Mohon tunggu...
Anta Nasution
Anta Nasution Mohon Tunggu... Ilmuwan - Laut Biru

Ocean never betray us! Ocean doesn't need us, indeed we need ocean.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sundal Bersuara Mendesah

30 Januari 2016   19:33 Diperbarui: 31 Januari 2016   01:24 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[/caption][caption caption="The Girl (from www.bestwhitedress.com )"][/caption]Namaku Namal, Bujangan semester 8 di salah satu Universitas Favorit di Bandung. Hobiku melihat sesuatu yang indah, terutama wanita cantik, setiap ngeliat wanita cantik, aku selalu bersemangat untuk menafkahinya. Selama kuliah, aku selalu mencoba hal-hal baru, keluar dari zona nyaman untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

Sabtu pagi di bulan Januari, aku sedang berada di rumah mewah milik temanku, di Lembang, Bandung. Rumah berlantai 3 dengan luas 800 m2, menawarkan pemandangan alam yang natural, tak lupa udara segar yang memanjakan paru-paru. Setelah lulus SMA, teman-temanku melanjutkan perjuangan ke jenjang lebih tinggi. Menggapai mimpi. Melawan kehidupan yang lebih keras, utamanya tugas yang lebih banyak dari biasanya. Karena kesibukannya masing-masing, sulit untuk kami berkumpul semua. Tapi kali ini berbeda, kami bisa berkumpul semua di rumah mewah itu. Biar kuperkenalkan temanku satu per-satu.

Reki, sudah lulus kuliah. Pemilik rumah mewah tempat kami berkumpul, orang tuanya baru beberapa bulan ini pindah ke Lembang, Reki sendiri belum terlalu tahu Bandung, khususnya tentang dunia malam yang menjadi kesenangannya.

Rasdi, sudah lulus kuliah dan sudah bekerja, pendiam dan tidak neko-neko. Putas, kuliah di Surabaya, semester 8, ga kuat kalau ngeliat wanita cantik nan-sexy, bawaannya pengen kenalan. Igar, kuliah di Jakarta, semester 8, jago memberikan harapan palsu kepada wanita.

Ya, kami ber-lima sudah berkawan semenjak SMA. Sejarah panjang terukir dalam perkawanan kami, yang selalu menjadi bahan obrolan setiap berkumpul. Cerita yang akan dikisahkan ke anak-anak kami kelak.

Pagi itu aku, Reki, dan putas duduk di halaman belakang rumah. Tempatnya asik, ada kursi-kursi dari bambu, kolam ikan, saung dengan luas 5x6 m2, meja billiard, mini bar lengkap dengan alat-alat pembuat kopi. ”Mal, ntar malam ajep ajep lah, lu kuliah udah mau beres tapi belum pernah ajep-ajep,” ucap Reki kepadaku memulai obrolan pagi. Aku memang tidak suka dengan clubbing/dugem. Aku tau kalau di tempat clubbing itu cewenya cantik-cantik, apa lagi kalau di Bandung. Setiap kali diajak clubbing oleh teman-temanku di kampus, aku selalu menolaknya. Entah mengapa kali ini berbeda. Omongan Reki benar, lumayan buat nambah-nambah cerita hidup, tapi kalau clubbing identik dengan minuman beralkohol. Aku tidak mau meminumnya.

”Haha kan lu tau sendiri gua ga suka clubbing, gua kan ga suka minum-minuman alkohol gitu Ki,”

”Lah selow Mal, lu ga usah minum yang kayak gitu, lu pesen co*a *ola aja,” ujar Reki sambil menyalakan sebatang rokok.

”Lagian Mal, cewenya itu gurih-gurih, apa lagi di Bandung, ga akan ngecewain deh,” ucap Putas yang dari tadi hanya asik main handphone. Ia melanjutkan, ”udeh Mal, ayoklah sekalian gua mau membuktikan kesexyan cewe Bandung.”

”Ah, elu Tas, kalo cewe aja selalu nomor satu, lu kata rumus harus dibuktiin,” ucapku yang mulai yakin bahwa malam ini akan menjadi pengalaman pertamaku masuk ke club malam. Aku melanjutkan, ”ya udah ayok dah, itung-itung buat pengalaman, tapi gua ga akan minum yang gitu-gitu yak.”

”Nah gitu dong Mal, kegaulan dan ke-kerenan lu ga akan mencapai 100% kalo belum clubbing,” ujar Reki. Putas masuk ke dalam rumah, menuju kamar untuk membangunkan Igar dan Rasdi. Tinggalah aku berdua dengan Reki.

”Mal, tapi gua ga tau tempat yang asik buat ajep-ajep di sini, gua kan sukanya ajep-ajep di Jakarta, kalo di Jakarta udah semua gua cobain.”

”Lah selow, gua memang belum pernah clubbing, tapi gua tau tempat-tempatnya, kan temen-temen gua di kampus banyak yang suka ajep-ajep juga,” aku memang belum pernah clubbing, tapi sedikit banyaknya aku tahu tempat-tempat clubbing yang asik di Bandung.

”Wah, mantap, terus kemana mal kita malam ini?”

”Kita ke The Feyeumpuan, itu tempat clubbing yang lagi ngehits di kalangan anak muda Bandung, kata temen gua, cewe-cewe yang datang ke situ ratingnya di atas 7”

”Bentar gua searching dulu di google,” Reki langsung memegang handphonenya. Tak lama ia melanjutkan, ”Cocok nih, tempatnya juga asik gitu, ya udah ke The Feyeumpuan aja.”

Aku menyeruput teh hangat yang sudah disediakan di hadapanku, tak lupa menyalakan sebatang rokok sebagai teman dari teh hangat yang melengkapi segarnya udara pagi di Lembang. Putas kembali ke halaman belakang bersama Igar dan Rasdi.

”Waduh kalo udaranya kayak gini sih, gua betah bangun pagi,” ucap Igar sambil menyambar rokok yang ada di hadapan Reki.

”Hetdah, lu cuci muka dulu ngapa Gar,” ucap Reki yang masih asik searching tentang kehidupan malam di Bandung.

”Ngerokok bangun tidur sebelum cuci muka bisa menambah keperkasaan lu,” ujar Igar sambil tertawa. Untung Igar bukan Mahasiswa Kedokteran, kalau ia Mahasiswa Kedokteran, bisa hancur dunia medis dengan teori ngaconya.

”Pengumuman penting nih. Ntar malem kita ajep-ajep bro, di The Feyeumpuan, udah lama kan kita ga party-party,” Ujar Reki dengan semangat.

”Lah, kan si Namal ga main ke tempat kaya gitu Ki,” Ucap Rasdi yang sedari tadi hanya diam menatap kolam ikan, sepertinya ia lapar.

”Tenang Di, si Namal udah setuju kok, dia mau cari pengalaman,” jawabanku sudah terwakilkan oleh Reki. Ia melanjutkan. ”Pokoknya ntar malem, lu semua haram hukumnya buat ngeluarin duit sepeserpun, semua biaya gua yang nanggung. Kalo WC nya bayar, gua yang bayarin,” ya begitulah Reki, ia selalu royal.

***

Jam dinding menunjukan pukul 18.30. Kami sudah bersiap dengan pakaian terbaik, pakaian yang menurut kami mampu membantu menaklukan kerasnya dunia malam. Rencanaya sebelum ke The Feyeumpuan, kami akan makan malam di Dago, di sebuah café, namanya Gumelis. Café itu bergaya vintage atau jadul, dengan dinding yang catnya sengaja dibuat terkelupas, atapnya pun sangat tinggi, lampion-lampion kuning yang menyinari ruangan, tak lupa meja dan kursi dari kayu jati berwarna coklat tua. Foto-foto hitam putih tahun 1950’an yang terpajang di dinding dan musik kroncong yang diputar berulang-ulang melalui piringan hitam menambah suasana jadul makin terasa. Sungguh kreatif sang pemilik Gumelis.

Kami makan dengan lahapnya. Putas sampai nambah dua kali, ”Tas, lu laper apa doyan?” Tanya Igar. ”Lah harus banyak makan, persiapan malam ini, biar aura dancing gua keluar semua,” kami semua tertawa mendengar jawaban Putas. Nampaknya aku betah berada di Gumelis, aku seperti berada di tahun kemerdekaan, membayangkan sekarang sedang berbincang dengan para pejuang yang merayakan kemenangan.

”Yuk cabut, udah jam 21.30 nih, keburu rame, kan malem minggu. Mal, lu yang bawa mobil yak, kan lu yang tau jalan Bandung,” Ujar Reki memecah lamunanku. ”Siap bro!”

Seperti malam minggu pada biasanya, jalanan Bandung ramai. Komunitas motor memarkir motornya dengan rapih di pinggir jalan. Romantisme dua sejoli yang duduk santai di sudut jalan merebak dimana-mana. Ah Bandung, sungguh hidup dirimu.

Tak butuh waktu lama, hanya 30 menit kami sudah sampai di The Feyeumpuan. Tempat clubbing itu sudah ramai, bahkan kami pun sulit untuk mencari tempat parkir mobil.

Setelah mobil terparkir, kami semua turun dan berjalan menuju The Feyeumpuan. Di depan pintu masuk sudah banyak anak muda yang mengantri. Ternyata The Feyeumpuan sudah penuh, mereka yang mengantri juga sedang kebingungan, karena tidak bisa masuk ke dalam. ”Ki, lu sama anak-anak tunggu sini dulu, gua coba ngbrol sama sekuriti, siapa tau kita bisa masuk,” teman-temanku mengangguk setuju, kulihat wajah mereka seperti putus harapan karena kebahagiaan mereka malam ini terancam terenggut.

”Mal, lu lobi aja, nih 500 ribu, kalo mereka ribet, bayar aja,” Reki menyodorkan uang 500 ribu kepadaku. ”Siap Ki, selow tunggu aba-aba dari gua,” aku berjalan menghampiri sekuriti yang berjaga. Sekitar empat orang berbadan besar menggunakan pakaian safari hitam khas penjaga keamanan. Berdasarkan perkiraanku ada sekitar 40 anak muda yang menanti di antrian, berharap bisa masuk ke dalam.

Aku berbicara menggunakan bahasa Sunda dengan salah seorang sekuriti yang menurutku ialah pimpinannya. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kira-kira artinya seperti ini.

”Pak, maaf, numpang tanya. Udah ga bisa masuk ke dalam ya pak?”

”Iya dek, ga bisa, soalnya udah penuh di dalamnya.”

”Kalau mau open table juga tetep ga bisa pak?”

”Iya tetep ga bisa, coba tadi datangnya jam 20.00, pasti bisa masuk,” Ah, ternyata kita telat. Terpaksa jalan duit kalau udah begini.

”Ga bisa diusahain ya pak, saya cuman berlima kok pak, ini ada 300 ribu pak,” ucapku sambil bercanda.

”wah kalau itu bisa diusahakan de, sebentar saya ngomong dulu dengan teman saya,” sekuriti itu menghampiri temannya. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan.

Tiba-tiba ada cewe cantik, berkulit putih mulus, rambut panjang, berbadan sintal seperti gitar Spanyol, lipstick menggoda, menggunakan legging hitam panjang, baju tipis pendek dengan perut terbuka, bersepatu sneaker berdiri tidak jauh di sampingku. Aku tidak terlalu memperhatikannya karena dari tadi aku sibuk berbicara dengan sekuriti, namun sebagai lelaki normal, wajar sesekali aku melihatnya, sambil menunggu Sekuriti yang masih berbicara dengan temannya.

”Dek iya bisa masuk, tapi lebihin 50 ribu ya?” sekuriti itu kembali dengan tawaran lebih tinggi. Aku pun menyanggupinya. ”Ya sudah pak jadi 350 ribu.”

”Tapi teman-teman adek memakai sepatu dan celana panjang semua kan?” Aku langsung melihat teman-temanku dari jauh, mereka sedang duduk di motor yang terparkir. Kupandangi mereka satu-persatu. Sial! Ternyat Putas memakai sandal.

”Ada satu pak yang pakai sandal, gapapa ya pak, dia pakai celana panjang kok pak,” ujarku meminta.

”Waduh, gimana ya dek, udah peraturannya ga boleh ada yang memakai sandal,” tanpa pikir panjang, langsung kunaikan tawaranku menjadi 500 ribu.

”Pak, gimana kalau saya bayar 500 ribu, tapi teman saya yang memakai sandal diijinkan masuk,” aduh, padahal kalau tidak penuh begini, masuk tinggal masuk ga harus nyogok sekuriti. Sesalku.

”Sebentar dek, saya obrolin dulu dengan teman saya,” sekuriti itu kembali menghampiri temannya.

Sekuriti ini nampaknya tidak bisa mengambil keputusan sendirian. Sebelumnya ia hanya mengobrol dengan seorang temannya sesama sekuriti, sekarang malah berunding bertiga. Ah, aku jadi malas kalau begini, niatku untuk merasakan clubbing tiba-tiba mengendur.

”Aa, mau masuk ke dalam juga ya?” suara cewe berbaju tipis perut terbuka itu mengagetkanku, bagaimana tidak, ia berbicara sambil mendekatkan mukanya ke kupingku, suaranya mendesah. ”Iya teh, teteh juga mau masuk ke dalam?” ujarku sambil menjaga jarak dengannya.

”Emang udah diijinin masuk ke dalam gitu a?” Aa adalah panggilan dalam bahasa sunda untuk laki-laki, artinya bisa kakak, abang, atau mas. Terkadang bisa disingkat hanya a saja. Cewe itu kembali mendekat, kali ini ia tempelkan payudara bagian kirinya ke pundakku dan berbicara sambil mendekatkan mukanya ke telingaku. Aku memang suka dengan wanita cantik seperti ini, tapi kenapa tiba-tiba jadi rishi begini. Aku kembali menjaga jarak.

”Belum teh ini lagi diusahain, teteh ke sini sendirian?”

”Aku bertiga a, sama temen, tuh temanku,” ia menunjuk ke arah samping dengan telunjuk kanan, dan kembali payudara kirinya, ia tempelkan ke pundak kananku, kali ini aku yakin ia sengaja.

Tak kukira ternyata temannya juga sama cantiknya, yang satu berambut panjang, mengenakan dress hitam yang menutupi tubuhnya hanya sampai bagian paha, dengan high heels hitam dan lesung pipi yang menusuk. Yang satu lagi berambut pendek, mengenakan kaos putih tipis dimasukan kedalam rok pendek yang kelewat pendek, sepatu sneaker dan sedang menghisap sebatang rokok. Jika kuperkirakan, mereka semua masih mahasiswa.

”Oh iya namaku Namal,” aku mengajaknya bersalaman dan merubah posisiku yang tadinya bersampingan menjadi berhadapan dengannya.

”Oh aku Silvi, itu nama asli aku, kalo ga percaya ini aku liatin KTM (kartu tanda mahasiswa) punyaku.”

”Ga usah, aku percaya kok, seloww, Namal juga nama asliku kok,” ah Silvi tersenyum. Indah sekali senyumnya, ditambah suaranya yang mendesah, jarang sekali aku temui wanita yang tipe suaranya mendesah.

”Namal, aku sama temen-temenku boleh ikut gabung ga, kalo misalkan kamu bisa masuk,” pintanya dengan ekspresi muka manja dan suaranya kali ini meyakinkanku memang mendesah tanpa dibuat-buat. Keimanan bisa goyah ini.

”Iya boleh kok, tapi aku ke sini bareng-bareng sama empat orang temanku, gapapa?”

”Wah makin asik, nanti kita semua bisa kenalan,” ucapnya kegirangan. Ia melanjutkan ”Namal, aku ga munafik, kamu sama teman-teman kamu ga usah harus ngemodus atau ngelobi aku sama temenku, cukup bayarin kita minum aja. Kita tahu kok isi pikiran cowo kalo di tempat kayak gini,” Silvi tertawa.

”Haha emang pikirannya apa?”

”Ga usah pura-pura ga tau, asal jam 10 pagi udah anterin kita ke kostan, soalnya tadi aku ke sini naik taksi, mobilku masuk bengkel,” Aku paham maksudnya, hebat juga cewe ini, langsung blak-blakan seperti ini. Kali ini keimananku mendadak menipis.

”Wah kan tempat ini tutupnya jam setengah tiga pagi, kok harus jam 10 pagi nganterinnya? Emang mau kemana dulu” Aku berusaha memancing agar ia berbicara lebih blak-blakan. Rame juga pikirku.

”Mau ke hotel, losmen, kostan, rumah asal ga di semak-semak aja, kalo di semak-semak takut banyak ular beneran datang,” ia tertawa nakal. ”Namal, ikut yuk, aku kenalin sama teman-temanku,” tangan kanannya menarik tangan kiriku untuk mengikuti langkahnya.

”Bentar Vi, aku lagi nunggu kepastian sekuritinya, antara boleh masuk atau ngga,” aku melepas tangannya. Ia kembali berdiri di sampingku. Sekuriti pun kembali menghampiriku.

”Dek maaf kayaknya ga bisa masuk, tadi sudah saya obrolkan dengan teman saya. Di dalam lagi ada manager-managernya, kalau ketauan ada yang pakai sandal, saya yang kena marah, maaf ya dek ga bisa bantu,” sekuriti itu langsung meninggalkanku menuju ke dalam.

”Yaaa, ga bisa masuk ya Mal, ga bisa minum-minum lucu dong, ga bisa saling menghangatkan dong” Silvi berbicara dengan manja sambil menyandarkan kepala di bahu kananku. Aku langsung melangkah ke samping, menghindari sandarannya. Bahaya juga wanita ini, aku jadi curiga, jangan-jangan ada maksud terselubung. Mana ada wanita yang blak-blakan seperti ini. Kalau bukan sundal pasti penipu.

”Iya Silvi, kayaknya aku dan teman-temanku bakal langsung pulang aja,” aku berbohong untuk menghindari rayuan-rayuan manis sundal ini.

”Pulangnya kemana? Kita ikut yaa, malam masih panjang kok,” nada bicaranya semakin nakal dan mendesah. Jika teman-temanku tahu pasti mereka senang, tapi bagaimana jika sundal ini benar penipu atau menjebak kita. Patut dicurigai.

”Kita mau langsung ke pulang ke Jakarta, ”aku berbohong demi kebaikan. Ia terdiam, aku melanjutkan, ”kamu mau ikut ke Jakarta? Tapi pulangnya naik bis atau travel sendiri ya,” ancamku.

”Yaa jauh, yaudah pinjem hape kamu?”

”Buat apa minjem hape ?” Makin ngaco saja sundal ini.

”Buat tulisin nomorku, siapa tau besok-besok kita bisa clubbing bareng,”

”Hapeku lowbat, makanya dari tadi aku ga ngeluarin hape,” aku kembali berbohong.

”Ya udah id L*NE kamu apa, sini aku invite,” memaksa sekali sundal ini. ia melanjutkan, ”kalau ga bayarin minum sambil clubbing juga gapapa asal tempat kamu yang nanggung, sama uang kepuasannya jangan lupa,” ia tertawa sambil meraih handphone di tasnya. Ah benarlah dugaanku, ia sundal. Yasudah biar cepat, aku kasih id L*NE ku yang sudah tidak aktif karena handphone nya dijual.

”Silvi aku duluan ya, kasian teman-temanku udah nungguin,” aku langsung beranjak meninggalkannya. Dengan cekatan ia meraih tangan kiriku ”Mal, kalau mau main 1 lawan dua juga aku siap, kabarin aja,” ia melepas tanganku dan melambai padaku.

Aku kembali menghampiri teman-temanku, kulihat jam tanganku sudah menunjukan jam 22.30. hampir setengah jam aku berbicara dengan sekuriti dan sundal bersuara mendesah itu.

”gimana Mal? Bisa masuk kita? Udah ga kuat nih pengen goyang,” ujar Putas.

”Sorry nih, gua udah berusaha, tapi kita ga bisa masuk, tadi udah berhasil tawar-menawarnya, tapi karena Putas pakai sandal, jadi ga boleh masuk. Gua udah lobi tapi tetep aja,” aku melihat ekspresi kekecewaan teman-teman ku.

”Yaudah selow, masih jam setengah sebelas ini, Mal dimana lagi tempat yang asik selain di sini?” Ucap Reki.

”Gua ga tau Ki, coba bentar gua searching dulu, tapi ntar kasusnya kayak gini lagi, penuh lagi,”

”Selow gua coba telepon kenalan gua di Bandung. Doi udah hatam banget sama kehidupan malam di Bandung, kalo ga salah doi punya kenalan orang yang punya tempat clubbing di Bandung, tapi gua lupa nama tempatnya,” ujar Igar.

”Lah lu Gar, bukan dari tadi. Coba sekalian lu ajakin aja orangnya,” Reki kembali bersemangat.

Aku tidak menceritakan sundal tadi ke teman-temanku, biarlah aku sendiri yang tahu. Aku takut jika diceritakan, nantinya mereka terkena tipu daya sundal itu. Kuperhatikan sundal itu dari jauh, benar saja. Ia sedang menggoda korbannya, kali ini bukan Silvi yang maju melainkan temannya yang berambut pendek. Aku rasa namanya juga bukan Silvi, coba tadi kulihat KTM nya. Andaikan betul ia mahasiswa, mana mungkin juga ia mau menunjukan KTM nya kecuali ia benar-benar sundal sejati yang sudah tidak mementingkan harga diri. ”Dasar sundal bersuara mendesah,” pekikku tanpa sadar.

***

Berlanjut…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun