap orang tersebut terdapat tato bergambar jaring yang merupakan ciri khas dari kawanan perompak laut yang bersembunyi di hutan ini.
“Mau apa kalian? Saya tidak punya uang, lagi pula saya juga sama seperti kalian. Orang laut,” seru Darman sambil mengepalkan kedua tangannya, mengambil posisi kuda-kuda untuk berkelahi.
“Kami tidak butuh uang dari pemuda miskin seperti kamu, kami hanya ingin menyampaikan pesan dari ketua kami,” ujar salah seorang perompak laut bertumbuh gempal.
“Pesan apa? Saya tidak pernah kenal dengan ketua kalian,”
“Ketua kami mendapat kabar, kalau tadi pagi kamu mengganggu Murni, jangan coba-coba ulangi perbuatan tersebut! Kalau tidak, akan kami bakar kapalmu, rumahmu, bahkan dirimu pun ikut kami bakar. Camkan itu!” Kali ini yang berbicara adalah perompak yang tadi memukul Darman dengan kayu.
“Urusan apa ketua kalian dengan Murni? Lagi pula saya tidak pernah mengganggu Murni, saya hanya ngopi dan mengobrol sekedarnya dengan Murni”.
“Sudah kamu tidak perlu tau, cepat sana pergi, sebelum kami berubah pikiran untuk membunuhmu di hutan ini, dan melemparkan mayatmu ke harimau”.
Darman langsung bergegas meninggalkan para perompak laut, punggungnya masih terasa sangat nyeri. Sisa perjalanan menuju desanya dilalui dengan pikiran-pikiran terhadap masalahnya dan ditambah badannya yang sakit bekas pukulan dari kayu para perompak laut. Tepat jam 19.00, setelah menempuh perjalanan selama tiga jam, Darman sampai di desa pesisir Mangur. Rumah Darman jauh dari layak, hanya memiliki dua kamar tidur, ruang tengah, dapur yang bersebelahan dengan toilet, dan temboknya pun terbuat dari papan yang dibalut anyaman bambu. Jika hujan tiba, maka rumah Darman akan becek, karena atapnya sudah banyak yang bolong dan lantainya hanya beralaskan tanah. Tidak ada barang-barang berharga di rumah Darman, hanya ada satu radio tua yang menyala jika dipukul-pukul dan digoyang-goyang terlebih dahulu, itupun jarang sekali mendapat sinyal radio.
Rumah-rumah yang ada di desa pesisir mangur jaraknya lumayan berjauhan, sekitar lima sampai tujuh meter dari satu rumah ke rumah lainnya. Ketika hampir sampai di rumahnya, Darman terkejut melihat banyak warga desa yang berkumpul di depan rumahnya. Ia langsung berlari masuk ke dalam rumah, adiknya duduk di ruang tengah sambil menangis, kondisi rumahnya acak-acakan, pakaian-pakaian bergeletakan di sana-sini, lemari satu-satunya di ruang tengah terjungkal ke belakang, radio tuanya pecah dan berserakan di lantai rumahnya. Seketika adiknya langsung menghambur memeluknya. “Kang, Zulfah takut kang, akang jangan pergi lagi kang,” Darman terdiam, masih bingung dengan apa yang dilihatnya.
“ini ada apa Zulfah? Ibu mana?”
“Ibu di kamar kang, ibu kang, ibu kang, ibu semakin parah sakitnya, Zulfah takut kang,” tangisan Zulfah semakin keras. Darman berusaha melepas pelukan adiknya dan langsung masuk kamar ibunya. Di dalam kamar ada empat orang tetangga yang sedang menemani ibunya yang terbaring di atas ranjang yang sudah reot. Kondisi ibu Darman sudah parah, nafasnya sudah sesenggukan, badannya panas, sesekali ibu Darman berbicara, namun tidak jelas apa yang diomongkannya. Darman langsung memeluk ibunya dan menangis.
“Kang, ini harus cepat dibawa ke rumah sakit, kondisinya sudah semakin parah,” Ujar bu Mamat, tetangga samping rumahnya. Kemudian semua orang yang ada di ruangan tersebut keluar, hanya menyisakan Darman dan ibunya.
“Ya sudah, sekarang juga saya bawa ibu ke rumah sakit,” ujar Darman sambil berusaha menggendong ibunya.
“Darman, Iiiiiibu ga mau ke rumah ssssakit, sebentar lagi kok nak,” Ujar ibu darman dengan sisa tenaga yang dimilikinya untuk berbicara..
“Nak ibu pergi dulu ya, kamu jaga adikmu baik-baik”
“Ibu ga boleh ngomong gitu, sekarang Darman bawa ibu ke rumah sakit,” Darman menggenggam ke dua tangan ibunya.
“Maafin ibu kalau belum bisa ngebahagiain kamu, maafin ibu nak,” suara ibunya semakin memelan.
“Zulfah sini,” ujar darman berteriak keluar. Zulfah masuk ke dalam kamar dan langsung memeluk ibunya. “Ibu jangan tinggalin Zulfah, ibuuuuuuu maafin Zulfah, ibu harus sehat lagi”.
Darman terus menggenggam ke dua tangan ibunya, wajah Darman menunduk ke bawah, air mata tidak henti-hentinya mengalir keluar. Zulfah mengambil air putih di meja sebelah ranjang untuk diberikan kepada ibunya. Darman kembali melihat wajah ibunya, matanya sudah tertutup. “Ibu, ibu, ibu bangun bu,” Darman menggoyang-goyangkan tubuh ibunya dan mengecek nadinya. Ibu darman sudah tiada. Zulfah yang masih memegang gelas berisi air putih, tanpa sadar menjatuhkan gelas tersebut dan memeluk tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa, menangis sekencang-kencangnya. Darman berteriak sekeras-kerasnya memecah keheningan malam di desa pesisir Mangir. Darman dan Zulfah menjadi yatim piatu mulai malam itu.
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H