Namun, kita semua setuju bahwa mengajar adalah profesi mulia yang tidak dapat ditentukan atau ditolak berdasarkan permintaan.
Terlepas dari konsep politik yang ditawarkan, penggunaan istilah marketplace tidak cocok digunakan dalam kebijakan pendidikan.Â
Kata tersebut tidak sesuai dengan konteksnya dan karena itu dievaluasi secara negatif. Terkadang kebijaksanaan diukur tidak hanya dengan tindakan, tetapi juga dengan pilihan kata dalam berkomunikasi.
AKAR DAN SOLUSI UNTUK MASALAH
UUGD Pasal 82 mengamanatkan bahwa pemenuhan kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik bagi para guru, harus sudah diselesaikan paling lama 10 tahun sejak berlakunya UUGD.Â
Akan tetapi pemerintah sendiri telah melenceng jauh dari itu, sampai saat ini pun masih terdapat guru-guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik D-IV atau S-1 dan belum memiliki sertifikat akademik sebagai bukti keprofesionalannya.
Persoalan kepastian dan kejelasan status, karir, kesejahteraan dan perlindungan guru terlibat dalam kepemimpinan guru di Indonesia.Â
Sebagai contoh masalah jenjang karir, kini berdasarkan Pasal 13 Peraturan Menristekdikti  Nomor 26 Tahun 2022 tentang Pendidikan Guru Penggerak, yang menyebutkan bahwa syarat menjadi kepala sekolah, pengawas sekolah, ataupun penugasan lain di bidang pendidikan harus tentang memiliki sertifikat guru penggerak.Â
Di tengah pelaksanaan program guru penggerak yang belum optimal dan belum seluruh guru mengikuti program guru penggerak, persyaratan ini tentu berpotensi diskriminatif dan melangggar hak asasi manusia.
Belum lagi Pasal 6 (d) Permendikbud-Ristek No. 26 Tahun 2022 mengatur bahwa calon peserta pendidikan guru penggerak harus memenuhi persyaratan antara lain sisa waktu mengajar minimal 10 (sepuluh) tahun. Ketentuan ini tentu dapat menggagalkan proses pembelajaran, pengembangan profesi dan karir guru.Â
Sebaliknya, berdasarkan Pasal 7 (1) (g) UUGD, disebutkan bahwa salah satu prinsip kompetensi profesional guru adalah kesempatan untuk mengembangkan keterampilan profesionalnya secara berkelanjutan melalui pembelajaran sepanjang hayat. Oleh karena itu, pembatasan keikutsertaan dalam program mobilisasi guru sangat diskriminatif dan melanggar aturan UUGD.