"Kau tahu ia pergi dengan baik, bukan? Ia sudah datang dan mengatakan semua yang ingin ia katakan."
Teko mulai berdesing dan menguarkan uap.
"Bu," kataku. "Aku belum mengatakan semua yang kuinginkan."
Dan ibu, yang tidak memalingkan muka dariku saat peristiwa kapal itu terjadi, kini menoleh. Dari semua kisah hantu yang ia punya, ada satu kisah yang tidak ingin ia ceritakan, satu teman yang tidak ingin ia jaga. Mereka ada di dapur bersama kami, hantu para pengungsi dan perompak, hantu kapal yang mengawasi kami dengan mata yang tak pernah tertutup, bahkan hantu seorang gadis---aku yang dulu, satu-satunya hantu yang ditakuti ibuku.
"Berceritalah, Bu," kataku. "Akan kudengar."
Ia dengan mudah menemukan suatu cerita, seperti dugaanku. "Pada suatu ketika, ada seorang wanita," ia memulai, "yang sangat mencintai suaminya, tentara yang menghilang dalam misi di kawasan musuh. Suaminya dilaporkan tewas; ia tak percaya.Â
Perang berakhir dan ia kabur ke negara lain, akhirnya menikah lagi setelah puluhan tahun kemudian. Ia bahagia sampai suatu hari, suami pertamanya kembali, bebas dari penjara setelah menjadi tahanan rahasia selama hampir tiga puluh tahun." Sebagai bukti, ibu menunjukkan potongan koran dengan foto wanita itu dan suami pertamanya, ketika bertemu kembali di bandara beberapa tahun lalu. Pandangan mata mereka tidak bertemu. Mereka terlihat malu, tak nyaman, sedih, dikelilingi para teman dan wartawan yang tak bisa melihat dua hantu yang juga hadir di pertemuan melankolis ini: bayangan mereka berdua di masa lalu.
"Cerita seperti ini terjadi berulang kali," kata ibu sambil menuangkan teh hijau. Pemanggilan arwah begini bisa jadi ritual malam kami yang baru; ibuku yang wanita tua dan aku sendiri yang memang sedang menua.
"Kenapa menulis kata-kataku?"
"Yah, seseorang harus melakukannya," jawabku, memangku catatan, siap dengan pulpen.
"Dasar penulis." Ia menggeleng, tapi kurasa sebetulnya ia senang. "Setidaknya kau tidak mengarang-ngarang cerita, seperti biasanya."