“Mau apa kalian? Saya tidak punya uang, lagi pula saya juga sama seperti kalian. Orang laut,” seru Darman sambil mengepalkan kedua tangannya, mengambil posisi kuda-kuda untuk berkelahi.
“Kami tidak butuh uang dari pemuda miskin seperti kamu, kami hanya ingin menyampaikan pesan dari ketua kami,” ujar salah seorang perompak laut bertumbuh gempal.
“Pesan apa? Saya tidak pernah kenal dengan ketua kalian,”
“Ketua kami mendapat kabar, kalau tadi pagi kamu mengganggu Murni, jangan coba-coba ulangi perbuatan tersebut! Kalau tidak, akan kami bakar kapalmu, rumahmu, bahkan dirimu pun ikut kami bakar. Camkan itu!” Kali ini yang berbicara adalah perompak yang tadi memukul Darman dengan kayu.
“Urusan apa ketua kalian dengan Murni? Lagi pula saya tidak pernah mengganggu Murni, saya hanya ngopi dan mengobrol sekedarnya dengan Murni”.
“Sudah kamu tidak perlu tau, cepat sana pergi, sebelum kami berubah pikiran untuk membunuhmu di hutan ini, dan melemparkan mayatmu ke harimau”.
Darman langsung bergegas meninggalkan para perompak laut, punggungnya masih terasa sangat nyeri. Sisa perjalanan menuju desanya dilalui dengan pikiran-pikiran terhadap masalahnya dan ditambah badannya yang sakit bekas pukulan dari kayu para perompak laut. Tepat jam 19.00, setelah menempuh perjalanan selama tiga jam, Darman sampai di desa pesisir Mangur. Rumah Darman jauh dari layak, hanya memiliki dua kamar tidur, ruang tengah, dapur yang bersebelahan dengan toilet, dan temboknya pun terbuat dari papan yang dibalut anyaman bambu. Jika hujan tiba, maka rumah Darman akan becek, karena atapnya sudah banyak yang bolong dan lantainya hanya beralaskan tanah. Tidak ada barang-barang berharga di rumah Darman, hanya ada satu radio tua yang menyala jika dipukul-pukul dan digoyang-goyang terlebih dahulu, itupun jarang sekali mendapat sinyal radio.
Rumah-rumah yang ada di desa pesisir mangur jaraknya lumayan berjauhan, sekitar lima sampai tujuh meter dari satu rumah ke rumah lainnya. Ketika hampir sampai di rumahnya, Darman terkejut melihat banyak warga desa yang berkumpul di depan rumahnya. Ia langsung berlari masuk ke dalam rumah, adiknya duduk di ruang tengah sambil menangis, kondisi rumahnya acak-acakan, pakaian-pakaian bergeletakan di sana-sini, lemari satu-satunya di ruang tengah terjungkal ke belakang, radio tuanya pecah dan berserakan di lantai rumahnya. Seketika adiknya langsung menghambur memeluknya. “Kang, Zulfah takut kang, akang jangan pergi lagi kang,” Darman terdiam, masih bingung dengan apa yang dilihatnya.
“ini ada apa Zulfah? Ibu mana?”
“Ibu di kamar kang, ibu kang, ibu kang, ibu semakin parah sakitnya, Zulfah takut kang,” tangisan Zulfah semakin keras. Darman berusaha melepas pelukan adiknya dan langsung masuk kamar ibunya. Di dalam kamar ada empat orang tetangga yang sedang menemani ibunya yang terbaring di atas ranjang yang sudah reot. Kondisi ibu Darman sudah parah, nafasnya sudah sesenggukan, badannya panas, sesekali ibu Darman berbicara, namun tidak jelas apa yang diomongkannya. Darman langsung memeluk ibunya dan menangis.
“Kang, ini harus cepat dibawa ke rumah sakit, kondisinya sudah semakin parah,” Ujar bu Mamat, tetangga samping rumahnya. Kemudian semua orang yang ada di ruangan tersebut keluar, hanya menyisakan Darman dan ibunya.