“Makasih sebelumnya Mbakyu, tapi gapapa, saya bisa cari duit dari cara lain. Oh iya Mbakyu, saya hutang dulu ya, mungkin besok saya baru bisa bayar. Sebenernya saya punya duit, cuman harus nebus obat buat ibu”.
“Gapapa kang, orang cuman kopi segelas, anggap aja gratis, karena kang Darman udah mau cerita ke Murni,” lagi-lagi senyum indah itu keluar dari paras cantik Murni. Setidaknya membuat Darman tenang untuk sesaat.
“Wah mestinya saya yang berterima kasih, karena Mbakyu udah mau mendengar cerita saya. Gapapa Mbakyu, besok saya bayar kopinya. Mbakyu, saya pamit duluan mau beli obat buat ibu.” Darman beranjak dari kursi dan mulai meninggalkan warung kopi tersebut.
....
“Kang, Ibu akang harus segera dirawat. Mungkin obat-obat ini hanya berguna sementara, tetapi kalau tidak segera dirawat secara intensif, sakitnya bisa semakin parah, lagipula resep obat ini sudah 6 bulan lamanya semenjak pertama kali dibuat oleh dokter,” ujar seorang penjaga toko obat. Toko obat tersebut milik Koh Ahpau, letaknya persis di depan alun-alun kecamatan. Darman harus berjalan 30 KM dari desanya untuk sampai ke toko obat Koh Ahpau, karena belum ada kendaraan umum dari desanya menuju alun-alun kecamatan. Toko obat di desa pesisir pada tahun 1958 masih sangat jarang, andaipun ada, tokonya kecil dan tidak lengkap, hanya menyediakan obat-obat untuk penyakit ringan seperti flu, batuk, dan pusing.
“Iya Mbakyu terima kasih sarannya, tapi untuk saat ini, mudah-mudahan obat ini bisa bermanfaat lebih buat ibu saya,” ujar Darman. Tangannya merogoh kantong celana dan mengeluarkan uang receh yang lusuh untuk membayar biaya obat.
“Saya hanya berharap, semoga ibunya akang bisa cepat sembuh”. Darman tersenyum dan segera meninggalkan toko obat Koh Ahpau. Belum sampai langkah Darman meninggalkan toko tersebut, tiba-tiba ia mendengar ada yang memanggilnya. “Kang Dalman, kemali sebental,” Suaranya pelan dan sangat mudah dikenali, bahwa itu adalah si pemilik toko. Ya, itu adalah suara Koh Ahpau sang pemilik toko. Segera Darman berjalan menghampiri Koh Ahpau yang duduk di pojok ruangan. “Ada apa Koh?” Ujar Darman yang kebingungan. Karena setaunya, ia tidak pernah berkenalan atau pun ngobrol langsung dengan Koh Ahpau, selama ini ia hanya berbicara dengan penjaga tokonya saja.
“Kamu anak muda yang belbakat dan kuat, kamu halus sabal dengan setiap cobaan dan ujian, jangan menyelah dan jangan beltindak di luar batas ha..ha..ha,” Koh Ahpau tertawa dan dengan santainya mennghisap pipa tembakau. “Kalau kamu beltindak di lual batas, maka kamu sendiri yang akan lugi ha..ha..ha,” Koh Ahpau tertawa lebih keras dari sebelumnya. Darman semakin bingung dengan ucapan orang tua ini, ia pikir mungkin Koh Ahpau hanya ngelantur, kenal saja belum tiba-tiba berani menasihati. Darman bergegas meninggalkan Koh Ahpau yang masih mentertawakannya. “Ingat Dalman, jangan beltindak di lual batas ha..ha..ha,” Suara Koh Ahpau terdengar samar-samar mengiringi kepergian Darman dari toko tersebut.
Dalam perjalanan pulangnya, Darman terus merenung terhadap nasib buruk yang menimpanya. Musim panen yang ia harapkan dapat membiayai berobat ibunya ternyata tidak berjalan sesuai harapannya, seiring dengan upahnya yang tidak naik. Darman kembali teringat dengan ibunya yang sakit di rumah, ia tidak bisa berpikir bagaimana jika terjadi sesuatu terhadap ibunya, apa yang harus ia lakukan, sementara ia tidak mempunyai uang sama sekali, bahkan untuk membayar kopi tadi pagi saja ia harus mengutang. Belum lagi, adiknya harus membayar uang sekolah yang sudah menunggak tiga bulan, uang itu harus segera dibayarkan. Jika tidak, adiknya tidak bisa mengikuti ujian sekolah.
Matahari sudah mulai turun menuju ke arah barat, menandakan hari sudah sore. Darman sampai lupa bahwa dirinya belum makan semenjak tadi pagi, seakan permasalahan yang ia hadapi membuat perutnya kenyang, atau memang ia tidak ada uang untuk makan. Upah yang ia terima tadi pagi telah dipakai untuk membayar cicilan hutangnya ke Pak Gori, dan sisanya telah habis dipakai untuk membeli obat-obatan untuk ibunya. Darman memilih jalur pulang yang lebih cepat dari biasanya, ia memintas hutan yang menghubungkan antara desa pesisir Mangur dengan alun-alun kecamatan. Memang waktu tempuhnya lebih cepat, namun jalurnya sangat rawan, selain banyak hewan buas, konon katanya di hutan tersebut merupakan tempat persembunyian kawanan perompak laut.
Darman menghentingkan langkahnya, ia menengok ke belakang dan merasa seperti ada yang mengikutinya. Ia memperhatikan ke segala penjuru, kicauan burung tak henti-hentinya bersuara. Darman melanjutkan langkahnya, “kalau berani keluar, jangan sembunyi!” teriak Darman. Belum sampai lima langkah, tiba-tiba Darman tersungkur karena pukulan kayu yang tepat mengenai punggungnya. Secepat kilat Darman langsung bangkit kembali dan mengatur jarak dengan mereka agar tidak terlalu dekat. Di hadapannya terdapat lima orang berwajah sangar, memegang parang, dan di lengan kanan setiap orang tersebut terdapat tato bergambar jaring yang merupakan ciri khas dari kawanan perompak laut yang bersembunyi di hutan ini.