Mohon tunggu...
Anta Nasution
Anta Nasution Mohon Tunggu... Ilmuwan - Laut Biru

Ocean never betray us! Ocean doesn't need us, indeed we need ocean.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Dari Timur: Salah Paham Bahasa

26 Januari 2016   17:34 Diperbarui: 26 Januari 2016   17:55 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu bulan Agustus 2015, cuaca cerah, matahari pagi menyapa dengan hangatnya. Tidak seperti agustus tahun sebelumnya yang sudah memasuki musim penghujan. Aku sedang berada di Pulau Bacan, Halmahera Selatan. Daerah asal batu bacan yang sempat menjadi primadona batu akik di Indonesia.

Pagi hari, aku sudah berada di pelabuhan perikanan. Kapal-kapal penangkap ikan mulai berlabuh satu demi satu, kuperhatikan wajah sumringah nelayan, yang aku duga hari ini ia memperoleh banyak ikan. Tak luput wajah-wajah tidak bersemangat dengan sebatang rokok diselipkan pada kuping kanannya, berjalan turun dari kapal, kuduga mereka tidak mendapatkan hasil tangkapan yang memuaskan.

Kulihat bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkumpul di tempat pelelangan ikan hasil tangkapan tadi malam. Sebuah bangunan pinggir laut, tempatnya terbuka tanpa ada satu pun jendela atau pintu, luasnya sekitar 10 x 8 m. Di tengah bangunan ada alat penimbang dan box tempat ikan diletakan. Suara riuh tawar menawar ikan pun terdengar jelas. Bapak-bapak dan ibu-ibu tersebut adalah tengkulak, orang yang membeli ikan langsung dari nelayan dan menjualnya kembali di pasar.

Tujuanku mendatangi pelabuhan perikanan bacan adalah untuk survey langsung ke nelayan. Aku ingin mendengar keluhan dan problematika manusia yang menggantungkan hidupnya di laut. Indonesia mempunyai luas 9 juta KM2 dengan luas daratan hanya 1/3 nya. 2/3 adalah lautan, sungguh negara yang makmur.

Setelah mengobrol dengan pegawai pelabuhan perikanan untuk menyampaikan maksudku, aku langsung mendatangi salah satu kapal penangkapan ikan.

Aku harus berbicara dengan sang kapten kapal, barulah setelahnya aku bisa berbicara dengan ABK (anak buah kapal). Aku naik ke kapal dari bagian samping, memang butuh sedikit perjuangan, kapal yang kunaiki tidak parkir menempel dengan dermaga.

"Assalamualaikum, permisi," ucapku kepada seorang nelayan yang tengah duduk di pinggir kapal.

"Wa’alaikumsalam," ucapnya yang sedikit keheranan melihatku. Kondisi kapal saat itu sedang sepi, ABK sedang ke daratan mengurusi perbekalan untuk pelayaran berikutnya.

"Saya Anta pak, mahasiswa dari Bandung, kalau Kapten kapalnya ada pak?" Tanyaku dengan sopan.

"Saya," jawabnya dengan nada halus dan berbicara sambil sedikit menunduk. Bapak ini mengenakan kaos partai, celana pendek, berbadan tegap, kulitnya sawo matang, namun berwajah dingin, dari awal kutemui wajahnya selalu tidak berekspresi. Aku yakin, memang pembawaannya seperti itu.

Ah senang hatiku, orang pertama yang kutemui ternyata sang Kapten kapal. "Oh iya pak, gini, saya mau tanya-tanya sedikit untuk penelitian saya, seputar penangkapan ikan disini. Kalau boleh tau bapak sudah berapa tahun jadi Kapten?"

"Saya bukan Kapten kapal," jawah bapak itu, yang membuatku heran, mengapa jawabannya kontra dengan jawaban sebelumnya. Ah, mungkin bapak ini sedang bercanda, siapa saja bisa bercanda, orang dengan wajah tanpa ekspresipun pasti juga bisa bercanda, tapi mungkin candaannya sedikit berbeda, pikirku.

"Oh iya pak hehehe, tadi kata bapa Kapten kapalnya bapa," tanyaku kembali dengan sedikit tawa untuk memecah ketegangan.

"Saya Bas di kapal ini," tadi bapak ini bilang Kapten, sekarang bas, mungkin berikutnya dia mengaku sebagai pemilik kapal.

"Oh bapak Bas, tapi Kapten kapalnya ada pak?" Tanyaku kembali, mengikuti alur candaannya.

"Saya," dia kembali menjawab dengan berbicara sambil sedikit menundukan kepalanya. Aku semakin masuk dalam candaannya yang masih belum aku pahami, aku hanya tersenyum, akan kuladeni candaannya.

"Oh hebat pak! Jadi bapak Kapten sekaligus Bas, lebih efisien itu pak, bapak jadi Bas dulu baru jadi Kapten atau Kapten dulu baru Bas?" Ujarku dengan sedikit senyum, seraya salut dengan bapak ini yang double degree Kapten dan bas.

"Saya sudah menjadi Bas dari awal ikut ke kapal ikan," ujarnya yang masih tidak menunjukan senyumnya.

"Oh gitu, berkarir ya pak, jadi Bas baru jadi Kapten, kalau ditotal udah berapa tahun pak jadi basnya?" Tanyaku perlahan dan berharap agar si bapak mengakhiri candaannya.

"20 tahun," katanya.

"Wah lama juga ya pak, berarti udah bersahabat dengan mesin kapal ya pak?" Tanyaku yang masih yakin bahwa bapak ini akan mengakhiri candaannya pada ucapannya kali ini.

"Saya," jawabnya pendek dengan berbicara sambil sedikit menunduk.

Ah ga asik, tidak seperti nelayan yang lainnya, yang asik diajak ngobrol. Aku tanya apa, dijawabnya saya. Sungguh tidak nyambung. "Bapak sudah berapa lama jadi kapten?" Tanyaku lagi, yang mulai dirundung kebosanan.

"Saya bukan Kapten, saya Bas, Kaptennya yang pakai baju biru di dekat dapur," bapak berwajah dingin ini berbicara sambil menunjuk ke arah belakang kapal, tempat dapur berada.

"Oh iya pak, kalau gitu saya langsung ketemu Kaptennya saja ya pak?" Tanyaku dengan nada sedikit kesal.

"Saya," jawabnya dengan berbicara sambil sedikit menunduk.

Dari tadi saya, saya, saya. Aku bingung, apa maksudnya. Aku berjalan menyusuri lorong kapal menuju dapur, kulihat bapak setengah baya mengenakan kaos biru, celana panjang, sedang asik menelepon sambil mondar-mandir di depan dapur, wajahnya tidak dingin seperti orang yang kutemui sebelumnya. Karena kulihat ia terus ketawa sepanjang percakapannya di telepon.

Aku tidak mau dibercandai seperti tadi, untuk memastikan bahwa bapak berbaju biru itu adalah kapten, aku putuskan untuk bertanya pada orang yang sedang memasak di dapur. "Pak permisi, mau bertanya, kalau bapak yang berbaju biru itu Kapten kapal ini ya pak?" Tanyaku dengan diakhiri senyum di akhir ucapan.

"Saya," jawabnya pendek dengan berbicara sambil menunduk dan tersenyum di akhir ucapannya.

Ah, aku tau, dia akan mengaku kalau dia koki sekaligus kapten kapal, dari pada panjang lebar seperti tadi, aku langsung bertanya untuk memastikan lagi.

"Oh jadi Kaptennya bapak ya? Bukan yang berbaju biru itu?"

"Saya bukan Kapten mas, saya koki, Kaptennya benar mas, yang berbaju biru itu yang sedang menelepon," ia menjawabnya dengan ramah sambil terus asik memasak daging ikan tuna cincang.

"Oh iya pak makasih, jadi bapak berbaju biru itu Kapten kapal ini?" Tanyaku kembali memastikan.

"Saya," jawabnya dengan berbicara sambil menunduk.

Aku mulai suudzan, aku putuskan untuk turun dari kapal ini. Aku takut ketika berbicara dengan bapak berbaju biru itu, nantinya akan semakin dibercandai, yang bermuka dingin saja bercandanya seperti itu. Jangan-jangan nanti aku tanya kaptennya dimana, dia jawab sedang menyelam di tengah laut.

Aku turun dari kapal, berjalan ke kantor pelabuhan perikanan, melewati para tengkulak yang masih sibuk tawar-menawar ikan. Aku berniat meminta tolong pegawai pelabuhan perikanan untuk menemaniku mengobrol dengan Kapten kapal, aku ceritakan kejadian yang kualami tadi. Kejadian yang membuatku bingung akan candaan orang-orang di sini.

Setelah diceritakan, pegawai yang kutemui malah tertawa terbahak-bahak, aku semakin bingung, bahkan bingungku sudah sampai ke ubun-ubun.

"Kok bapak malah ketawa?" Tanyaku.

"Mas, orang yang mas temui pasti bilang 'saya' nya sambil sedikit menunduk kan?" Pegawai pelabuhan perikanan itu kembali bertanya kepadaku.

"Iya pak, semuanya selalu menjawab saya dengan sedikit menunduk," jawabku yang keheranan, mengapa bapak ini bisa tau.

"Itu artinya bukan saya seperti aku atau gua kalau kata orang Jakarta, 'saya' itu artinya iya atau ada atau benar, itu jawaban yang sopan mas, kalau di orang sunda biasanya bilang 'sumuhun', jadi mas salah perkiraan, mereka bukan bercanda tapi menghormati mas, itu bahasa yang sangat halus mas," ujarnya sambil kembali tertawa melihat keluguanku.

"Oh iya pak saya mengerti, ya sudah pak saya mohon ijin mau kembali ke kapal itu,"

"Oke mas, sekarang sudah mengerti kan?" Tanya pegawai pelabuhan perikanan kepadaku.

"Saya," jawabku sambil sedikit menunduk. Bapak itu kembali tertawa dan aku berjalan kembali ke kapal itu.

Sesampainya di kapal, aku langsung menemui bapak berbaju biru itu.

"Pak permisi, saya anta, mahasiswa dari Bandung, mau bertanya-tanya seputar penangkapan ikan pak," tanyaku dengan halus.

"Saya," jawab bapak berbaju biru.

"Bapak kapten di kapal ini ya pak?" Tanyaku.

"Saya," ia menjawab dengan menunduk dan tersenyum. "Jauh banget dari Bandung, kalau di Bandung cewenya cantik-cantik ya mas, eh kang maksudnya, kan orang Sunda dipanggilnya akang bukan mas ya?” Bapa berbaju biru itu tertawa.

"Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga sama Kapten kapal. Iya pak cantik-cantik, cewe Bandung terkenal juga ya sampai ke Timur Indonesia," jawabku dengan tersenyum sumringah.

"Wah, saya berasa artis kang, akang sampai begitu bersyukurnya bisa ketemu saya, dulu sebelum saya nikah, saya punya mantan orang Bandung, cantik deh kang. Cuman saya diputusin," Kapten kapal tertawa sendiri.

Andai bapak ini tahu perjuanganku untuk bertemu dia. Akhirnya aku mendapat banyak cerita dari sang Kapten, ia bercerita banyak tentang keluh kesah perjuangan nelayan di sini. Obrolan kami dipenuhi dengan canda dan tawa. Kapten kapal ini sangat humoris dan baik, selesai mengobrol, aku dikasih oleh-oleh berupa dua ekor ikan tuna cakalang. Ia bilang buat dimakan, jangan dijual lagi.

Aku bersyukur, Negaraku mempunyai bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia. Tidak bisa kubayangkan apabila Negara yang begitu kaya akan bahasa daerahnya ini jika tidak memiliki bahasa pemersatu, pastinya akan sulit berkomunikasi. Tidak mungkin kan jika dalam suatu Negara untuk berbicara dengan orang di daerah lain yang masih termasuk satu Negara, tapi berbicaranya dengan bahasa Inggris.

Oh daerah Timur, lautmu begitu indah dan bersih, aku bangga pernah melihatmu.

NB : ‘Bas’ adalah sebutan untuk montir mesin kapal penangkapan ikan di sana.

[/caption][caption caption="Nelayan Pulau Bacan sedang memotong daging ikan tuna cakalang"][/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun