Mohon tunggu...
Pendi Susanto
Pendi Susanto Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Penulis Buku, Pegiat Pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Marketplace, Quo Vadis Profesi Guru?

30 Juni 2023   22:03 Diperbarui: 3 Juli 2023   19:38 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru dan murid. (Foto: Syafbrani ZA/KOMPAS.COM)

Check out aku, Pak, bisa dibayar pakai Pay Later. Demikian salah satu guyon baru di kalangan pendidik. Mereka merespons wacana perekrutan guru dengan sistem Marketplace Guru.  

Lelucon bisa menjadi sarkasme ketika harus memilih takdir. Terutama bagi para guru honorer yang hingga saat ini belum mendapatkan secercah harapan. 

Marketplace Guru akhirnya mendapatkan banyak umpan balik negatif. Konsep kebijakannya "mungkin" baik, tetapi penggunaan istilah Marketplace kurang memiliki nuansa pendidikan. Memang, hal ini menimbulkan kesan eksploitasi dan bahkan ada guru yang merasa terhina.

Melalui sistem model checkout oleh sekolah yang disediakan dalam marketplace, akhirnya juga mengundang banyak pertanyaan. 

Apa yang terjadi jika  kepala sekolah membatalkan checkout guru, apakah harus ditaruh ke troli terlebih dahulu? Apakah tidak ada syarat lain yang dapat melindungi martabat guru? 

Pilihan kata Nadiem dalam politik menimbulkan pertanyaan tentang pemahamannya terhadap bahasa dan kepekaannya dalam konteks kebijakan pendidikan.

NILAI 'KESAN' MARKETPLACE

Nadiem Makarim pada 24 Mei 2023 mengusulkan kepada anggota Pansus DPR Istilah atau konsep marketplace guru ini kemudian dikritik oleh Pansus X DPR RI dan berbagai unsur pendidikan. 

Pasalnya, secara konseptual, gagasan yang ditawarkan tersebut pada dasarnya telah misleading terhadap hakikat guru itu sendiri. 

Guru sejatinya sebagai profesi terhormat yang bekerja di sektor publik dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mencapai tujuan pendidikan nasional.

Jika menyimak penjelasan Nadiem secara utuh, konsep marketplace guru terbilang ide out the box. Nadiem menilai sistem ini lebih efektif dan efisien bagi guru dan sekolah. 

Namun, sebelum kita mempelajari konsepnya lebih dalam, penamaan sistem tampaknya tidak tepat secara linguistik. Penamaan sebagian besar ceroboh dan menunjukkan ketidakpedulian.

Kesan dari kacamata bahasa Norman Fairclough, dalam bukunya Power and Language (2003), menjelaskan nilai pilihan kata dalam wacana. 

Setiap kata dapat memiliki tiga nilai. Nilai-nilai tersebut berupa nilai pengalaman (experimental values), nilai relasional (relational values) dan nilai ekspresif (expressive values).

Nilai-nilai eksperimen (experimental values) menunjukkan bahwa kata itu berarti ideologi, pengetahuan atau dari mana latar belakang dan lingkungan sosial seseorang berasal.

Nilai relasional (relational values) dikaitkan dengan kata-kata yang dapat menunjukkan hubungan sosial antara agen percakapan dan target mereka. Nilai ekspresi (expressive values) menunjukkan bahwa pilihan kata terkait erat dengan identitas sosial dan pandangan terhadap realitas.

Berdasarkan gagasan nilai-nilai empiris Fairclough, penggunaan istilah marketplace menunjukkan latar belakang Nadiem dalam berbisnis. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. 

Namun, perlu diingat bahwa Nadiem saat ini bukan lagi CEO Gojek, melainkan Menteri Pendidikan. Kebijakan pendidikan hendaknya meminimalkan istilah "ekonomi" yang dapat menimbulkan reaksi dan persepsi negatif di masyarakat.

Penggunaan istilah marketplace guru juga memberikan kesan buruk terkait dengan nilai relasi. Istilah ini menciptakan hierarki. Seolah-olah pemerintah menganggap guru sebagai "komoditas" sementara sekolah adalah konsumen. 

Dalam konteks ini, penunjukan program pendidikan bertujuan untuk menjadikan guru sebagai mitra sejajar dalam memajukan pendidikan. 

Dari segi nilai ekspresi, istilah Marketplace Guru memberikan kesan negatif. Profesi guru dipandang sebagai komoditas yang dijual dalam sistem. 

Namun, kita semua setuju bahwa mengajar adalah profesi mulia yang tidak dapat ditentukan atau ditolak berdasarkan permintaan.

Terlepas dari konsep politik yang ditawarkan, penggunaan istilah marketplace tidak cocok digunakan dalam kebijakan pendidikan. 

Kata tersebut tidak sesuai dengan konteksnya dan karena itu dievaluasi secara negatif. Terkadang kebijaksanaan diukur tidak hanya dengan tindakan, tetapi juga dengan pilihan kata dalam berkomunikasi.

AKAR DAN SOLUSI UNTUK MASALAH

UUGD Pasal 82 mengamanatkan bahwa pemenuhan kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik bagi para guru, harus sudah diselesaikan paling lama 10 tahun sejak berlakunya UUGD. 

Akan tetapi pemerintah sendiri telah melenceng jauh dari itu, sampai saat ini pun masih terdapat guru-guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik D-IV atau S-1 dan belum memiliki sertifikat akademik sebagai bukti keprofesionalannya.

Persoalan kepastian dan kejelasan status, karir, kesejahteraan dan perlindungan guru terlibat dalam kepemimpinan guru di Indonesia. 

Sebagai contoh masalah jenjang karir, kini berdasarkan Pasal 13 Peraturan Menristekdikti  Nomor 26 Tahun 2022 tentang Pendidikan Guru Penggerak, yang menyebutkan bahwa syarat menjadi kepala sekolah, pengawas sekolah, ataupun penugasan lain di bidang pendidikan harus tentang memiliki sertifikat guru penggerak. 

Di tengah pelaksanaan program guru penggerak yang belum optimal dan belum seluruh guru mengikuti program guru penggerak, persyaratan ini tentu berpotensi diskriminatif dan melangggar hak asasi manusia.

Belum lagi Pasal 6 (d) Permendikbud-Ristek No. 26 Tahun 2022 mengatur bahwa calon peserta pendidikan guru penggerak harus memenuhi persyaratan antara lain sisa waktu mengajar minimal 10 (sepuluh) tahun. Ketentuan ini tentu dapat menggagalkan proses pembelajaran, pengembangan profesi dan karir guru. 

Sebaliknya, berdasarkan Pasal 7 (1) (g) UUGD, disebutkan bahwa salah satu prinsip kompetensi profesional guru adalah kesempatan untuk mengembangkan keterampilan profesionalnya secara berkelanjutan melalui pembelajaran sepanjang hayat. Oleh karena itu, pembatasan keikutsertaan dalam program mobilisasi guru sangat diskriminatif dan melanggar aturan UUGD.

Aspek kesejahteraan dan kejelasan guru honorer melalui pengangkatan sebagai ASN masih menyisakan persoalan. 

Pembahasan Kemendikbud-Ristek tentang pengangkatan 1 juta guru sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) belum sepenuhnya tepat sasaran. 

Bahkan para guru yang telah lolos passing grade dalam seleksi PPPK di tahun sebelumnya pun masih banyak yang belum memperoleh penempatan. 

Oleh karena itu, perlu diupayakan untuk memperluas dan memperbanyak proses rekrutmen guru sebagai ASN dan memastikan penempatannya selama lulus atau lolos passing grade. 

Kedepannya, sebaiknya Kemenristekdikti terlebih dahulu menyelesaikan akar permasalahan di atas. Alih-alih menambah masalah baru melalui debat politik yang kontroversial. 

Selain itu, debat marketplace guru dapat memunculkan isu-isu baru, seperti bagaimana memastikan rekrutmen langsung guru oleh sekolah dilakukan secara objektif, transparan, bertanggung jawab, tidak diskriminatif, dan jujur. 

Pasalnya, tanpa mekanisme yang jelas, dikhawatirkan proses perekrutan akan sangat transaksional, sehingga mendorong terjadinya kolusi dan nepotisme. Sekolah dapat mempekerjakan guru yang dekat dan secara pribadi akrab dengan pihak di sekolah.

Demikian pula pembahasan anggaran gaji dan tunjangan guru ASN dari DAU spesifik pendidikan umum, yang nantinya akan dikontrol dan dikelola oleh sekolah, harus diikuti secara tepat, transparan, dan bertanggung jawab. Jangan sampai menimbulkan masalah baru seperti praktik korupsi yang terjadi di lembaga pendidikan.

Di samping itu, pembentukan grand design atau peta jalan tata kelola guru pun perlu segera dirumuskan. Tujuannya untuk melihat sebaran guru di berbagai daerah, berapa jumlah guru yang pensiun dan berapa banyak guru berkebutuhan pelatihan yang akan diangkat nantinya. 

Demikian pula pembinaan dan pengembangan keprofesian guru terus berlanjut bahkan setelah diangkat sebagai ASN. 

Hal ini penting untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi guru profesional. Jangan hanya mengangkat sejuta guru sebagai ASN tanpa perencanaan yang matang untuk terus meningkatkan kualitas dan kompetensi guru.

Melalui berbagai upaya tersebut diharapkan dapat memberikan solusi yang langgeng dan menyeluruh terhadap permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia. 

Oleh karena itu, pemecahan masalah guru tidak dapat dilaksanakan secara parsial dengan cara tidak terorganisir secara sistematis dan berkesinambungan. 

Selain itu, kami hanya mempertimbangkan aplikasi yang benar-benar mengurangi nilai guru sebagai pendidik yang serius.

SENSITIVITAS DAN PENGHORMATAN

Pesan pilihan kata tidak hanya bergantung pada makna, tetapi pesan dapat dipengaruhi oleh medium (kata). Marshall McLuhan menyimpulkannya dengan ungkapan yang menarik: the medium is the message. 

Selain itu, penting untuk mempertimbangkan keadaan sosial dan psikologis di balik penggunaan istilah yang tidak tepat. Kata-kata bukan hanya alat komunikasi, kata-kata dapat menggerakkan seseorang. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan dalam kebijakan seharusnya memberikan rasa optimis, penghargaan, bukan perasaan frustasi.

Di sisi lain, harus kita akui bahwa di era kemajuan teknologi, platform digital untuk rekrutmen guru berpotensi untuk bermanfaat dan efektif. 

Namun perlu diperhatikan penamaan kebijakan tersebut, agar peran guru tidak merosot. Sebagai menteri pendidikan, Nadiem memiliki tugas untuk menyampaikan kebijakan dengan bahasa yang tepat - bahasa yang lebih menghargai profesi guru. 

Sebenarnya Nadiem sempat menyinggung istilah marketplace dalam padanan kata yang lebih baik, pasar talenta. Meski pun kata "pasar" masih terdengar kasar, namun sedikit lebih menentramkan. Nadiem juga bisa memikirkan padanan lain, seperti rumah talenta atau ruang talenta.

Pada akhirnya, kita semua berharap bahwa kebijakan perekrutan guru ini bisa menyelesaikan persoalan guru-guru honor Indonesia. Namun, selain solutif, diharapkan juga penamaan yang lebih bijak. 

William Shakespeare memang pernah mengatakan, apalah arti sebuah nama? Namun, jangan terlalu percaya Shakespeare, setiap nama selalu punya makna atau setidaknya punya sejarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun