"Aturan kita tidak berlaku bagi hantu. Setiap hantu itu berbeda. Hantu baik, hantu jahat, hantu yang bahagia, hantu yang sedih. Hantu orang-orang yang mati saat tua, saat muda, saat kecil. Apa menurutmu kelakuan hantu bayi bakal sama dengan hantu kakek-kakek?"
Aku tak tahu apa-apa soal hantu. Aku tidak percaya hantu dan begitu pula orang-orang yang kukenal, kecuali ibuku dan Victor, meski ia sendiri mirip penampakan: kesedihan membuatnya pucat dan nyaris transparan, semburat warna hanya ada di rambut merahnya yang tak tersisir.Â
Bahkan dengan Victor, perkara dunia lain itu hanya dibicarakan olehnya dua kali, satu lewat telepon, satu di ruang tamunya---yang dibiarkan tak tersentuh sejak hari keluarganya berangkat ke bandara, debu-debunya yang menyedihkan pun tidak. Aku merasa jendelanya bahkan tak pernah dibuka sejak hari itu, Victor seperti ingin menyimpan udara yang dihirup anak istrinya sebelum mereka mengalami kematian yang naas itu, jauh dari rumah.
"Orang-orang mati akan pergi," ia pernah berkata, bergelung di kursinya, tangannya di antara paha. "Tapi orang-orang hidup, kita hanya tetap di sini."
Kata-kata itu menjadi pembuka bab terakhir memoarnya, yang kukerjakan setelah ibu tidur dan aku turun ke ruang bawah tanah yang diterangi lampu neon. Aku menulis satu kalimat, kemudian berhenti untuk mendengarkan kalau-kalau ada suara ketukan atau langkah di tangga. Ritmeku sepanjang malam jadi seperti itu: menulis beberapa baris lalu menunggu sesuatu yang tidak datang, begitu pula hari-hari berikutnya.Â
Bagian simpulan memoar Victor sudah di pelupuk mata, ketika ibu pulang dari salon kuku membawa kantong-kantong belanja dari Chinatown; satu kantong belanja harian, lainnya berisi baju dalam, sepasang piyama, celana jeans, jaket denim, sebungkus kaos kaki, sarung tangan rajut, satu topi baseball. Setelah menumpuknya di sebelah kaos dan celana yang telah kering dan disetrika, ibu berkata, "Kakakmu tak bisa berkeliaran dalam cuaca dingin begini hanya dengan baju yang kauberi, macam tunawisma atau imigran ilegal."
 Saat kubilang bahwa hal itu tak terpikirkan olehku, ia mendengus, jengkel dengan ketidakacuhanku atas kebutuhan hantu. Moodnya membaik setelah makan malam, karena aku tidak turun ke ruang bawah seperti biasa, tapi justru menonton sinetron yang banyak ia sewa, serial tentang orang-orang cantik Korea terjerat masalah percintaan. "Kalau tidak ada perang," ibu berkata pada suatu malam, "kita akan seperti Korea sekarang. Saigon akan jadi Seoul, ayahmu masih tetap hidup, kau menikah dan punya anak, dan aku jadi ibu rumah tangga, bukan tukang manikur."Â
Ia mengenakan rol rambut dan memangku semangkuk kuaci. "Aku akan menghabiskan hari berkunjung dan dikunjungi teman, dan ketika aku mati, seratus orang akan hadir di pemakamanku. Di sini, aku beruntung jika dua puluh orang datang, itupun jika kau mengurusi. Hal itulah yang paling menakutkan bagiku. Kau bahkan tak ingat untuk membuang sampah atau membayar tagihan. Kau bahkan tak mau keluar untuk berbelanja."
"Akan kuingat untuk mengurus arwahmu."
"Kapan kau bakal mengadakan upacara kebangkitan? Perayaan tanggal kematian? Apa yang bakal kau ucapkan di acara-acara itu?"
" Ya tuliskan, lah," jawabku. "Apa saja yang harus kukatakan."