”Tenang Di, si Namal udah setuju kok, dia mau cari pengalaman,” jawabanku sudah terwakilkan oleh Reki. Ia melanjutkan. ”Pokoknya ntar malem, lu semua haram hukumnya buat ngeluarin duit sepeserpun, semua biaya gua yang nanggung. Kalo WC nya bayar, gua yang bayarin,” ya begitulah Reki, ia selalu royal.
***
Jam dinding menunjukan pukul 18.30. Kami sudah bersiap dengan pakaian terbaik, pakaian yang menurut kami mampu membantu menaklukan kerasnya dunia malam. Rencanaya sebelum ke The Feyeumpuan, kami akan makan malam di Dago, di sebuah café, namanya Gumelis. Café itu bergaya vintage atau jadul, dengan dinding yang catnya sengaja dibuat terkelupas, atapnya pun sangat tinggi, lampion-lampion kuning yang menyinari ruangan, tak lupa meja dan kursi dari kayu jati berwarna coklat tua. Foto-foto hitam putih tahun 1950’an yang terpajang di dinding dan musik kroncong yang diputar berulang-ulang melalui piringan hitam menambah suasana jadul makin terasa. Sungguh kreatif sang pemilik Gumelis.
Kami makan dengan lahapnya. Putas sampai nambah dua kali, ”Tas, lu laper apa doyan?” Tanya Igar. ”Lah harus banyak makan, persiapan malam ini, biar aura dancing gua keluar semua,” kami semua tertawa mendengar jawaban Putas. Nampaknya aku betah berada di Gumelis, aku seperti berada di tahun kemerdekaan, membayangkan sekarang sedang berbincang dengan para pejuang yang merayakan kemenangan.
”Yuk cabut, udah jam 21.30 nih, keburu rame, kan malem minggu. Mal, lu yang bawa mobil yak, kan lu yang tau jalan Bandung,” Ujar Reki memecah lamunanku. ”Siap bro!”
Seperti malam minggu pada biasanya, jalanan Bandung ramai. Komunitas motor memarkir motornya dengan rapih di pinggir jalan. Romantisme dua sejoli yang duduk santai di sudut jalan merebak dimana-mana. Ah Bandung, sungguh hidup dirimu.
Tak butuh waktu lama, hanya 30 menit kami sudah sampai di The Feyeumpuan. Tempat clubbing itu sudah ramai, bahkan kami pun sulit untuk mencari tempat parkir mobil.
Setelah mobil terparkir, kami semua turun dan berjalan menuju The Feyeumpuan. Di depan pintu masuk sudah banyak anak muda yang mengantri. Ternyata The Feyeumpuan sudah penuh, mereka yang mengantri juga sedang kebingungan, karena tidak bisa masuk ke dalam. ”Ki, lu sama anak-anak tunggu sini dulu, gua coba ngbrol sama sekuriti, siapa tau kita bisa masuk,” teman-temanku mengangguk setuju, kulihat wajah mereka seperti putus harapan karena kebahagiaan mereka malam ini terancam terenggut.
”Mal, lu lobi aja, nih 500 ribu, kalo mereka ribet, bayar aja,” Reki menyodorkan uang 500 ribu kepadaku. ”Siap Ki, selow tunggu aba-aba dari gua,” aku berjalan menghampiri sekuriti yang berjaga. Sekitar empat orang berbadan besar menggunakan pakaian safari hitam khas penjaga keamanan. Berdasarkan perkiraanku ada sekitar 40 anak muda yang menanti di antrian, berharap bisa masuk ke dalam.
Aku berbicara menggunakan bahasa Sunda dengan salah seorang sekuriti yang menurutku ialah pimpinannya. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kira-kira artinya seperti ini.
”Pak, maaf, numpang tanya. Udah ga bisa masuk ke dalam ya pak?”